Kendaraan Bermotor Tidak Boleh Memakai Premium?

Beberapa hari yang lalu aku mendengarkan radio. Salah satu topik yang diangkat waktu itu adalah rencana pemerintah untuk melarang kendaraan bermotor mengisi bahan bakar dengan bensin (premium). Alasannya, kendaraan bermotor sudah terlalu banyak dan pemerintah menganggap subsidi (atas premium) yang diberikan kurang tepat sasaran. Kabarnya, kebijakan ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus besok.

Nah, yang punya sepeda motor pasti ketir-ketir nih. Harga Pertamax tentu jauh lebih mahal. Kalau tidak salah hampir dua kali lipat harga premium. Ongkos untuk transportasi sudah pasti akan berlipat. Padahal gaji/honor belum tentu naik.

Pengalaman di Jogja

Rencana pemerintah ini mau tak mau mengingatkanku pada pengalamanku memakai sepeda motor. Kira-kira sejak awal tahun 2000-an, aku adalah pengguna sepeda motor yang aktif. Maksudnya, ke mana-mana mengandalkan sepeda motor. Oiya, ini settingnya di Jogja ya. Saat itu aku sudah lulus kuliah dan mulai cari-cari pekerjaan. Sebagai pengangguran, kadang supaya terlihat tidak menganggur banget, aku sering keluar rumah. Kadang ke kampus, kadang ke rumah teman, kadang ya muter-muter tidak jelas begitu. Intinya sih, cari kegiatan dan cari lowongan pekerjaan.

Aku tak bisa membayangkan jika saat itu aku tidak punya motor. Jika kamu pernah tinggal di Jogja pada masa itu, kamu akan tahu bahwa kendaraan umum di sana benar-benar tak bisa diandalkan. Sebenarnya ini penyakit kendaraan umum di mana pun sih. Masalah utamanya adalah: kendaraan umum ini (bus kota), jalannya kadang sangat pelan, kadang ngebut tidak karuan. Untuk jalur-jalur tertentu ada cukup banyak bus yang tersedia. Tetapi, masih banyak pula jalur yang sedikit busnya, sehingga mau tak mau kita harus menunggu lama untuk mendapatkannya. Dan, bersiaplah jalan kaki jika kamu bepergian lebih dari pukul 6 sore. Jam segitu, kendaraan umum sudah tidak ada. Kalau ada, itu pun sangat sedikit, dan kamu harus menunggu sangat lama. Sangat tidak efisien.

Di awal tahun 2000-an itu, aku masih tinggal di rumah Nenek yang tidak terlalu jauh dari pusat kota dan terminal bus. Jadi, kendaraan umum, biar pun sangat sedikit, masih ada jika aku mau bersabar menunggu. Tapi kalau aku mengandalkan kendaraan umum, bisa-bisa ubanku akan semakin banyak. Hehe. Agar lebih efisien, akhirnya motor BMW (Bebek Merah Warnanya) yang ada di Madiun, diimpor ke Jogja. Dan jadilah aku ber-BMW ria keliling Jogja. Oiya, aku tidak memakai sepeda motor waktu masih kuliah karena aku tinggal di asrama yang tidak jauh dari kampus waktu itu. Lagi pula, Suster sangat ketat memberi izin pada anak-anak yang mau membawa motor.

Kira-kira tahun 2003, aku pindah ke daerah pinggiran. Rumahku jauh dari mana-mana. Tetapi, waktu itu masih ada dua jalur kendaraan umum yang lewat tak jauh dari rumahku. Angkot kecil warna kuning dengan nomor 21 dan 29. Jalur dua kendaraan umum itu cukup jauh dan hanya di daerah-daerah tertentu saja yang banyak penumpangnya. Misalnya, untuk jalur nomor 21, angkot itu penuh mulai dari daerah Gejayan sampai Paingan. Angkot itu adalah andalan para mahasiswa Sanata Dharma yang kampusnya di Paingan. Rumahku dari kampus Paingan masih ke utara lagi kira-kira yaaa … 3 km lah. Tidak terlalu jauh, tetapi selepas dari Paingan, sopir angkot biasanya berbalik karena tak ada penumpang. Begitu pula dengan angkot nomor 29. Dua angkot itu, jarang sekali yang lewat jalan raya dekat rumahku karena sepinya penumpang. Bisa dibayangkan jika aku mengandalkan angkot untuk bepergian. Apalagi jika ke kantor, aku tak mungkin mengandalkan angkot tersebut. Bisa terlambat, deh! Pokoknya benar-benar hanya mengandalkan motor.

Waktu terus berlalu, dan aku tak sadar bahwa angkot nomor 21 dan 29 itu sekarang sudah tak lewat lagi di dekat rumahku. Mau tak mau, motor akan menjadi andalanku. Walaupun sudah 2 tahun ini aku tinggal di Jakarta, aku masih sering pulang dan saat di rumah, harus ada “persediaan motor” di rumah untuk dipakai sewaktu-waktu.

