Prestasi-Prestasi Kecil

Hari ini aku bisa bangun pagi sebelum jam 5. Hebat. Ini prestasi buatku, mengingat aku sering melanjutkan tidur meskipun tahu hari sudah pagi. Dan hari ini aku berangkat misa harian. Sungguh hal yang patut diapresiasi. (Sebetulnya aku pengin misa di Banteng–sesuai dengan paroki tempat aku tinggal, atau bahkan ke Kotabaru. Tapi karena gereja Minomartani lebih dekat dari rumah, aku akhirnya ke Minomartani saja.)

Hari ini aku bikin nasi kuning. Sudah beberapa hari ini aku berangan-angan bikin nasi kuning. Tapi kupikir, hari ini hari yang pas untuk bikin nasi kuning. Rasanya pas aja. My heart told me so. Jadi, aku bikin. Dan aku menambahkan urap untuk nasi kuningku. Mungkin agak tidak biasa ya. Rata-rata “teman” nasi kuning itu kering tempe, abon, telur. Karena aku pengin makan sayur yang boanyaaak … aku bikin urap. Tempe kugoreng saja–demi praktisnya. Ini prestasi kedua. Lumayan kan.

Oiya, hari ini aku nyaris tidak ngemil. Kalau bisa begini kira-kira setahun, mestinya aku bisa lebih kurus ya. 😀 😀

Apa prestasimu hari ini?

Tahun 2023 Ngapain Aja?

Jujur saja, aku tidak terlalu rajin mencatat apa-apa yang kualami pada tahun ini. Jadi, ketika pada akhir tahun begini, aku agak sulit mengingat apa persisnya hal-hal penting yang kualami.

Yang paling kuingat adalah tahun ini aku mengerjakan proyek terjemahan lagu anak dari LooLoo Kids (Inggris-Indonesia) dan naskah cerita anakku yang berjudul Stroberi untuk Ratu Jani lolos GLN (Gerakan Literasi Nasional). Dua hal itu rasanya yang paling mencolok.

Proyek LooLoo Kids ini terbilang baru buatku. Tidak mudah menerjemahkan lagu-lagu anak, terutama aku mesti mempertimbangkan rima dan jumlah suku kata sehingga tetap enak dinyanyikan. Aku senang pihak pemberi kerja cukup puas dengan hasil kerjaku. Dan yang paling menyenangkan adalah soal honor. Sangat lumayan!

Tentang GLN, aku merasa beruntung sekali naskahku lolos, mengingat saingannya mencapai ribuan. Dulu aku pernah daftar GLN, dan gagal. Jadi, tahun ini berusaha menyusun naskahku matang-matang dan ndilalah berhasil. Workshop GLN di Jakarta rasanya seperti ngecas baterai. Ketemu teman-teman lama dan baru ternyata beneran nge-boost energi.

Tahun ini aku mengerjakan terjemahan buku rohani lagi. Yeay! Ini adalah salah satu doaku. Senang sekali rasanya aku bisa terlibat dan proyek penerjemahan buku rohani. Seperti kembali ke masa-masa awal aku mulai menerjemahkan buku duluuu.

Aku sempat mengerjakan terjemahan laporan proyek temanku dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Proyek ini temanya tentang daycare. Aku yang semula awam soal daycare jadi mulai sadar bahwa daycare sebenarnya suatu kebutuhan di masyarakat. Sayangnya hal ini sering dianggap tidak terlalu penting dan biayanya mahal. Diperlukan daycare yang lebih terjangkau biayanya, terutama untuk masyarakat dengan tingkat sosial rendah.

Hal lain yang perlu kucatat adalah tahun ini aku berusaha membangun kebiasaan berolahraga. Olahraga dulu adalah hal yang tidak masuk hitunganku. Tapi belakangan aku merasa, mau tak mau, aku harus olahraga supaya badan tetap fit.

