Chatting

(1) Setting: Malam hari lewat pukul 9. Disambi ngetik kerjaan.

T (teman): Halo.
A (aku): Halo juga.
T: Tumben online malam-malam.
A: (Ah, padahal sering juga aku online malam, tapi invisible.) Hehehe. Iya.
T: Sibuk nggak?
A: Mayan. Kusambi kerja ya.
T: Kerja? Malam-malam gini?
A: Iya.

Selang beberapa menit kemudian.
T: Masih kerja?
A: Masih.
T: Rajin amat sih.
A: Ngejar setoran.
T: Wah, duitnya banyak dong!
A: Biasa aja. Cukupan.

Beberapa menit kemudian.
T: Kamu kerja melulu ya.
A: Hmmm. (Mulai bosen jawabnya.)
T: Jawab dong.
A: Udah ya. Mau tidur nih. (Cepat-cepat invisible. Males banget deh ngeladeni orang ini.)

(2) Ini chatting dengan teman lama.
T: Hai.
A: Hai … hai!
T: Gimana kabarmu? Lama ya kita nggak ketemu.
A: Baik. Kamu gimana? Iya, lama kita nggak ketemu. Aku jarang-jarang pulang juga sih.
T: Aku baik juga.
A: Eh, iya, selamat ya atas pernikahanmu. Sorry nggak bisa datang.
T: Iya, nggak apa-apa. Btw, kamu sudah menikah berapa lama sih?
A: Hmmm … udah tiga tahunan kali ya.
T: Belum punya momongan ya?
A: (Mulai deh tanya-tanya masalah ini. 😦 ) Belum.
T: Emang kenapa?
A: (Mulai muncul tanduknya.) Ya nggak apa-apa. (Suka-suka aku sama suamiku dong.)
T: Aku sudah isi nih.
A: Oya? Selamat yaaaa!
T: Eh, hmmm … boleh nggak aku pinjam uang? Kata dokter aku … bla … bla … bla….
A: (Yaelaaaaa …ujung-ujungnya mau pinjam uang. Emang aku wajahku mirip pemilik bank ya?) Hmmm …
T: Nggak lama kok pinjemnya. Nanti kalau suamiku sudah gajian aku balikin.
A: Wah, aku mesti tanya suamiku dulu kalau soal beginian. (Ngeles.)
T: Mesti izin suami dulu ya? Nggak usah deh kalau gitu.
A: (Thank God!!!) Oke deh. (Cepat-cepat invisible daripada dia berubah pikiran lagi.)
*Bener-bener paling malas deh kalau dikontak teman lama dan ujung-ujungnya cuma mau pinjam uang. Padahal biasanya say hello pun tak pernah. E, lha kok sekalinya kontak, mau ngutang. Please deh, ah! *

Catatan: Chatting (1) dan (2) dilakukan dengan dua teman yang berbeda.

Main-main ke Biliton

Ini postingan delay, sebetulnya. Ceritanya sudah agak basi kalau menurut ukuran waktu. Tapi tak apalah, daripada tidak cerita sama sekali.

Ceritanya, awal bulan ini aku bersama suami pulang ke rumah mertua, ke Tanjung Pandan, Belitung. Kalau orang sekarang menyebutnya, Negeri Laskar Pelangi. Ya, kebetulan suamiku lahir dan besar di sana. Jadi, kota itu termasuk “rumah” bagi kami.

Sebelum kenal dengan suamiku, aku sebetulnya sudah cukup akrab dengan nama “Biliton”. Itu adalah salah satu nama jalan di Madiun, kota kelahiranku. Semasa kecil aku punya teman yang tinggal di jalan itu. Hampir setiap hari aku dulu main ke rumahnya. Lalu ketika SMA, sekolahku juga terletak di jalan itu. Tapi, aku sebetulnya tidak tahu di mana letak Pulau Biliton di peta Indonesia. Memang, pas pelajaran peta buta, nilaiku hancur. Payah deh! Dan aku juga tidak tahu jika Biliton ini nama lain dari Belitung. Biyuh! Bukan orang Indonesia yang baik, ya? (Kakak sepupuku mungkin akan bertanya, “Kalau pulau itu diklaim bangsa lain, jangan-jangan kamu juga nggak tahu.”) Tapi semenjak kenal dengan suamiku, aku jadi tahu, “Oh, di situ to Belitung.” Pulau Biliton atau Belitung ini terletak di ujung selatan Pulau Sumatera. Buka peta, ya! 🙂 Orang biasanya menyebutnya Kepulauan Bangka-Belitung, karena kedua pulau ini tetanggaan.

