Kira-kira sudah empat tahun ini aku resmi bekerja di rumah. Seingatku, kira-kira di bulan seperti ini, pada tahun 2008, aku mengundurkan diri dari tempat kerjaku. Barangkali itu akan menjadi satu-satunya kantor tempat aku pernah bekerja. Sejak aku mengundurkan diri, aku memantapkan diri menjadi pekerja serabutan lepas, terutama dengan menekuni menjadi penerjemah buku dan editor lepas. Semua pekerjaanku itu kukerjakan di rumah.
Pada awal-awal aku mulai bekerja di rumah, aku rada-rada gimanaaa gitu. Campuran antara senang dan agak-agak sedih. Senang karena akhirnya aku tidak harus bangun pagi, tidak harus buru-buru bersiap untuk masuk kantor, tak perlu lagi menembus jalan yang padat di pagi hari. Enak kan? Tetapi ada acara sedihnya juga ketika aku sadar bahwa ternyata aku sendirian di rumah dan mesti bekerja (sendiri) pula. Huh. Dulu biasanya setiap hari bertemu teman seruangan, ada teman teng-teng crit (tenguk-tenguk crita = duduk-duduk sambil bercerita), bisa bergurau dengan teman. (Dulu ada suatu masa ruanganku itu dipenuhi orang-orang yang suka guyon, terutama sejak ada mc sekaligus “pelawak gadungan” di ruanganku. Entah bagaimana sebenarnya perasaan atasanku dulu terhadap anak-anak buahnya yang kadang tak tahu aturan kalau tertawa. :D) Kalau dulu aku bisa dengan mudah tanya ini dan itu ke teman-teman seruangan, sekarang mau tanya siapa coba? Tanya sama tembok kok rasanya kaya pemain sinetron. 😀
Saat masih di Jogja, semua rasa yang campur aduk itu bisa kuatasi dengan mudah. Toh aku masih bisa main-main ke kantor lamaku (walaupun sebenarnya lama-lama nggak enak juga kalau keseringan main dan akhirnya aku jadi agak-agak tidak mudeng mendengar mereka mengobrol, karena kehilangan konteks). Begitu aku pindah ke Jakarta, ternyata tidak semudah itu untuk mulai bekerja di rumah sendiri. Rasanya aneh. Berada di lingkungan baru, rasanya membuatku betul-betul hampir tak punya teman. Kasihan ya aku hihihi. Untung saja waktu itu ada teman yang rumahnya hanya berjarak tiga gang dari tempatku. Tentu saja, waktu itu ada suamiku sih. Tapi dia kan mesti bekerja. Dia berangkat pagi dan waktu itu pulang malam karena kuliah malam. (Kalau sekarang sih, sore atau petang sudah di rumah.) Dan waktu itu aku merasa sangat “ditemani” oleh radio. Mendengarkan radio benar-benar menghibur. Sampai sekarang aku merasa para penyiar itu adalah teman yang baik. Mereka ngomoooong aja dan aku senang-senang saja mendengar mereka bicara.
Lama-lama aku jadi terbiasa bekerja sendirian. Hanya berteman dengan kamus dan buku yang sedang kukerjakan, plus internet tentu saja. Bisa dibilang aku tidak bicara sama sekali sejak suamiku berangkat kerja sampai dia pulang–kecuali ada telepon masuk. Sisanya, ngomong dengan diri sendiri. 😀 Aneh ya? Hehehe. Tapi aku enjoy saja sih. Sekarang justru tidak terbayang kalau aku mesti bekerja kantoran lagi, bekerja bersama beberapa orang dalam satu ruangan.
Yang jadi “teman” kerjaku selama ini–selain kamus dan buku yang sedang kukerjakan, adalah para penyiar yang dengan rajinnya cuap-cuap di radio. 🙂 Dan sekarang berkat internet, teman bisa datang dari mana saja. Teman-teman blogger, teman-teman di FB, teman-teman chatting, semuanya memberi warna hari-hariku. Yang membuatku senang adalah beberapa waktu lalu aku diundang temanku untuk masuk grup penerjemah-editor buku. Rasa-rasanya aku seperti mendapat teman-teman baru dalam waktu singkat. Di situ kami bisa bertanya apa saja. Bagaimanapun, kita memang perlu teman untuk dimintai pendapat soal kata atau kalimat yang membuat bingung kalau dipikir sendiri. Kadang aku menyimak saja apa yang sedang didiskusikan. Mengasyikkan.
Kalau aku pikir-pikir, ada beberapa hal menguntungkan yang kudapat dengan bekerja di rumah:
– Bisa tidur siang. Walaupun tidak setiap hari tidur siang, tapi kalau pas lagi capeeek banget, aku bisa tidur siang sebentar.
– Bisa bikin jus atau makan buah semauku. Kalau di kantor, mana bisa bolak-balik ke kulkas ambil buah?
– Bisa ngemil sepuasnya. 🙂
– Tak perlu bermacet-macet ria untuk menuju tempat kerja.
– Bisa mandi siang (hahahaha!)
– Tak perlu beli baju kerja. Pakai kaus butut nan adem pun tak ada yang protes. :p
– Kalau mau cuti, tinggal ngomong di depan cermin 😀
– Bisa ngeblog di sela-sela jam kerja :D. (Tapi kalau sedang banyak pekerjaan, aku kadang tidak bisa mikir untuk membuat postingan baru.)
Sisi tidak enaknya:
– Sering dianggap tidak punya pekerjaan, jadi bisa disuruh-suruh kapan saja. Laaah … kalau deadline di depan mata, kan tidak bisa ke mana-mana.
– Mengusahakan bonus tahunan sendiri hihihi. Bercanda ding. Maksudnya, gaji atau honor itu tergantung sepenuhnya pada usaha kita sendiri. Tapi sejak aku bekerja sendiri, aku betul-betul belajar tentang “misteri rejeki.” (Ini termasuk sisi tidak enak atau sisi enaknya ya? Bingung deh.)
Sudah ah, cukup dua saja sisi tidak enaknya … 😀 (Biar pada pengin bekerja sendiri di rumah. Hehehe.)
Aku kadang bertanya-tanya, seberapa banyak orang yang bekerja sendiri di rumah seperti aku? Apakah mereka senang? Menurutku, kalau kita menyukai apa yang kita kerjakan, itu menyenangkan kok, walaupun mesti bekerja sendiri. 🙂