Pada tahun ini ada beberapa kerabatku yang meninggal: Paklik Ismud, Pakde Yak, suami dan anaknya Mbak Yeti. Aku hanya datang melayat saat Lik Ismud meninggal. Itu pun aku tidak sempat melihat jenasahnya. Beliau sudah cukup lama sakit dan selama sakit dirawat di rumah Madiun.

Rasanya tidak terlalu banyak yang kukerjakan pada tahun 2023. Aku berharap tahun depan aku bisa mengerjakan lebih banyak hal.

Apa Nikmatnya Setrika?

Tadi pagi, di sebuah grup WA, ada yang mengeposkan foto anak perempuannya yang sedang berselancar saat bertugas di pulau yang berpantai cantik. Berwisata sambil bekerja. Ceritanya begitu.

Aku melihat postingan itu sekilas, sambil menyetrika timbunan baju bersih. Tumpukan baju ini setia betul padaku. Kalau dipikir-pikir, sepertinya menyetrika baju vs berwisata sambil bekerja itu tidak imbang. Seolah yang satu makan nasi goreng yang dimasak dari nasi kemarin, satunya lagi makan steak wagyu.

Dulu, sekian belas tahun silam, aku akan dengan mudah merasa tak berarti ketika melihat postingan demikian. Apalah artinya pekerjaan yang berkutat dengan tumpukan baju? Tidakkah jauh lebih bermakna, bergengsi, dan glamor mereka yang bekerja dengan setelan baju kantor, gincu, dan eye shadow warna nude? Atau mereka yang bisa berwisata sambil bekerja?

Namun, hari ini aku merasa aku baik-baik saja dan tidak mendadak merasa rendah diri. Pekerjaan rumahan juga penting. Dan berharga. Bahkan aku menikmati proses menyetrika. Dengan menyetrika aku bisa menghitung berkat-berkat yang kuterima, serta menyadari kemewahan yang kualami. Misalnya, berkat listrik aku bisa setrika kapan saja; berkat teknologi yang maju, setrikaan makin ringan; aku menyetrika baju orang-orang terdekatku ditemani kucingku yang suka merajuk. Pekerjaan menyetrika menjadi suatu pekerjaan yang bisa kunikmati dan aku sadar hal itu pasti memberi manfaat. Bukankah melakukan pekerjaan sederhana jika disertai dengan cinta juga akan menjadi berkat?

Jadi, walau menyetrika itu ibarat makan nasi goreng rumahan, tetap nikmat. Steak wagyu, ya pasti enak. Tapi nasi goreng, jika dimasak dengan aneka rempah, ditambah telor ceplok, selada, dan timun, serta dinikmati saat masih panas, pasti enak dong. Dan tergantung makan dengan siapa … begitu katanya.

Ikut Bazar, Apa Untung?

Kemarin aku ikut meramaikan bazar di gereja. Karena aku produksi sabun batang (handmade soap), yang kupajang tentu saja sabun.

Aku sudah tiga kali ikut bazar. Dari bazar pertama, aku sadar jualan sabun batang, sebagus apa pun, kurang menguntungkan. Sabunku nyaris tidak dilirik. Orang datang ke bazar rata-rata untuk beli makanan. Orang yang jualan makanan dan minuman biasanya kepayon alias laris manis. Apalagi yang jualan sembako murah, umumnya pulang tinggal bawa uang. Aku cuma melirik dengan berusaha pasang senyum “aku ra papa” pada ibu-ibu yang jualan jamu kunir asem dan tape singkong. Mereka sama sekali tidak tertandingi larisnya. Hahahaha.

Nah, pada kali kedua ikut jualan di bazar, aku jualan tahu bakso dan sambel pecel Madiun, sabun hanya sekadarnya dan aku sengaja bikin sabun yang murah–5 ribuan dan 10 ribuan. Aku bawa sabun yang harganya di atas 10 ribuan juga, tapi tetep yang paling laku sabun murah meriah itu. Tahu bakso buatanku laris. Sambel pecel juga lumayan laris.

Ketiga kalinya–bazar yang kemarin–aku cuma bawa sabun. Lho kok? Sudah tahu nggak bakal laku, kenapa cuma bawa sabun doang?