Oya, satu lagi cerita tentang Belitung. Suatu aku mau mengirim barang ke Belitung. Waktu aku datang ke kantor kurir swasta, aku tanya ke petugas, “Kalau mau kirim barang ke Belitung bisa nggak?” Petugas itu lalu membuka daftar kota-kota yang mereka layani. Setelah meneliti daftar itu, dia menjawab, “Wah, ekspedisi kami tidak sampai ke sana.” Weladalah! Padahal pulau itu cuma “sak nyukan” dari Jakarta. Lalu aku tanya lagi, “Kalau Tanjung Pandan?” Dilihatnya lagi daftar miliknya. “Oh, bisa.” Hahahaha! Lha padahal Tanjung Pandan itu letaknya di Pulau Belitung. Yak, begitulah orang Indonesia, kurang mengenal wilayah negaranya sendiri. Sayangnya, kejadian semacam ini tidak hanya sekali. Setidaknya dua kali aku mendapat jawaban serupa itu.

Belitung ini mulai terkenal sejak novel Laskar Pelangi (LP) terbit. Saat itulah banyak orang membicarakan novel ini dan mulai tayang filmnya. Saat itulah pertama kali pula aku mengunjungi pulau ini. Jadi, meskipun aku tidak tuntas membaca novelnya, aku sudah menginjakkan kaki terlebih dahulu ke sana. Kesanku pulau ini cantik. Pantai-pantainya indah. Dan karena pulau ini tidak terlalu besar, kita bisa menjangkau pantai dengan mudah. Akses jalannya bagus. Aspalnya mulus. Tapi karena di sana ada saudara, jadi kami kalau ke pantai naik mobil punya saudara. Kurasa sih sekarang sudah mulai banyak agen-agen pariwisata yang menyediakan jasa kendaraan.

Wisata Pantai

Wisata yang ditawarkan Belitung kebanyakan adalah pantai. Pantainya memang indah. Ada beberapa pantai yang pernah aku kunjungi, yaitu Tanjung Kelayang, Tanjung Binga, Tanjung Pendam, Pantai Burung Mandi (yang terakhir ini letaknya di Kabupaten Manggar). Hampir semuanya berpasir putih, kecuali Pantai Tanjung Pendam. Pantai Tanjung Pendam ini pantai terdekat dari kota Tanjung Pandan. Kalau naik motor dari rumah, yaa … paling 10 menit lah. Kalau sore cukup banyak orang yang datang ke sana. Dulu pertama kali aku ke sana, tidak ada retribusi. Tapi sekarang sudah ada. Seorang ditarik bayaran 2000 rupiah. Aku kurang suka dengan pantai ini sebenarnya. Kurang cantik dibandingkan pantai-pantai yang lain.

Pantai Tanjung Pendam
Pantai Tanjung Pendam

Pantai yang aku sukai adalah Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Di sana ada batu yang buesaaar-buesaaar! Aku senang dengan pantai itu karena pasirnya putih dan ombaknya tenang. Berbeda dengan pantai-pantai di daerah Gunung Kidul yang ombaknya ganas. Beberapa orang suka berenang di pantai ini. Aku belum pernah sampai berenang sih. Cuma main air saja. Dan sekarang ada yang menyewakan ban untuk berenang.

Pemandangan di Pantai Tanjung Kelayang
Papan penunjuk dan bebatuan di Pantai Tanjung Tinggi.
Bebatuan di pinggir Pantai Tanjung Tinggi

Pantai Tanjung Tinggi adalah salah satu tempat syuting film LP. Ada papan penunjuknya di situ. Di pinggir pantai itu banyak kedai. Menu yang ditawarkan biasanya aneka masakan ikan (ikan bakar, ikan goreng, lempa) dan tumis sayur (kangkung dan genjer). Ada satu warung langganan kami di situ, lokasinya persis di depan papan penunjuk itu. Kalau kami ke sana, pasti mampir ke kedai itu. Pemiliknya sepasang suami istri setengah baya. (Sayangnya aku tidak tanya siapa namanya.) Terakhir waktu aku ke sana, aku sempat ngobrol-ngobrol sebentar dengan si bapak. Dia bercerita, sejak film LP tayang, pantai itu mulai ramai. Setiap hari ada saja orang yang datang. Padahal dulu hanya akhir pekan saja pantai itu ramai pengunjung. Ramainya pengunjung itu ada senang, ada susahnya. Senangnya karena ada saja pembeli yang datang. Itu artinya ada pemasukan. Tapi ada satu hal yang membuatnya kesal, yaitu beberapa kali perahunya karam. Aku kurang tahu persis seperti apa perahunya. Sepertinya perahu kecil. Dia mengatakan perahunya suka dinaiki wisatawan tanpa izin. Dan yang naik perahu itu badannya besar-besar pula. Jelas saja karam. Dia bingung mau bereaksi bagaimana terhadap hal itu. Mau marah, tapi itu wisatawan. Tapi kalau tidak diperingatkan, dia sendiri rugi. Akhirnya dia menjual perahunya.