(Saat ini di Jogja sudah ada bus Trans Jogja yang beroperasi sampai pukul 9 malam. Akan tetapi, bus tersebut hanya beroperasi di perkotaan; tidak menjangkau daerah-daerah pinggiran.)

Pengalaman di Jakarta

Sudah dua tahun ini aku tinggal di Jakarta. Aku hampir tak pernah memakai motor untuk bepergian. Di sini, aku lebih sering naik kendaraan umum. Ada banyak pertimbangan kenapa aku tidak naik motor di sini. Yang pertama, aku merasa kurang nyaman naik motor di sini. Kemacetan, keselamatan di jalan raya apalagi menghadapi para pengendara lain yang sering ngebut, dan polusi yang pekat, membuatku berpikir ulang untuk membawa motorku ke Jakarta. Lagi pula, sampai saat ini, aku merasa kebutuhanku untuk bepergian masih bisa dipenuhi oleh kendaraan umum.

Memang, kendaraan umum di Jakarta masih jauh dari ideal: Kebiasaan sopir angkot yang ngetem cukup lama untuk mencari penumpang, kebiasaan untuk kebut-kebutan karena berebut penumpang sehingga membuat penumpang jantungan, kebersihan dan kenyamanan di dalam angkot yang tidak terjaga dengan baik, para perokok (termasuk sopir) yang terus “ngebul” saat berada di dalam angkot yang penuh sesak. Belum lagi tak jarang penumpang harus ganti-ganti angkot untuk mencapai suatu tujuan, dan ini tentu membutuhkan biaya yang cukup lumayan.

Tidak idealnya kendaraan umum seperti ini mau tak mau memang “memaksa” masyarakat memutar otak untuk bepergian. Mereka mencari transportasi alternatif yang bisa diandalkan, murah, dan efisien. Sepeda motor akhirnya menjadi pilihan yang diambil. Apalagi sekarang cukup mudah dan murah untuk membeli sepeda motor. Beberapa orang temanku di Jakarta yang ke mana-mana naik sepeda motor mengatakan bahwa sepeda motor memang cukup bisa diandalkan. Kenapa? Karena kalau macet, bisa dengan cepat menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang lebih besar atau bisa segera mencari jalan alternatif.

Seperti ayam dan telur

Masalah transportasi ini kalau kupikir-pikir mirip pertanyaan: lebih dahulu mana ayam atau telur? Karena kendaraan umum kurang dan bahkan tidak bisa diandalkan, masyarakat lalu membeli dan memakai kendaraan pribadi. Sebaliknya, bagi pengusaha kendaraan umum, daripada merugi, mereka cenderung menghindari beroperasi di daerah yang sepi penumpang.

Memang sih, di daerah yang terbilang jauh dari mana-mana (seperti daerah di dekat rumahku di Jogja), sedikit orang yang bepergian. Kalau beraktivitas, biasanya mereka pun hanya di seputar daerah itu saja. Misalnya, di daerahku, kita masih dengan mudah menjumpai petani atau peternak. Jika dibandingkan dengan orang perkotaan, mereka lebih banyak beraktivitas di situ saja untuk mengurus sawah atau menggembalakan ternaknya. Dan mungkin karena hampir tidak ada kendaraan umum yang lewat di situ, penduduk lebih memilih mengusahakan sepeda motor untuk kendaraan pribadi.

Di Jakarta sendiri, walaupun kendaraan umum bisa dibilang lebih banyak, tetapi karena jauh dari nyaman dan kurang bisa diandalkan, orang akhirnya memilih naik sepeda motor atau mobil pribadi.

Aku tidak tahu, apa dampak langsung jika kendaraan motor pribadi tidak boleh mengisi BBM dengan premium. Idealnya, jika kebijakan ini diterapkan, kendaraan umum yang memadai, bisa diandalkan, dan nyaman sudah tersedia. Hanya saja, bagaimana cara pemerintah mengusahakan kendaraan umum seperti itu dalam tiga bulan ke depan?

Terus terang aku ragu kebijakan itu akan berjalan dengan baik. Begini, jika sampai saat ini kendaraan umum di ibu kota saja masih kacau, bagaimana dengan kendaraan umum di daerah? Indonesia bukan hanya Jakarta saja, kan? Jika kebijakan ini diterapkan, orang-orang yang tinggal di pinggir pantai sampai di kaki gunung yang selama ini mungkin memakai kendaraan motor pribadi untuk bepergian, yang pendapatannya tidak sampai enam digit, mau tak mau harus ikut menjalankan kebijakan ini. Aku hanya khawatir, pemerintah kita hanya memandang Jakarta sebagai tolok ukur dalam membuat kebijakan. Karena di Jakarta inilah jalanan penuh sesak dengan sepeda motor, karena di Jakarta inilah lebih banyak orang yang mampu membeli mobil, karena di Jakarta inilah uang subsidi BBM paling banyak salah sasaran, karena di Jakarta inilah para anggota DPR itu sering menghabiskan waktu untuk beraktivitas ….