Aku sadar kemarin aku ikut memajang sabun lebih karena terdorong sifat enggak enakan. Waktu membungkusi sabun, aku sebenarnya mulai menyadari hal itu dan pengin membatalkan aja. Tapiii… ya gitu, sifat enggak enakanku gede banget. Ini gengsi atau apa sih? Embuh.

Jadi, ceritanya aku dicolek oleh salah satu panitia supaya aku ikut jualan sabun. Nebeng di lapak tim kategorial gereja. Di lapak ini jualannya barang kerajinan semua. Jadi, aku tidak bisa jualan makanan. Lagi pula, mejanya tidak terlalu besar. Aku mesti berbagi dengan 3 penjual lainnya. Kenapa tidak punya meja sendiri? Karena telat daftarnya dan tidak kebagian stand. Sebenarnya waktu bazar kedua dulu aku juga tidak jualan sendiri. Aku barengan 2 ibu lain, dan mereka berdua jualan makanan. Jadilah aku ikut jualan makanan juga. Sabun itu hanya tambahan.

Aku merasa agak buang-buang waktu kemarin. Saat aku merasa “I have to do something” ketimbang bengong nungguin jualan, aku merasa aku perlu ikut misa. Jualanku bisa kutitipkan ke salah satu ibu yang semeja denganku. Aku ikut misa yang jam 18.30. Untung banget aku ikut misa yang jam segitu, karena aku bisa masuk gereja lebih awal. (Ya, iyalah kan aku aku sudah ada di halaman gereja sejak pukul 16. Jadi, aku bisa masuk gereja 20 menit sebelum misa dimulai. Sungguh, ini suatu pencapaian buatku yang sering buru-buru masuk gereja hanya beberapa menit sebelum misa mulai.) Gereja masih sepi. Bangku-bangku banyak yang kosong. Aku bisa memilih bangku sesukaku. Karena aku kurang suka duduk depan, aku pilih bangku tengah. Aku bisa hening cukup lama sebelum misa dan sebelum umat berdatangan. Nikmat banget.

Ketika hening, banyak pikiran berlompatan. Aku berusaha mengamati saja–walau kadang terhanyut. Ada 1-2 pikiran yang sudah lama bercokol di kepala dan aku tahu betul itu. Ada yang bikin termelow-melow (dasar melakolis!), ada bikin kesel, dan ya … aku jadi sadar betul, keikutsertaanku di bazar kemarin itu karena aku beneran enggak enak. Aku sudah dicolek oleh seorang panitia. Dia mendorongku ikut bazar. Dan ini adalah colekan kedua. (Dulu oleh ibu yang lain, tapi kurang lebih samalah.) Jadi, ya … begitulah ceritanya. Sifat enggak enakanku ini masih gede rupanya. Padahal aku merasa sudah enggak gitu-gitu amat. Eiy, tapi kok masih cukup jadi dorongan yang besar ya? What happened aya naon, teh? Kenapa bisa begitu?

Bacaan misa kemarin adalah soal “berjaga-jaga”. Aku mengartikan berjaga-jaga ini berkaitan dengan kesadaran (mindfulness dan awareness). Kurasa sudah tepat aku menghadiri misa di tengah-tengah ikut bazar kemarin. Aku punya waktu hening dan aku menyadari hal-hal yang selama ini seolah tersembunyi, yang tidak ada kaitannya dengan alam sadarku.

Pelajaran inilah yang kupetik kemarin. Aku memutuskan tidak ikut bazar hari kedua. Pertama karena aku merasa jualan sabun saat bazar gereja itu kurang menguntungkan. (Lain kali, mesti cepet daftar bazar dan bisa jualan makanan.) Kalau mau terlihat dan menarik perhatian, mesti bawa sabun yang banyaaak! Entah kapan aku bisa produksi sabun buanyak banget karena aku masih memilih mengerjakan terjemahan. Tetapi kurasa bazar gereja memang bukan tempatnya untuk promosi sabun. Pasarnya beda. Kedua karena aku sakit tenggorokan. Meski enggak parah, tapi kurasa istirahat di rumah dan makan sup serta bubur adalah pilihan yang lebih baik.

