Setelah Tak Kerja Kantoran, Ngapain?

Beberapa minggu lalu, aku menemui seorang teman yang akan pensiun. Aku merasa cukup berutang budi padanya karena beberapa belas tahun lalu dia telah memberiku kesempatan untuk melakukan kerja sampingan menjadi penyunting lepas untuk majalah yang digawanginya. Aku kurang tahu apakah istilah menyunting sudah tepat. Yang kulakukan adalah memperbaiki kalimat dan mencari kalau-kalau ada salah ketik. Selain menyunting artikel yang akan terbit, aku juga sesekali menulis. Kadang ulasan buku, kadang artikel lepas biasa. Pernah juga dia memberiku pekerjaan berupa terjemahan. Hal itu kulakukan dulu semasa aku masih kerja kantoran.

Kupikir-pikir, dia adalah salah satu orang yang berjasa membuatku merasa lebih PD dalam melakukan pekerjaan yang bersangkutan dengan buku, teks, artikel, dan semacamnya. Dan berkat dia pula, aku punya sedikit uang tambahan selain gaji tetap yang kuterima di kantor.

Ketika aku bertemu dengannya–sebelum sempat aku bertanya–dia mengatakan dia belum tahu apa yang akan dilakukan setelah pensiun nanti. Kalau dilihat perawakannya, dia masih jauh dari definisi tua. Masih segar bugar. Aku jadi membayangkan, kalau aku jadi dia, apa ya yang akan kulakukan? Pengalaman banyak, waktu banyak, tetapi barangkali kurang terbiasa mencari pekerjaan sambilan.

Aku bisa paham jika orang setelah pensiun mengalami post power syndrom. Karyawan biasa saja bisa mengalami itu, apalagi orang yang terbiasa memegang jabatan. Pekerjaan kantoran itu sedikit banyak menempelkan identitas pada kita. Dulu aku pernah merasa useless setelah tak lagi ngantor. Padahal dulu aku sendiri yang memilih mengundurkan diri (resign). Kan ikut suami ke luar kota. Kalau nggak resign, masak kantornya aku bawa? 😀

Tadi pagi, kakakku cerita ia ketemu seseorang yang akan diakhiri kontraknya oleh sebuah NGO. Usianya masih sangat muda. Tapi dia terbiasa kerja ikut orang. Waktu ditanya, apa yang akan dilakukan setelah kontraknya habis? Dia menjawab tidak tahu.

Menurutku mahasiswa dan orang-orang sekolahan sekarang pada umumnya tidak disiapkan untuk mandiri. Setelah lulus, pertanyaan yang muncul adalah: Kerja di mana? Berapa gajinya? Kalau bekerja di perusahaan bonafid dan gaji tinggi, langsung derajatnya melejit. Keren deh. Selain itu, sekarang banyak orang setelah lulus S1 cenderung langsung melanjutkan S2. Mungkin harapannya setelah lulus S2, bisa bekerja di perusahaan yang jauh lebih bonafid dan bergaji jauh lebih tinggi. Semakin keren. Orang-orang seperti ini kurasa yang akhirnya gamang ketika mesti pensiun dini, ketika kontrak tidak diperpanjang. Mungkiiiin, lho ya. Aku bilang begitu karena melihat orang-orang di sekitarku begitu.

Mengalami gamang dan galau setelah tidak ngantor itu biasa. Namanya juga lepas dari sebuah kebiasaan. Tapi kurasa kalau kita masih sehat walafiat, tubuh masih lengkap, masih muda, banyak yang bisa dilakukan. Itu modal yang sangat besar. Kalau bisa sih sebetulnya sebelum hari H pensiun, mesti mulai melakukan sesuatu. Entah itu berkebun, nulis blog, memasak, bikin sabun (eh itu kan aku, ya?) … apa sajalah. Kalau hasilnya bisa dijual, ya dijual. Lumayan bisa untuk tambah-tambah beli garam–begitu kata Ibuk. Yang jadi tantangan adalah kalau uang pensiun tidak cukup untuk hidup dan bayar tagihan. Lalu bagaimana? Ng… aku belum pernah mengalaminya. Jadi tidak bisa memberi solusi.