Makanan

Hal lain yang aku sukai di Belitung adalah makanannya. Kebanyakan memang masakan ikan sih. Yang aku sukai, ikan di sana besar-besar dan menurutku dagingnya lebih manis. Biasanya kalau kami pulang, ada satu hari di mana tersedia menu kepiting! Puas deh kalau makan kepiting. Bisa-bisa satu baskom habis kami makan berdua. Haha. Kemaruk! Enak sih. Suamiku bilang, kepiting di Belitung jauh lebih enak daripada kepiting di Jakarta. Meskipun dia suka kepiting, dia tidak pernah pesan menu kepiting di Jakarta. Dagingnya lebih lembek, katanya. Oya, satu lagi, baso ikan di Belitung itu enak banget. Aku tidak tahu beli di mana (soalnya kami di rumah tinggal duduk dan makan sih), tapi yang jelas, aku suka banget. Sebetulnya bisa sih buat sendiri. Biasanya dari ikan ekor kuning. Jangan tanya aku bagaimana cara buatnya, ya :D.

Salah satu makanan favoritku di Belitung adalah pampi rebus. Ini sebetulnya nama lain dari kwetiau rebus. Tapi di sana, kwetiau itu seperti bihun bahannya, tapi namanya kwetiau, kan lebar-lebar. Isinya mirip kwetiau rebus di sini, tapi ada tambahan kepiting, daging (ada yang pakai daging b2), dan telor utuh (seperti telur ceplok). Bagiku ini menu wajib deh! Enak banget!

Pampi rebus. Sayangnya pas ambil di piring, kuahnya kurang. Jadi kurang kelihatan berkuah. Padahal kuahnya cukup banyak sebetulnya.

Di sana juga ada bakmi. Suamiku menyebutnya “bakmi Atep” (sesuai dengan nama penjualnya). Bakmi ini pakai kaldu udang. Suamiku sih suka banget. Dan dia kalau beli bakmi ini biasanya pesan minum es jeruk. Es jeruk di sana kebanyakan warnanya bening, tidak kuning seperti di Jawa. Itu karena jeruknya beda dengan jeruk di sini. Enak sih minuman jeruk itu. Seger banget. Bakmi Atep ini sepertinya sudah terkenal deh di Tanjung Pandan. Kalau ke sana, banyak dipajang foto-foto pemilik kedai itu dengan beberapa artis. Ada foto Megawati juga.

Menyiasati Pariwisata yang Semakin Ramai

Belitung kini sudah mulai ramai. Jalan-jalan di sekitar pantai mulai diperlebar. Dan menurutku, sekarang di sana jauh lebih ramai dibanding waktu aku ke sana kira-kira empat tahun yang lalu. Hal itu dibenarkan oleh adik iparku. Teman-temannya sekarang banyak yang menjadi agen wisata. Dan kulihat kini semakin banyak dibangun ruko dan hotel.

Wisatawan yang semakin banyak ini sebetulnya berita bagus. Tapi menurutku perlu ditunjang oleh banyak hal. Salah satunya: tata kota. Masalah saluran air saja deh. Kesanku di sana saluran airnya (got) masih kurang bagus. Memang sih tidak banjir. Tapi setelah hujan, aku lihat ada saja air yang tidak bisa mengalir dengan lancar di got karena sampah. Apalagi di sana sering banget hujan, jadi hal seperti ini perlu diperbaiki. Selama aku ke sana kemarin, hampir setiap hari hujan. Padahal musim panas lo. Jika semakin banyak pendatang, dan banyak orang yang jadi investor, mau tak mau tata kota mesti dibenahi.

Oya, kalau kamu jalan-jalan di kotanya, di sana jarang sekali ada tong sampah. Warga menaruh sampah di kresek, lalu ditaruh di depan rumah. Nanti sampah dalam kresek itu akan diangkut oleh dinas kebersihan. Diangkutnya langsung pakai truk, tidak pakai gerobak sampah. Nah, mumpung kotanya belum terlalu padat (seperti di Jawa), kurasa baik jika pemerintah mulai mensosialisasikan pemilahan sampah. Jadi, sampah basah bisa diolah kembali untuk dijadikan hal yang lebih bermanfaat.

Kalau masalah tata kota dan sampah bisa dibenahi, aku yakin Belitung akan jadi pulau yang bisa menjual pariwisatanya secara jauh lebih menarik.

Semua foto yang dimuat dalam tulisan ini adalah koleksi pribadi.

Nostalgia Klender

Gara-gara jalan di depan rumah ada acara yang memasang pengeras suara besar-besar, kemarin malam aku “mengungsi” ke rumah temanku, Joanna. Daripada malam tidak bisa tidur dan hanya mendengar suara yang memekakkan telinga, mending kabur kan? Untung benar punya teman yang bersedia menampung aku dan suamiku hehe. Makasih ya, Jo!