Jualan sabun di bazar gereja memang kurang menguntungkan, tapi kemarin aku memetik pelajaran penting untuk diriku pribadi.

Cerita Mengompos

Aku punya lima komposter di rumah. Komposter sejumlah ini sudah pas. Tidak kurang, tidak lebih. Bahkan bisa untuk menampung sampah dua rumah–rumahku dan rumah kakakku. Bisa dibilang, kini sampah tak terlalu jadi masalah di rumahku. Sampah dapur dan sisa makanan, bisa dikomposkan.

Komposter kelima yang paling besar, bentuknya kotak ukuran 1 meter persegi, bagian bawahnya langsung kena tanah. Komposter kelima ini andalan banget karena dia menuntaskan tugas empat komposter lain. Berkat komposter kelima ini aku bisa mendapatkan kompos yang bagus–tidak basah, tidak kering, tetapi lembap seperti tanah dan dingin.

Banyak orang bilang, mengompos itu mudah. Buatku, mengompos itu nggak mudah-mudah amat. Awalnya agak membingungkan, tapi lama-lama bisa mengikuti irama pengomposan … dan aku senang!

Aku mengalami beberapa masalah selama mengompos. Misalnya, muncul banyak lalat. Beneran lalat itu kaya pasukan baris-berbaris di dahan kenanga depan rumah, yang letaknya hanya sekitar satu meter dari komposter. Mengerikan, deh. Pernah juga lalat-lalat itu masuk rumah. Dan aku diprotes oleh iparku. Waduh … Tapi untungnya, cara mengatasi masalah kompos yang berbelatung itu mudah, yaitu cukup dengan menambahkan daun kering.

Masalahnya, di mana bisa dapat daun-daun kering?

Itu masalah tersendiri. Awalnya, aku mesti minta ke tetangga yang punya banyak pohon dan daun keringnya dibiarkan begitu saja. Tapi kemudian, aku baru sadar pohon mangga di belakang rumah bisa memberikan daun kering yang cukup untuk komposterku. Oiya, sebelumnya aku menambahkan serbuk gergaji ke komposter. Serbuk gergaji ini kuperoleh dari tetanggaku, seorang pengusaha mebel. Jadi, relatif tidak ada masalah untuk kebutuhan daun kering.

Awalnya aku bikin kompos ini tidak sabaran. Kenapa lama sekali jadinya? Pernah aku tunggu sekitar 2 minggu–eh atau 3 minggu, ya? Tapi isi komposter itu becek sekali. Tidak jadi kompos padat seperti yang kuharapkan. Aduh, bagaimana ini? Aku putus asa dan pengen balik pakai jugangan saja seperti dulu. Tapi masalah ini akhirnya bisa selesai dengan komposter kelima yang kuceritakan di atas. Kompos becek itu kumasukkan ke komposter kelima, kututup daun-daun kering. Setelah semingguan, jadilah kompos seperti yang kuharapkan.

Mengompos ini membuatku mengamati karakteristik beberapa jenis sampah organik:

1. Daun pisang, kulit jagung, dan kulit manggis itu lebih lambat hancur.

2. Bonggol jagung lebih cepat hancur rasanya dibanding daun pisang. (Ini menurutku yaaa)

3. Ranting tanaman relatif lambat hancur juga.

4. Sampah yang tercincang akan lebih gampang terurai.

5. Daun kering adalah penyerap bau busuk yang efektif.

Hal lain yang kupetik selama mengompos adalah sesuatu yang kompleks itu sulit terurai. Hal ini sepertinya berlaku untuk apa pun, tidak hanya soal sampah. Termasuk emosi. Eh, kok jauh amat nyangkutnya? 😀 (Yah, pikiranku memang mudah melompat-lompat.) Mungkin itu sebabnya kita perlu meditasi untuk memahami setiap emosi yang muncul, sehingga kemudian emosi tersebut bisa dengan mudah terurai. Kalau terurai, kita jadi lebih ringan. Lebih mudah move on. Makin kompleks emosinya, makin lekat, makin nggak bisa move on. Sebenarnya kita sendiri yang rugi ya. Tapi begitulah manusia. Kelekatan adalah salah satu masalah manusia selama dia hidup di dunia.