Aku hanya berpegang pada motto orang Jawa: Ubet, ngliwet. Kalau kita berusaha, pasti hasilnya bisa untuk hidup. Jadi, begitulah.

Don’t worry be happy. Yuk ubet, ben iso ngliwet.

Adakah Kabar Baru dari Masa Lalu?

Aku tadi membaca di status teman: Tak ada kabar baru dari masa lalu dan tak ada kabar kepastian dari masa depan. Jadi, hiduplah saat ini.

Aku seperti ditampol membaca status itu.

Iya, betul juga. Tak ada kabar baru dari masa lalu.

Kadang aku masih berharap ada kabar baru. Tapi yang lalu memang sudah berlalu walau menyisakan rasa sampai saat ini. Detail peristiwanya juga sebagian sudah terlupa, tapi ada rasa yang tertinggal. Apakah kamu mengalami hal yang sama?

Aku perlu mengingat hal ini lagi: Hiduplah sepenuh-penuhnya pada masa sekarang.

Dan jangan lupa memaafkan orang lain dan diri sendiri.

Hiburan untuk Seorang Teman

Semalam aku bermobil dengan teman masa kecilku. Kami mengingat-ingat hal-hal yang silam. Dulu aku hampir setiap hari ke rumahnya. Berkat dia aku bisa baca Lima Sekawan, STOP, Candy Candy, dll. Hampir semua buku bagus masa kecil yang kubaca itu koleksinya. Gimana aku nggak demen temenan sama dia? Haha.

Semalam aku bertanya padanya: Anakmu sudah pacaran? Anaknya cewek dan sudah mau masuk SMA. Kebayang dong anak umur segitu kan sedang mulai naksir-naksiran. Dan aku penasaran pengin tahu bagaimana dia menghadapi anak remajanya itu. Tapi akhirnya kami malah nostalgia membahas cowok gebetan masa remaja. (Sekarang di mana mas ganteng yang bikin deg-deg an itu ya?)

Dia bilang, masa-masa itu adalah masa terindahnya. Aku pun merasa begitu.

Sekarang kami bertemu lagi dalam suasana yang berbeda. Semalam, saat hujan deras, aku menemani dia mengantar nasi berkat ke beberapa kerabatnya. Nasi berkat peringatan 7 hari ayahnya. Sebetulnya aku sedang tidak selo-selo amat. Tapi aku merasa perlu menemani dia. Aku merasa cuma itu yang bisa kulakukan mengingat sumbangan uang yang kuberikan padanya tidak banyak. Waktu ayahnya sakit aku tidak sempat bezuk, dan tahu-tahu dikabari ayahnya sudah meninggal.

Di antara tawanya yang renyah mengingat masa lalu kami dan kendati beberapa kali mengatakan bahwa ayahnya sudah bahagia, dia beberapa kali mengatakan bahwa dia sekarang sudah tidak punya papa lagi. Aku merasa tidak bisa memberikan hiburan yang sepantasnya dan secukupnya. Apakah cerita nostalgia kami itu cukup menghibur?

Kepada semua orang dia menyebutku sahabat masa kecilnya. Bagiku, istilah sahabat itu lebih dari sekadar teman. Ya, kami cukup dekat dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, ada masa kami jauh dan tak berkabar. Ketika ayahnya berpulang kemarin, aku merasa tidak banyak membantu. Sahabat macam apa aku ini? Jadi, ketika dia mengajakku supaya menemani mengantar nasi berkat, aku langsung mengiyakan. Setidaknya aku punya waktu untuk menemaninya sebentar.

Aku berjanji berdoa buat dia. Semoga ini bisa jadi hiburan.