Menginap di rumah temanku ini mengingatkan aku saat masih tinggal di Perumnas Klender, kira-kira empat tahun yang lalu. Waktu itu aku pertama kali pindah ke Jakarta. Dan daerah itulah yang pertama kali kukenal. Untung saja tinggalku tidak terlalu jauh dari rumah Joanna. Hanya selisih tiga gang. Oya, Joanna ini temanku SMP dulu. Tapi justru selepas SMP (dia SMEA, aku SMA), kami malah sering main. Karena sama-sama sering di Mudika sih dan entah kok sepertinya ada saja ya yang membuat kami sering main. Setelah lulus SMEA dia bekerja di Jakarta. Dan ketika anak perempuannya lahir, orang tuanya menyusul tinggal di Jakarta. Jadi, ketika aku di Jakarta dan tempat tinggal kami berdekatan, aku merasa cukup lega. Setidaknya seperti ada saudara di dekatku. Dia dan keluarganya sangat membantuku ketika awal-awal aku tinggal di Jakarta. Sekarang aku sudah pindah, tidak lagi di Klender tinggalnya. Tapi tidak terlalu jauh kalau mau ke sana. Cukup naik angkot sekali.

Oya, balik ke acara “mengungsi” tadi ya. Tadi pagi, tak berapa lama setelah bangun, dia tanya ke aku, “Mau ke pasar, nggak?” Aku mengiyakan karena ingin membeli beberapa sayuran.

Tak jauh dari perumnas ini ada pasar yang cukup besar. Dulu, kami punya “ritual” bersama pada hari Sabtu pagi, yaitu ke pasar bersama. Pasar itu lumayan besar. Kalau kita pergi ke pasar sebelum jam enam pagi, di pinggir jalan banyak pedagang sayur grosiran. Murah-murah! Dulu sempat tuh aku dapat wortel satu kantong kresek kecil cukup dengan seribu rupiah. Kalau milihnya cermat, bisa dapat sayur yang bagus-bagus juga. Tadi aku ke pasar sudah jam 7 lebih, masih ada beberapa pedagang sayur grosiran. Akibatnya, jalanan depan pasar muacet! Memang bukan tempat belanja yang menyenangkan, tapi kalau mau murah ya mesti mengesampingkan kenyamanan.

Pergi ke pasar pada Sabtu pagi itu seperti mengetuk-ngetuk kenangan awalku di Jakarta. Perasaan yang muncul campur aduk. Tidak senang, tapi tidak juga sedih. Bagaimana ya? Bingung aku menggambarkannya. Mungkin seperti berpetualang. Semacam memacu adrenalin. *Halah, istilahe rek!* Tapi aku merasa cukup beruntung ada Joanna yang menjadi “pemanduku”. Terutama untuk masalah belanja ke pasar ini, aku selama tinggal di Klender, jadi ikut dia belanja ke mana. Pedagang yang jadi langganannya, akhirnya jadi langgananku juga. Beli sayur di mbak yang medok berbahasa Jawa, beli ayam di ibu di dekat jalan belakang, beli ikan di los agak belakang. Dan yang enak sih, dia pandai menawar! Hehehe. Aku kan tidak tegaan untuk urusan yang satu itu.

Selain itu, pengalaman menginap di Klender ini menyisakan penggalan perasaan yang lain. Ceritanya, Joanna selama ini tinggal di situ bersama kedua orang tua, Fani–putri tunggalnya, dan beberapa saudaranya. Tapi beberapa hari lagi kedua orang tua Joanna, Fani, dan keponakannya itu akan pindah ke Madiun. Fani akan melanjutkan sekolah di SMP almamater kami dulu. Rencana ke depan Joanna kemungkinan akan menyusul mereka. Jadi, mungkin ini acara menginapku di Klender semalam yang terakhir, tepatnya saat rumah itu masih terisi lengkap. Beberapa waktu lagi barangkali rumah itu sudah berganti pemilik. Dan aku tidak bisa nostalgia lagi. Sedihkah aku? Hmm … bagaimana ya? Sebetulnya aku ikut senang sih mereka pulang ke Madiun lagi. Toh jika aku pulang ke Madiun, aku masih bisa bertemu mereka. Jadi, tidak sedihlah. Memang kota ini perlu dikurangi penduduknya kok. Hehehe. Tapi satu hal yang aku kenang dari keluarga ini: Mereka menerima aku dengan baik sekali dan sangat membantuku ketika beradaptasi di Jakarta. Menyenangkan jika seorang teman jadi seperti keluarga sendiri. Terima kasih, Jo!