Wis ah, dari kompos nyambungnya kejauhan. Anggap aja ini bahasan bonus. 🙂

Menaklukkan Soto

Sudah beberapa kali aku gagal masak soto. Aku sebal. Sepertinya menghasilkan soto enak itu tidak terlalu sulit, tetapi kenapa aku gagal melulu?

Suatu kali, aku melihat postingan soto, masakan temanku. Eh, kok dia bisa? O ow, aku mesti tanya, seperti apa resep yang dia pakai. Dia lalu bilang, dia pakai resep Devina, salah seorang Youtuber masak-masak. “Pasti jadi,” katanya meyakinkanku.

Aku tidak langsung percaya. Aku masih maju mundur untuk masak soto.

Namun, hari ini aku meniatkan diri untuk masak soto. Soto Lamongan. Karena pakai koya dan aku sukaaaa sekali koya! Ya, wajib pakai koya. Yang banyak!

Aku memutar beberapa kali resep soto Lamongan Devina di Youtube. Lalu aku ganti ke beberapa youtuber lain. Sebenarnya, resep youtuber lain lebih meyakinkan, salah satunya resepnya Willgoz, karena pakai ayam kampung 1 ekor. Ya, iyalah … pasti enak. Ayam kampung kan terkenal gurih. Dibumbu garam saja sudah enak. Seekor lagi. Mesti kaldunya super, tuh.

Tapi … tapi … kalau beli 1 ekor ayam kampung, aku seolah mendengar jeritan dompetku. Hm, baiklah. Balik ke resep Devina saja yang hanya pakai 6 biji sayap ayam negeri. Resep ini lebih bersahabat dengan dompet.

Tapi … tapi … kok kaldunya hanya mengandalkan 6 biji sayap ayam? Hmm, mana enak? Di resep disebutkan tambahan penyedap dan kaldu ayam. Ah, itu pasti kuncinya. Aku tidak mau pakai penyedap banyak-banyak. Jadi, solusinya aku menambahkan jumlah ayam. Totalnya aku pakai 6 sayap dan 4 paha = sekilo ayam negeri = 37 ribu.

Singkat cerita, aku siapkan bumbu beserta pelengkapnya. Aku uleg sendiri bumbunya. Aku ikuti apa kata resep, lalu jumlah bawang merahnya kutambah, plus lengkuas, dan jahe.

Oiya, aku mesti menyiapkan koya. Ini penting, karena aku mau foya-foya dengan koya. Aku juga ingat, duluuuu waktu aku masih kecil, pengasuhku sering memasak soto dengan tambahan kentang goreng. Aku ingat betul sensasi kriuk dan gurihnya. Aku mesti bikin nih!

Aku masak mulai jam 11.30 dan selesai sekitar jam 13.00. Hasilnya? Puas! Maap, fotonya nggak ada. Haha.

Yang jelas, aku puas sekali. Pertama, aku puas karena berhasil bikin soto yang pas di lidahku. Kedua, aku puas dengan diriku karena akhirnya berani bikin soto. Ya ampun … segitu cemennya aku, dengan soto aja takut. Ketiga, aku puas makan koya … dan keripik kentang.

Apakah kamu pernah masak soto? Enak, nggak?

Sekian cerita hari ini.

Menengok Sepanjang Januari

Bulan Januari akan berakhir. Rasanya waktu seperti tergelincir. Apa saja yang sudah kulakukan?

Kalau dibilang aku sudah melakukan banyak hal, rasanya belum. Atau aku saja yang terlalu minder dan kurang menghargai diriku sendiri (serta hal-hal yang kulakukan)?

