Pekerjaan Impian

Seharusnya aku membaca materi yang mesti kutulis ulang, tetapi kenyataannya aku malah menulis untuk mengisi blog ini.

Apa yang mau kutulis? Sebenarnya tak ada, tak penting-penting amat. Aku hanya ingin mengingat pada akhir bulan Oktober tahun ini, aku mendapat pekerjaan yang sebenarnya kubayangkan sudah lama. Menulis. Itu saja. Bayarannya tidak banyak karena ini baru pertama kali. Dan aku tidak sedang mencari uang. Bukannya tidak butuh duit lagi, sih. Emang siapa yang tidak butuh duit? Haiya, zaman pandemi begini, duit masih sangat dibutuhkan.

Aku mesti membaca materi yang diberikan padaku, lalu aku menuliskannya ulang dengan bahasaku sendiri. Senang? Ya, senang. Tapi bukan kesenangan yang membuatku seketika bersorak. Aku senang dan menikmati saat mengerjakannya. Dapat wawasan baru, iya, karena aku membaca suatu materi. Kedua, aku punya kesempatan menarikan jariku di keyboard. Menulis itu semacam latihan yoga. Kalau tidak sering berlatih, badan tak akan pernah lentur. Harus latihan meskipun hanya sebentar. Rutin, kalau bisa. (Yang terakhir ini yang sulit.)

Ngomong-ngomong soal pekerjaan, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri: Apakah aku sudah mendapatkan pekerjaan impian?

Lama aku memikirkan jawabannya. Kemudian aku berkesimpulan: Mungkin iya, tapi mungkin juga belum. Aku mungkin belum sampai pada taraf yang benar-benar puncak barangkali, ya? Tapi… aku dulu ingin punya buku sendiri. Hal itu sudah terlaksana. Tapi ada buku lain yang masih kuimpikan untuk kutulis. Apa itu? Rahasia ah! Nanti aku ditodong melulu kapan selesai buku itu. Haha.

Lebih dari semua itu, aku senang dengan pekerjaanku saat ini. Menulis, menerjemah, dan sesekali menyunting naskah. Belakangan aku pun senang membuat sabun. Ini lebih dekat ke hobi, tapi hasilnya cukup menyenangkan.

Semoga kamu pun memiliki pekerjaan impian.

Bangsa Spanduk

Kemarin ada pertemuan PKK di kampung. Sebenar-benarnya, aku sungguh amat malas ikutan. Masa-masa mesti jaga jarak begini malah ada pertemuan? Tapi aku kemarin akhirnya memutuskan ikut karena aku mesti tahu apakah aku nunggak bayar iuran dan arisan. Enggak enak banget kalau jadi batu sandungan orang lain hanya gara-gara duit sekitar sepuluh ribuan. Aku pun ingin bayar sekalian untuk beberapa bulan supaya besok-besok bisa bolos kalau ada pertemuan. Lagi pula di grup ibuk-ibuk ada foto yang menunjukkan peserta bisa duduk di luar pakai kursi dan jarak antar kursi cukup lebar. Biasanya di dalam sekretariat dan duduk lesehan gitu. Kan mana bisa jaga jarak ya?

Kemarin rupanya ada petugas dari puskesmas memberi penyuluhan soal kesehatan masyarakat dan pola makan. Informasi yang disampaikan para petugas puskesmas itu sebetulnya sudah banyak beredar yaitu bahwa selama pandemi ini kita melakukan adaptasi kebiasaan baru, mesti jaga jarak, pakai masker, dan rajin cuci tangan. Lalu pola makan mesti dijaga, banyak makan sayur dan buah, karbohidrat sudah harus dikurangi bagi ibu-ibu yang sudah 30 tahun ke atas, dan sebagainya, dan seterusnya.

Aku berpikir, kenapa ya untuk hal seperti itu perlu mendatangkan petugas dari puskesmas? Tidakkah itu informasi yang sudah jamak diketahui? Informasi yang diberikan sifatnya top-down. Sesudahnya memang ada tanya jawab, tapi terlalu singkat. Perlu ada jalur khusus untuk menampung pertanyaan-pertanyaan itu dan membahasnya.