Tentang Sebuah Keluarga

Rumah. Keluarga. Dua kata itu erat kaitannya. Rumah adalah tempat satu keluarga berkumpul. Keluarga membutuhkan rumah. Di rumah itu para anggota keluarga berinteraksi satu sama lain, ada emosi yang muncul, ada kebersamaan. Di dalamnya pasti pernah timbul rasa sebal, senang, kangen, marah, sedih, saling mendukung, saling melindungi, saling mengkritik. Campur-campur.

Ya, aku mau bercerita tentang sebuah rumah yang pernah kutinggali, yang sekarang–sayangnya–jarang aku kunjungi. Tapi biar begitu, aku masih merasakan suatu ikatan keluarga yang pernah terjalin selama aku tinggal di situ.

Rumah itu besar. Besar sekali. Dan berhalaman luas. Ada halaman di sisi luar, ada pula sepetak halaman di dalamnya. Ada sebuah sungai yang membelah halaman rumah itu. Jadi kamu bisa mendengar gemericik air setiap hari. Kedengarannya menyenangkan ya? Rumah ini terletak di pinggir jalan besar, tetapi halaman yang luas itu cukup bisa meredam riuhnya lalu lintas di depan. Oya, tidak seperti rumah-rumah pada umumnya, halaman depan rumah itu diaspal! Khas sekali. Ini bukan jalan raya lo. Tapi memang benar-benar halamannya.

Foto: Sungai Babilon. Begitulah kami menyebut sungai ini. Kira-kira tiga tahun kamarku terletak di samping sungai ini.

Dulu, aku sempat takut waktu hendak tinggal di sana. Rumah ini besar sekali. Ada ratusan ruang di dalamnya. Bagaimana kalau aku salah masuk? Lagi pula ruangan-ruangan itu mirip. Dan ada pula lorong-lorong yang panjang. Kalau malam, bisakah kamu membayangkannya? Saat semua penghuninya tidur, lorong itu begitu sepi. Memang cahaya lampu neon tetap bersinar terang sampai pagi, tetapi sepi itu kadang terasa menggigit.

Hmm, bisa menebak rumah apa yang sedang kubicarakan ini? Ini adalah asrama yang kutinggali sejak awal kuliah (bahkan beberapa bulan sebelumnya aku sudah tinggal di situ) sampai aku lulus. Lima tahun. Itulah Asrama Syantikara, Jogjakarta.

Sampai sekarang aku masih merasa Syantikara adalah salah satu bagian penting dalam hidupku. Tinggal dan berinteraksi dengan teman-teman di sana merupakan suatu tonggak penting dalam hidupku. Di sana aku belajar banyak hal. Tak hanya soal kemandirian, tetapi juga soal bagaimana hidup bersama teman-teman yang sangat berbeda latar belakang sukunya. Aku masih ingat ketika aku penasaran dengan rambut keriting temanku dari Irian, lalu dia mengizinkan aku memegang rambutnya. Bagiku rambut temanku itu unik. Ternyata rambutnya tidak sependek yang kusangka. Jika ditarik, rambut keritingnya itu molor dan kesanku waktu itu cukup panjang.

Beberapa minggu yang lalu aku pergi ke Tanjung Pandan, Belitung. (Suamiku aslinya dari sana, jadi aku ke sana dalam rangka “pulang” juga.) Di sana aku bisa dibilang tidak kenal siapa-siapa, kecuali kerabat suamiku. Tapi yang membuatku agak “tenang” adalah di sana tinggal seorang kakak asramaku. Dia memang bukan asli Tanjung Pandan, tapi kehidupan membawanya sampai ke sana. Aku memanggilnya Kak Mika. Aku senang bertemu dengannya. Meskipun waktu di asrama aku tidak dekat dengannya, toh waktu berjumpa lagi dengannya, aku merasa seperti bertemu teman lama. Ada cerita lama yang bisa kami urai bersama–soal asrama, soal Sr. Ben, soal teman-teman kami dahulu. Meskipun beda angkatan, tetap saja ada cerita kebersamaan yang bisa kami bagikan.

Bersama Kak Mika (kiri) di depan Gereja St. Regina Pacis, Tanjung Pandan.Foto: Bersama Kak Mika (kiri) di depan Gereja St. Regina Pacis, Tanjung Pandan.

Menurutku, itu adalah salah satu keunikan tinggal di asrama Syantikara. Di Syantikara aku seperti mengintip Indonesia versi kecil. Berbeda-beda, tetapi kami satu keluarga. Indonesia sekali kan?

Jangan Risau Jika Ada Buku Dibakar

Sebetulnya aku ingin posting dengan tema lain, tapi karena pengin mengeluarkan uneg-uneg, jadi aku tulis ini dulu saja. (Aku jadi bertanya-tanya, sebetulnya kata uneg-uneg itu berasal dari kata atau bahasa apa? Kenapa mesti ditulis berulang, bukan “uneg” saja?)