Aku mencoba menengok kembali apa yang sudah kulakukan sebulan ini.

Aku masih punya PR terjemahan. Jadi, itu masih kutekuni, sembari berharap bisa belajar lebih banyak lagi.

Ngomong-ngomong soal belajar, ternyata tawaran belajar justru kuterima dari dunia tulis-menulis. Aku belum bisa cerita banyak, tapi intinya aku senang sekali mulai belajar lagi. Sepertinya kabel-kabel di otakku mulai tersambung dikit-dikit.

Aku mencoba lebih rutin lagi membaca dan “sabar menghabiskan satu buku”. Kuakui aku tidak terlalu sabar dalam membaca satu buku. Kadang aku lompat sana, lompat sini. Tapi bulan ini satu buku selesai kubaca. Lumayaaan.

Bulan ini aku bikin sabun lagi. Semalam aku bikin sabun empat cetakan, jadi totalnya 12 potong x 4 = 48 potong sabun. Tahun kemarin sabun yang aku bikin tidak terlalu banyak. Stok selalu ada, tapi tidak banyak. Kalau buat aku dan orang rumah sih, cukup banget stoknya. Tahun ini aku berharap bisa bikin sabun lebih banyak lagi. Semoga enggak terlalu sering mager.

Akhir tahun lalu ada yang pesan sabun lengkuas sama aku. Itu sabun lengkuas pertama yang kubikin. Untuk membuat sabun lengkuas, aku menambahkan lengkuas bubuk dan beberapa campuran minyak atsiri sehingga baunya mirip jamu. Ternyata aku suka baunya. Aku berencana bikin lagi besok kalau sudah cukup selo.

Hmm, lumayan juga ya kalau dijembrengin begini.

3 Januari: (Semoga) Awal Tahun yang Baik

Hari ini bisa dibilang hari yang penting buatku. Hari ketika aku bisa bernapas lega. Proyek renovasi rumah sudah selesai. Rasanya aku tidak percaya aku bisa melewati proses ini. Mungkin buat sebagian orang, proses renovasi–mengecat, membetulkan kebocoran, mengganti seng yang rusak, menambah keramik pada dinding, serta berbagai urusan rumah lain–adalah hal yang sederhana. Buatku, ini suatu hal yang menantang. Pertama, menantang soal duitnya. Kedua, menantang soal emosi. Emosi ketika menghadapi diri sendiri dan emosi ketika menghadapi komentar/masukan serta pertanyaan orang-orang di sekitarku.

Awalnya hanya soal kebocoran di salah satu kamar. Kebocoran ini penyakit lama sebenarnya. Beberapa kali kami sudah memanggil tukang. Tapi rupanya tak pernah benar-benar tuntas dan akhirnya kebocoran yang kupikir masalah simpel itu butuh pengerjaan yang tidak sederhana. Namun, untungnya aku mendapat tukang yang cukup baik. Kami bisa berkomunikasi dengan baik dan sejauh ini hasilnya baik juga.

Setelah kebocoran selesai ditangani, mendengar masukan sana-sini, akhirnya ada beberapa bagian yang sebaiknya dikerjakan juga. Daaan… cukup lama aku mempekerjakan tukang. Sekali lagi, aku bersyukur tukang-tukangku itu bisa kupercaya.

Hari ini aku seperti habis berlari ratusan kilometer. Aku cuma pengin diam, bersantai-santai, dan tidak banyak berpikir. Atau, kalaupun berpikir aku pengin berpikir yang ringan ringan-ringan saja, misalnya merencanakan sabun apa yang akan kubikin minggu ini.

Oiya, satu lagi, hari ini aku senang karena bisa berkontak dengan seseorang yang menempati tempat istimewa di hatiku, di mana hari ini adalah hari istimewanya. Semoga ini adalah awal tahun yang membawa kebaikan untuk kita semua.

Mengapa Beryoga?

