Aku punya lima komposter di rumah. Komposter sejumlah ini sudah pas. Tidak kurang, tidak lebih. Bahkan bisa untuk menampung sampah dua rumah–rumahku dan rumah kakakku. Bisa dibilang, kini sampah tak terlalu jadi masalah di rumahku. Sampah dapur dan sisa makanan, bisa dikomposkan.
Komposter kelima yang paling besar, bentuknya kotak ukuran 1 meter persegi, bagian bawahnya langsung kena tanah. Komposter kelima ini andalan banget karena dia menuntaskan tugas empat komposter lain. Berkat komposter kelima ini aku bisa mendapatkan kompos yang bagus–tidak basah, tidak kering, tetapi lembap seperti tanah dan dingin.
Banyak orang bilang, mengompos itu mudah. Buatku, mengompos itu nggak mudah-mudah amat. Awalnya agak membingungkan, tapi lama-lama bisa mengikuti irama pengomposan … dan aku senang!
Aku mengalami beberapa masalah selama mengompos. Misalnya, muncul banyak lalat. Beneran lalat itu kaya pasukan baris-berbaris di dahan kenanga depan rumah, yang letaknya hanya sekitar satu meter dari komposter. Mengerikan, deh. Pernah juga lalat-lalat itu masuk rumah. Dan aku diprotes oleh iparku. Waduh … Tapi untungnya, cara mengatasi masalah kompos yang berbelatung itu mudah, yaitu cukup dengan menambahkan daun kering.
Masalahnya, di mana bisa dapat daun-daun kering?
Itu masalah tersendiri. Awalnya, aku mesti minta ke tetangga yang punya banyak pohon dan daun keringnya dibiarkan begitu saja. Tapi kemudian, aku baru sadar pohon mangga di belakang rumah bisa memberikan daun kering yang cukup untuk komposterku. Oiya, sebelumnya aku menambahkan serbuk gergaji ke komposter. Serbuk gergaji ini kuperoleh dari tetanggaku, seorang pengusaha mebel. Jadi, relatif tidak ada masalah untuk kebutuhan daun kering.
Awalnya aku bikin kompos ini tidak sabaran. Kenapa lama sekali jadinya? Pernah aku tunggu sekitar 2 minggu–eh atau 3 minggu, ya? Tapi isi komposter itu becek sekali. Tidak jadi kompos padat seperti yang kuharapkan. Aduh, bagaimana ini? Aku putus asa dan pengen balik pakai jugangan saja seperti dulu. Tapi masalah ini akhirnya bisa selesai dengan komposter kelima yang kuceritakan di atas. Kompos becek itu kumasukkan ke komposter kelima, kututup daun-daun kering. Setelah semingguan, jadilah kompos seperti yang kuharapkan.
Mengompos ini membuatku mengamati karakteristik beberapa jenis sampah organik:
1. Daun pisang, kulit jagung, dan kulit manggis itu lebih lambat hancur.
2. Bonggol jagung lebih cepat hancur rasanya dibanding daun pisang. (Ini menurutku yaaa)
3. Ranting tanaman relatif lambat hancur juga.
4. Sampah yang tercincang akan lebih gampang terurai.
5. Daun kering adalah penyerap bau busuk yang efektif.
Hal lain yang kupetik selama mengompos adalah sesuatu yang kompleks itu sulit terurai. Hal ini sepertinya berlaku untuk apa pun, tidak hanya soal sampah. Termasuk emosi. Eh, kok jauh amat nyangkutnya? 😀 (Yah, pikiranku memang mudah melompat-lompat.) Mungkin itu sebabnya kita perlu meditasi untuk memahami setiap emosi yang muncul, sehingga kemudian emosi tersebut bisa dengan mudah terurai. Kalau terurai, kita jadi lebih ringan. Lebih mudah move on. Makin kompleks emosinya, makin lekat, makin nggak bisa move on. Sebenarnya kita sendiri yang rugi ya. Tapi begitulah manusia. Kelekatan adalah salah satu masalah manusia selama dia hidup di dunia.
Wis ah, dari kompos nyambungnya kejauhan. Anggap aja ini bahasan bonus. 🙂