Ketika aku pernah jadi teman belajar seorang bocah, dia sempat bertanya kepadaku, “Kenapa sih perlu belajar bahasa Inggris?” Jujur saja aku agak kelabakan ditanyai seperti itu oleh anak kelas 4 SD. Apa yang mesti kujelaskan? Bagaimana menjelaskan secara lebih sederhana konsep di dalam kepalaku tentang pentingnya bahasa Inggris? Apakah cukup jika aku mengatakan bahwa dengan bersusah-susah bahasa Inggris sekarang nanti dia cas cis cus dengan orang asing kelak? Jawaban ini akan dengan mudah dia tangkis bahwa orang-orang yang dia temui adalah keluarga dan teman-temannya, dan dengan mereka semua dia cukup menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dan memang bodohnya aku sih, tidak bisa berpikir cepat dan memproyeksikan hal-hal “berkilau” di masa mendatang yang bisa ia raih jika dia menguasai bahasa Inggris.

Namun, pertanyaan bocah itu terus melekat di kepalaku. Sampai sekarang. Mengapa perlu belajar bahasa Inggris? Mengapa perlu menguasainya? Ini pertanyaan reflektif bagiku. Mungkin aku bisa menjawab itu penting karena aku mendapat nafkah dari menerjemahkan buku bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Itu jawaban paling mudah bagiku sendiri. Tapi apakah hanya itu?

Dua hari ini aku mengikuti berita tentang sebuah buku terjemahan yang diprotes oleh ormas keagamaan tiga huruf. Bagiku menggubris ormas ini memang seperti mengikuti tuntutan orang tidak waras. Dan sayangnya pemerintah memberi ruang dan angin kepada orang-orang seperti itu. Sayangnya lagi, ternyata ada orang yang menurutku berpendidikan (setidaknya dia dosen sih) yang setuju sama tindakan ormas tersebut. Dengan kata lain, ada saja orang yang menyetujui kekerasan berkedok agama. Cuma bisa mengelus dada deh kalau begitu.

Oke, balik ke soal protes buku itu. Hari ini kubaca buku-buku itu akhirnya dibakar. Haiyaa … kecewa berat deh sama keputusan penerbit tersebut untuk membakar buku itu. Walaupun aku bisa mengerti juga apa kira-kira “ketakutan” penerbit itu sih. Mereka mengayomi banyak karyawan. Kalau toko mereka dibakar, berapa banyak orang yang kehilangan nafkah? Tapi di satu sisi, aku juga bertanya-tanya sampai kapan kita (kita? elu aja kali) akan tunduk pada ketakutan dan tuntutan orang gila? Sebetulnya pembakaran buku itu dapat dihindari kok. Aku yakin pihak penerbit dan editor tahu bagaimana caranya. Editor itu penjaga gawang atau penyaring. Kurasa kata-kata yang bisa membuat ormas tersebut murka, dipotong. (Yang aku heran, kenapa setiap ormas itu marah dan tersinggung, merepotkan banyak orang ya? Negara apa sih yang menurut begitu saja pada suatu ormas?) Itu cara paling mudah. Tapi kan sudah kebacut … nasi sudah menjadi bubur. Dan sebetulnya aku juga agak kurang sreg jika ada kata yang dipotong-potong begitu. (Bukan berarti sebuah buku tidak harus diedit, ya.) Ini bisa membuat buku kurang nendang. Menurutku sih.

Nah, di sinilah kupikir salah satu pentingnya menguasai bahasa Inggris. Dengan menguasai bahasa Inggris, kamu tidak perlu risau dengan tuntutan gila ormas keagamaan itu jika kamu saking penasarannya ingin membaca buku tersebut. Cari saja (kalau tidak punya uang, boleh pinjam, boleh unduh di internet) buku aslinya dalam bahasa Inggris, dan nikmatilah sepuasnya! Plus, kamu juga bisa membaca buanyaaak buku yang jauh lebih keren dan lebih nendang daripada buku-buku yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Mau cari buku apa saja ada. Tak hanya buku sebetulnya, majalah atau koran berbahasa Inggris tulisannya jauh lebih berisi. Efeknya, otakmu akan lebih berisi, wawasanmu lebih luas. Tertarik?

Ah, memang ini kedengarannya muluk-muluk dan terkesan kurang membumi, ya? Tapi dari pengalamanku sendiri, bisa membaca buku berbahasa Inggris yang tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu mengasyikkan. Dan aku merasa betapa jauh tertinggalnya pemikiran buku-buku yang ada di sini (baca: buku-buku berbahasa Indonesia). Mungkin kalau banyak buku diterjemahkan (apa adanya) dalam bahasa Indonesia, banyak orang akan terkaget-kaget :D. Dan … ormas tiga huruf itu akan lebih heboh lagi marah-marahnya. Memang susah sih ngajak orang berpikiran maju. Masih banyak orang yang lebih suka berkubang dalam ketidaktahuan.