Evolusi HP (Sampai Facebook)

(Haiyaaa … judulnya serius sekali ya? :p)

Kapan pertama kali kamu memiliki HP sendiri? Maksudku, HP yang kamu beli dengan uang hasil keringatmu sendiri, bukan HP pemberian, bukan pula HP colongan :p

Kalau tidak salah ingat, aku membeli HP pertama kali dengan uangku sendiri sekitar awal tahun 2000-an. Entah tahun 2001 atau 2002–aku tak ingat. Aku memilih merek S****ns–semata-mata karena kakakku memakai HP dengan merek tersebut. Saat itu HP masih barang mahal. Belum terlalu banyak orang yang memiliki HP. Tidak seperti sekarang; HP (dan kartu perdana) begitu murahnya, sehingga rasanya setiap orang mampu membeli HP.

Saat itu, rasa-rasanya aktivitas yang paling banyak dilakukan orang dengan HP-nya adalah mengirim SMS. Telepon masih mahal. Setidaknya, jika hendak menelepon, orang lebih memilih menelepon ke telepon rumah atau telepon kantor yang fixed dibandingkan menelepon ke HP seseorang. Wartel juga rasanya masih cukup banyak dan lumayan laku. Permainan di dalam HP pun juga tidak bervariatif seperti sekarang. Jadi, rasa-rasanya relasi orang dengan HP masih berjarak. Setidaknya, orang tidak terlalu sering menggenggam HP-nya. Saat itu HP dilirik saat ia berdering atau kita “kebelet” mengirim SMS atau hendak menelepon. Orang pun tidak terlalu sering memasukkan kata HP atau istilah yang berkaitan dengannya dalam pembicaraan sehari-hari dengan kawan atau kerabatnya.

Sepuluh tahun berlalu. Mari kita bandingkan. Saat di kendaraan umum, berapa banyak orang yang mengeluarkan HP-nya? Ada berapa banyak orang yang sibuk memencet-mencet tombol di HP-nya untuk: SMS, membuka Facebook, mendengarkan lagu/radio? Tadi, saat aku berjalan menyusuri tiga ruas gang di sekitar rumah, di setiap gang aku selalu menemukan orang sedang sibuk dengan HP-nya. Entah mereka sedang sendirian atau bergerombol. Sekilas kudengar, mereka bicara soal HP, status Facebook, pesan singkat yang diterima/dikirim.

Di mal-mal, tak jarang kulihat orang sedang duduk, membuka laptop, dan yak betul, Facebook-lah yang sedang mereka buka. Kalau mau iseng, coba hitung berapa kali dalam sehari kamu memakai kata Facebook saat bercakap-cakap dengan teman, pasangan, atau kerabat? Atau, jika bukan kata Facebook, berapa kali kamu memasukkan kata SMS/pesan pendek saat berbincang, berpikir, atau melamun?

Dua hari yang lalu, aku mengobrol dengan seorang teman. Dia bercerita bahwa akhir-akhir ini dia jarang membuat status Facebook. “Kenapa?” tanyaku. “Banyak hati yang harus dijaga. Beberapa waktu lalu, ada yang protes padaku karena tersinggung dengan status Facebook yang kubuat.” Apakah kamu juga pernah mengalami hal serupa? Atau kamu malah menjadi pihak yang tersinggung? Atau kamu diam-diam sebal dengan status Facebook temanmu? Karena statusnya yang lebay, terlalu puitis tak karuan, atau mungkin terganggu karena temanmu melemparkan kesebalannya ke ruang publik dengan cara yang kurang pas di FB? Kurasa kejadian semacam itu sudah wajar. Setidaknya sudah tiga orang temanku yang menceritakan hal semacam itu. Ada yang kesal karena setiap statusnya selalu dikomentari dengan pedas oleh temannya.

Aku sendiri sebenarnya juga sempat mengalami hal serupa. Ada yang protes karena aku (dan beberapa teman) memberikan komentar di postingan salah satu temanku. Katanya sih, komentarku kurang pantas. Hehehe, memang kadang jari ini bisa tak terkontrol saat di depan komputer. Aku minta maaf, dan kuhapus komentarku di sana. Dan … aku kini tak pernah “menyentuh” status temanku itu sama sekali. Hahahaha! Aku pernah juga merasa sebal dengan status FB temanku. Tapi sekarang aku tak terlalu peduli dengan hampir semua status FB teman-temanku. Hanya orang-orang tertentu saja yang sering aku baca statusnya dengan cukup cermat. Jika dulu aku sebal dengan status si X misalnya, sekarang aku lewatkan saja. Toh biasanya status-status itu tak berhubungan langsung denganku. Anggaplah aku bosan dengan statusnya yang maha lebay dan terkesan mencari perhatian, lalu aku berpikir, itu haknya mengungkapkan hal seperti itu. Setiap orang berhak berpikir, memiliki perasaan tertentu, dan mengungkapkannya bukan? Aku memang kurang suka, tetapi aku tidak berhak melarang mereka berkata ini dan itu. Bagiku, kalau tidak mau terganggu, ya tidak usah dibaca atau lewati saja. Beres, kan?