Kalau googling apa manfaat yoga, banyak banget ditemukan website yang membahasnya. Tapi kalau tanya padaku, jawabannya tentu personal.

Aku sudah lama ingin bisa yoga, seingatku ketika aku masih tinggal di Jakarta. Tapi selama di Jakarta aku belum menemukan tempat latihan yoga yang terjangkau, baik dari segi jarak dan biaya. Mungkin aku saja yang kurang gigih mencari tempat latihan, ya. Aku icip-icip latihan yoga hanya saat aku pulang ke Jogja. Tapi karena icip-icip, jadinya tidak maksimal. Lagi pula rumah kontrakan yang kutempati selama di Jakarta terlalu kecil dan barangku banyak. Jadi, tak ada tempat yang cukup untuk latihan sendiri.

Ketika aku pindah ke Jogja lagi, aku tidak segera ikut kelas yoga. Alasannya, macam-macam. Ada aja deh. Tapi dalam hati kecilku, aku masih ingin bisa berlatih yoga. Kadang aku melihat pose yoga youtube, kadang baca-baca buku tentang yoga. Aku berpikir, sepertinya bisa deh latihan sendiri di rumah. Kebetulan waktu itu beberapa temanku cerita tentang aplikasi untuk olahraga di rumah.

Suatu ketika–out of the blue–seorang temanku mengajakku untuk yoga di rumahnya. Tanpa babibu, aku langsung mengiyakan. Kebetulan rumah kami dekat, sekitar 5 menit naik motor dari rumahku, dan bisa lewat jalan kampung yang tidak ramai. Kami yoga seminggu sekali dengan didampingi seorang guru. Kegiatan yoga bersama itu sempat berhenti. Tapi kemudian saat awal pandemi kemarin, temanku mengajak yoga lagi. Kali ini seminggu dua kali.

Balik ke judul tulisan ini. Kenapa beryoga? Kaki kananku agak sakit. Sepertinya ini karena aku sempat salah posisi duduk cukup lama (tanpa sadar). Kupikir dengan yoga, sakit kakiku akan membaik atau sekurang-kurangnya tidak jadi lebih buruk.

Hanya itu?

Awalnya hanya itu. Tapi setelah latihan yoga selama ini, aku merasa yoga membantuku mengenal tubuhku. Misalnya, aku jadi tahu bagaimana sebaiknya aku berdiri sehingga berat badan tidak ditumpukan ke salah satu bagian saja. Aku dulu sering berdiri tidak imbang, yaitu menekuk salah satu kaki jadi berat tubuhku lebih condong ke kaki yang tegak. Akibatnya kaki bisa panjang sebelah.

Selain itu yoga membantuku mengurai emosi. Ada beberapa pose yoga untuk membuka dada. Pose-pose ini membantu mengurai emosi sedih. Memang tidak langsung hilang sedihnya, tapi jadinya tidak semakin sedih. Maklum, aku cenderung melankolis orangnya. Suatu kali aku merasa sangat sedih karena suatu hal. Lalu aku tidur telentang memasang balok yoga di punggung, di belakang dada. Aku jadi merasa baikan, lho.

Aku belum jago-jago amat berlatih yoga. Banyak pose yang belum kukuasai benar, tapi aku tidak ingin berhenti berlatih.

Alat Yoga Murah Meriah

Dulu, salah satu alasanku menunda-nunda untuk yoga adalah soal peralatannya. Sebenarnya yang paling utama hanyalah yoga mat. Waktu masih di Jakarta, aku mendapatkan yoga mat yang cukup miring harganya di sebuah apotek waralaba. Buatku, yoga mat itu murah jika dibandingkan yoga mat bermerek. Murah meriah deh, kualitasnya juga setara harganya. Seingatku dulu di bawah 100 ribu. Sekarang harganya berkisar 125.000 ribuan. Buatku harga segitu cukup miring, soalnya mat yang lain harganya bisa 3 atau bahkan 10 kali lipat. Untuk pemula, mat yang murah meriah pun cukup kurasa. Kalau akhirnya serius dan rutin beryoga, baru beli mat yang lebih bagus.