Helm

Untuk urusan menaati peraturan lalu lintas, aku banyak diingatkan oleh orang tuaku. Bukan diingatkan secara literal sih, tetapi ada beberapa hal yang diteladankan oleh orang tuaku. Misalnya, untuk pemakaian helm. Dulu, di awal-awal helm wajib dikenakan oleh pengendara sepeda motor, orang tuaku membeli helm standar. Padahal, kalau mau murah, bisa beli helm plastik ringan yang biasa disebut “helm ciduk” atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya helm gayung–karena terbuat dari plastik yang ringan (bentuknya seperti helm proyek). Waktu itu, belum ada standarisasi helm, jadi banyak orang masih pakai helm plastik murah seperti itu. Aku sempat juga punya helm ciduk itu, karena aku kurang suka pakai helm besar yang sebetulnya lebih aman. Lagi pula, banyak teman sebayaku yang pakai helm ciduk. Kesannya lebih gaya! Padahal lebih membahayakan kalau kita jatuh.

Suatu kali aku hendak pergi naik sepeda motor. Kupakai helmku asal-asalan dan tidak kukancingkan talinya. Waktu itu aku sedang membonceng ibuku. Lalu ketika baru jalan beberapa meter, Ibu mengingatkan, “Ayo, tali helmnya dikancingkan.” Dengan enggan, aku mengacingkannya. Padahal males banget deh. Kenapa sih repot-repot mengacingkan helm padahal banyak orang toh tidak mengancingkan helmnya? Pede aja deh tidak akan kenapa-kenapa di jalan.

Seiring berjalannya waktu, aku akhirnya jadi sadar sesadar-sadarnya bahwa memakai helm ketika naik motor itu penting sekali. Dan untunglah kesadaran itu muncul meskipun aku tidak pernah mengalami kecelakaan parah. *Amit-amit deh!* Beberapa kali aku mendengar orang menceritakan peristiwa kecelakaan tetapi si korban tidak terselamatkan hanya karena helm tidak dikancingkan, membuat aku jadi merinding. Dan akhirnya aku mengganti helm cidukku dengan helm yang cukup kokoh. Seingatku aku sudah beberapa ganti helm, tetapi belakangan aku selalu pakai helm SNI–atau aku biasanya menyebutnya helm standar. Oiya, tentu saja kebanyakan aku pakai helm kalau di Jogja atau di Madiun ya. Kalau di Jakarta (seperti sekarang ini), aku bahkan tidak punya helm, karena aku hampir tidak pernah naik motor. Ke mana-mana naik kendaraan umum saja deh kalau di sini. 😀

Kenapa sih aku menulis soal helm? Ini gara-gara di sini aku sering melihat orang tidak pakai helm saat naik motor. Atau kalaupun pakai, mereka pakainya asal saja. Tidak dikancingkan talinya. Atau yang pakai hanya orang yang menyetir motor, sedangkan orang yang dibonceng di belakangnya tidak pakai. Atau yang parah, dua-duanya tidak pakai … dan ngebut!

Aku sendiri merasa kesadaran masyarakat Jakarta pada umumnya mengenai peraturan lalu lintas masih kurang. Contohnya ya itu tadi, soal helm. Sepele tampaknya ya? Tapi banyak sekali yang menyepelekannya. Bukan hanya orang muda yang tidak mengindahkan aturan pemakaian helm ini. Laki-laki, perempuan, tua, muda, sama saja. Dan itu tidak hanya di jalan kampung lo. Di jalan protokol sering kulihat orang bermotor lewat dengan santainya tanpa pakai helm. Dan yang lebih dodol lagi, polisi yang melihat diam saja! Heran.

Aku hanya berpikir, itu orang-orang gimana ya mikirnya? Mungkin mereka nggak pernah melihat atau mengalami kecelakaan parah sehingga belum sadar pentingnya memakai helm. Dan yang aku heran, kenapa justru di ibukota ini banyak orang yang tidak mengindahkan peraturan lalu lintas tersebut? Rasanya kalau aku pulang ke Madiun, orang-orang masih tertib lo memakai helm. Jauh lebih tertib ketimbang orang Jakarta. Sebetulnya, ada apa sih dengan orang-orang Jakarta ini? Kesanku mereka tidak pedulian. Dan kalau aturan yang sepele seperti ini saja tidak diindahkan (padahal sebetulnya untuk kepentingan mereka sendiri), bagaimana dengan urusan yang lebih serius ya?

Penyiar Radio

Ini adalah penggalan percakapan antara aku dan Bapak lewat telepon. Kejadiannya siang hari, tengah hari bolong, di hari kerja.

Bapak: Halo?
Aku: Iya, Bapak.
Bapak: Sedang apa?
Aku: Biasa, di depan komputer.
Bapak: Sendiri?
Aku: Enggak. Ini ada teman, penyiar radio.
Bapak: Ngarang kowe ki. (Kamu ini mengarang.)
Aku: Iya, beneran. Dari tadi pagi temanku ya penyiar radio he he he.