Yang agak lucu adalah sesudah kegiatan tersebut para peserta diajak foto bersama! Lha… tadi diminta untuk jaga jarak, apa gunanya dong? Mana ada ceritanya foto bersama dengan jaga jarak mengingat peserta yang hadir lebih dari 50 orang?

Jadi, aku memilih pulang. Mungkin kita ini bangsa “spanduk”. Apa maksudnya? Kita biasa kan melihat slogan-slogan pada spanduk yang ada di jalan-jalan. Misalnya: Kita tegakkan persatuan dan kesatuan bangsa; Kita menjunjung tinggi toleransi, Masyarakat Sehat, Bangsa Kuat. Kenyataannya? Masih ada gerakan intoleransi, gerakan hidup sehat juga gitu-gitu aja. Jadi, singkatnya kalau sudah ditulis di spanduk, sudah cukuplah.

Berubah itu sulit kok. Aku sadar itu. Memang paling mudah ditulis doang. Diobrolin doang. Pelaksanaan itu nanti-nanti saja kalau ada pemeriksaan oleh petugas. Hidup tak usah dibuat serius.

Let’s Have Fun Today!

Kemarin malam aku baru saja mengirimkan pekerjaan. Rasanya lega luar biasa. Walaupun masih ada pekerjaan lain yang menunggu, tetap saja rasanya melegakan ketika aku berhasil mengirimkan pekerjaan. Sebelum tidur aku mulai memikirkan apa yang ingin kukerjakan hari ini. Anggap saja hari ini aku libur dulu. Tepatnya meliburkan diri.

Kalimat “Let’s have fun today!” terngiang di telingaku sepanjang hari ini. Lalu apa yang kukerjakan untuk bersenang-senang? Membuat sabun! Yeay! Beberapa waktu terakhir ini urusan persabunan agak terbengkalai. Sempat bikin sabun, tapi rasanya ada yang kurang. Sepertinya aku agak buru-buru dan bras-brus kerjanya. Jadi ada sabun yang kurang oke deh. Ah, syudahlah. Bisa kuperbaiki sih, tapi kan sebenarnya agak malesin.

Buatku membuat sabun masuk dalam kategori bersenang-senang. Semacam memompa semangat. Tapi kadang aku kelamaan berpikir, mau bikin sabun yang apa ya? Beneran bisa lama banget aku memikirkannya. Bolak balik menengok bahan-bahannya doang, tapi eksekusinya tidak disegerakan. Dasar!

Cuma itu bersenang-senangnya? Sebenarnya aku ingin ke pasar tadi pagi. Tapi hujan. Batal deh. Bagi sebagian orang, hujan adalah saat yang ditunggu. Tapi bagiku tidak. Jujur saja aku kurang suka hujan. Hujan membuatku berpikir seribu kali untuk ke luar rumah. Aku tak suka memakai jas hujan. Tak bisa pakai kacamata pula. Sungguh menyiksa berkendara tanpa kacamata.

Untungnya aku masih punya persediaan kale dan selada di lemari es. Jadi aku bisa makan sayur cukup banyak hari ini. Ditambah masih ada sup ikan sedikit. Jadi, cukuplah. Sayur dan protein hewani. Semoga bisa lebih cepat kurus 😀 :D.

Bersenang-senang berikutnya adalah menulis blog. Sebenarnya pas tanggal 30 September kemarin aku mau menulis sesuatu tentang penerjemahan. Niatnya pengin ikut meramaikan Hari Penerjemahan, tapi kok ya tidak sempat menulis apa pun. Sebagai penerjemah yang benar-benar lepas (baca: tidak selalu menerjemah setiap hari), aku merasa masih sering berlindung di balik jubah profesi penerjemah. Paling tidak, di KTP profesiku masih penerjemah.

Itulah yang kulakukan untuk bersenang-senang hari ini. Besok aku ingin bersenang-senang lagi. Semoga tidak hujan. Jadi, aku bisa keluar rumah dengan leluasa.