Setelah punya mat, PR selanjutnya adalah soal penyimpanannya. Kalau cuma digulung dan ditaruh di pojokan kamar sih bisa saja. Hanya saja, yoga mat yang dibiarkan tanpa baju cenderung berdebu. Males kan kalau pas mau memakainya malah kita repot bersih-bersih dulu. Mat yang debuan itu malah bisa bikin kita sakit. Jadi, benda kedua yang perlu dibeli adalah tas yoga mat. Kalau kita lihat di olshop, harga tas yoga mat bervariasi. Ada yang di bawah 50 ribu, ada yang sampai seratus ribu lebih. Aku tentu saja tidak mau beli yang mahal-mahal. Demi pengiritan, aku jahitin tas yoga ke penjahit terdekat. Aku lupa berapa biayanya, yang jelas jauh lebih murah. Memang agak repot karena aku mesti beli kain sendiri dan mencari contoh tas yoga mat untuk mendapatkan ukurannya. Tapi hal itu sebanding dengan murahnya. Waktu itu aku jahitin di penjahit kampung. Murah dan rapi. Aku puas. Setelah beli mat kedua, aku beli tas yoga mat yang murah di olshop. Harganya di bawah 50 ribu, tapi kainnya cukup tebal.

Ketika mulai agak rutin berlatih yoga, pelatih yogaku menyarankan aku memakai tali yoga. Sebelumnya aku pakai kain apa saja yang ada. Bahkan aku pernah pakai jarik untuk membantuku meluruskan kaki :D. Bisa sih, tapi kurang praktis. Waktu dipinjami tali yoga oleh pelatihku, aku merasakan kepraktisannya dan sangat membantu memaksimalkan gerakan. Tapi untuk selanjutnya masak mau pinjam terus? Aku lalu buka-buka olshop, dan harganya membuatku malas beli. Tali ukuran 2,5 meter saja harganya bisa di atas 50 ribu. Bahkan ada yang sampai 150 ribu. Aduh. Mahal amit, ya?

Aku lalu berpikir, kalau aku beli tali sendiri dan menjahitkan ke penjahit tas, kurasa lebih murah. Benar dugaanku. Aku cari tali sendiri di toko yang menjual aneka tali beserta gespernya. Lalu aku menjahitkannya ke penjahit tas. Tidak pakai lama, aku sudah punya tali yoga. Biayanya sekitar 20 ribu sudah sekalian dengan ongkos jahit. Kalau mau mendapatkan tali yang lebih bagus, biayanya bisa sampai 25-30 ribu. Yang jelas kita mesti mau repot-repot cari bahan sendiri dan ke penjahit. Kalau mau praktis, beli online. Dari pengalamanku, harga tidak berbohong. Tali yoga 20 ribuan yang ada di olshop rata-rata kurang bagus. Terlalu licin. Jauh lebih baik kalau mau berburu tali sendiri dan menjahitkannya.

Perlengkapan yoga ketiga yang membantuku adalah balok. Seperti halnya peralatan yoga lainnya, balok yoga harganya bervariasi. Ada yang muahal banget, ada yang cukup terjangkau. Dari yang harganya di bawah 50 ribu, sampai ada yang ratusan ribu. Ada yang bahannya dari kayu, ada yang dari gabus. Aku sendiri memilih balok yoga dari kayu.

Pengalamanku, aku bisa mendapatkan balok yoga yang cukup murah dengan memesannya ke tukang kayu terdekat. Yang jelas, aku sudah menyertakan ukuran ketika memesannya. Ukuran balok yoga bisa dicari di internet. Ukurannya kurang lebih sama. Pilih tukang kayu yang karyanya cukup halus. Ini yang agak PR. Tapi kalau malas pesan di tukang kayu, beli di olshop saja. Ada yang harganya di bawah 50 ribu dan sudah bagus. Minimal miliki balok yoga sepasang untuk membantu kita melakukan gerakan yoga.