Begitulah. Orang tuaku kadang masih suka menelepon (parah nih, bukan anaknya yang telepon, malah orang tuanya) pas aku sedang di rumah sendiri. Mereka cuma pengin tahu kabar anaknya yang terdampar nun jauh di ibukota.

Karena suamiku biasanya pagi-pagi sudah berangkat dan baru kembali sore atau petang, aku jadi seringnya di rumah sendiri. Bagi beberapa orang, di rumah sendiri itu kedengarannya tidak enak. Tapi bagiku, itu biasa. Aku lupa sejak kapan aku mulai terbiasa berada di rumah sendiri. Waktu di Madiun, kalau Bapak dan Ibu tidak di rumah karena ada urusan keluar, aku di rumah sendiri. Di Jogja, waktu serumah cuma berdua sama kakakku, kalau malam minggu dia ada kegiatan bersama teman-teman atau para mahasiswanya, aku di rumah sendiri. Jadi, tak masalah.

Tapi memang sih, waktu di Jakarta ini aku agak butuh waktu untuk beradaptasi berada di rumah sendiri. Entah ya, mungkin aku masih belum banyak teman di sini, dengan tetangga atau orang-orang sekitar masih belum banyak teman. Dulu terbiasa bekerja kantoran, setiap hari dari pagi sampai sore selalu dikelilingi teman-teman, dan waktu pindah ke Jakarta, mendadak seperti tidak ada siapa-siapa. Ada sih suamiku, dan waktu masih tinggal di Klender ada teman SMP-ku dulu yang tinggal tak jauh dari rumah. Tapi masih aneh saja rasanya berada di tempat baru yang asing.

Walaupun ada saja hal atau pekerjaan yang kulakukan, tetap saja terasa ada perasaan sepi. Lalu waktu itu, suamiku yang memang suka mendengarkan radio, mulai “memperkenalkan” kepadaku beberapa radio yang sering ia dengarkan. Ada beberapa radio sebenarnya yang ia kenalkan kepadaku, tetapi akhirnya aku seringnya hanya mendengarkan dua radio saja: I-Radio dan Kbr 64h/Green Radio. Kalau mau mendengarkan hal yang santai-santai, aku putar I-Radio; kalau mau serius, dengar Kbr. Kalau Kbr, aku biasanya mendengarkan Saga.

Biasanya pukul 6 kurang aku sudah menyetel radio. Nanti pukul 6 tepat, di I-radio akan ada acara Pagi-pagi yang dibawakan Muhammad Rafiq dan Poetri Soehendro. Acara itu tuh yang paling sering aku dengarkan. Nanti kira-kira pukul setengah 8, aku ganti channel ke Kbr, karena jam segitu akan ada editorial dilanjutkan Saga. Lalu biasanya sih balik lagi mendengarkan I-radio sampai sore. (Tapi kadang kalau mau sepi, aku sama sekali nggak menyetel radio.) Dan, tahu sendiri kan, aku banyak di rumah. Radioku terletak persis di samping komputer. Karena aktivitasku tak jauh dari komputer, jadi aku seringnya mengetik sambil mendengarkan radio.

Menurutku, mendengarkan radio itu menyenangkan, karena bisa disambi. Ini berbeda dengan televisi yang membuat penontonnya mau tak mau manteng di depannya. Dan karena aku tak punya televisi, jadi berita kebanyakan aku peroleh dari siaran dua radio tersebut.

Terus-terang saking seringnya aku mendengarkan radio, aku jadi menganggap para penyiar itu seperti kawanku. Kok bisa? Kenal saja tidak … (Eh, kalau penyiar di Kbr, memang ada yang kenal sih: tetangga depan rumah soalnya.) Pernah suatu kali aku mendengarkan radio, dan waktu itu penyiarnya mengatakan bahwa ini siaran terakhirnya dia. Di menit-menit terakhir dia siaran, suasana jadi gimana gitu. Sedih banget. Sampai dia nangis deh seingatku. Dua kali aku mendengarkan penyiar yang pamitan. Dan aku sempat ikut nangis. Hahaha. Lebay ya!

Kupikir-pikir, salah satu “teman akrabku” adalah penyiar radio. Kadang aku bisa hafal suaranya. Ada yang lucu, ada yang humornya garing, ada yang serius. Bervariasi. Dan kupikir penyiar itu adalah profesi yang menyenangkan. Setidaknya mereka bisa menghibur orang-orang yang kesepian–seperti punya kawan walaupun tidak bertemu langsung dan komunikasinya satu arah. Buat siapa pun yang jadi penyiar radio, aku salut dan berterima kasih untuk kalian semua. 🙂