Rindu yang Menderu-deru

Ning
Keberangkatanmu kembali ke kota tempat tugasmu meninggalkan sebuah lubang rindu seperti yang sudah-sudah. Aku tak tahu lagi kapan bisa kembali bertemu denganmu.

Ya, mencintaimu itu berarti memendam rindu. Membendung gelombang rindu yang menderu-deru.
Apakah kamu juga rindu?

Tok
Tentu saja aku rindu, Dik.
Rasa sengkring-sengkringnya masih terasa.

Baik-baik di sana, ya Dik Ning. Jaga kesehatan. Akan kureka-reka rencana untuk berjumpa kelak.

Seni Berjualan di Masa Pandemi

Pada masa pandemi ini beberapa mendadak menjadi penjual. Mulai dari jualan batik sampai keripik, mulai dari ayam goreng sampai dandang. Aku ikut grup WA paroki yang isinya para penjual. Sampai hari ini, aku lebih sering menjadi pengamat. Beli sesekali, dan lihat-lihat siapa yang jual.

Aku pernah juga membeli daster dari teman lingkungan. Niatanku untuk beli adalah mayoni atau ikut melarisi barang dagangannya. Secara kualitas barang, luamayan lah. Diantar sampai rumah pula, tanpa ongkir. Kurasa dia sudah memperhitungkan ongkirnya (dan semestinya begitu ya supaya tidak tekor).

Selain itu, aku pernah juga pesan kolang kaling dari teman yang lain. Awalnya hanya karena lihat status WA-nya, e … kok pengin. Aku lalu beli. Selain pengin, aku juga senang bisa ikut mayoni jualan teman.

Pada dasarnya aku cukup senang bertransaksi dengan teman sendiri. Ada sentuhan personalnya, walau mungkin berbalut basa-basi. Tapi senang juga bisa say hello dengan alasan jual beli. Kalau barangnya bagus, bukan tidak mungkin aku belanja lagi. Kadang aku tahu kalau beli dengan teman harganya sedikit di atas harga pasaran. Tapi aku tidak masalah harga barang agak tinggi, asalkan tidak kebangetan dan kualitasnya bagus.

Beberapa hari yang lalu aku tertarik membeli roti dari salah seorang penjual di grup WA paroki. Aku sama sekali belum kenal si penjual. Aku hanya tertarik beli produk yang ia tawarkan, yaitu roti tawar seharga 10.000 serta roti manis lain. Makanan biasa sih, tapi entah karena apa, aku kok tertarik. Spontan saja aku mengontak beliau dan kusebutkan roti yang kumau. Aku sekalian bertanya apakah ada minimal pembelian. Pikirku, kalau aku beli beberapa potong roti, bisa diantar. Tapi setelah dia tahu alamat rumahku, jawabannya: “Jauh, ya.”

Duh!

Aku mendadak kecewa. Ditambah pula roti yang hendak kubeli itu baru ada siang beberapa hari kemudian (padahal persediaan roti tawar di rumah sudah menipis). Kekecewaan itu muncul karena walau aku membeli beberapa potong roti, rupanya tidak ada pengantaran. Toh ketika aku tahu alamat si penjual, sebenarnya tidak jauh-jauh amat lho (buatku jarak sekitar 5 km tidak jauh).

Yang menambah kekecewaanku adalah pagi hari, ketika roti itu hendak kuambil, ada penjual roti keliling lewat rumahku! Iiih! Ngeselin! Tahu gitu kan aku tidak pesan roti. Mending beli dari tukang roti keliling yang lewatnya tidak bisa ditebak. (Kompleks rumahku memang jarang sekali ada orang jualan.)

Dari beberapa pengalaman belanja lewat teman, kupikir-pikir ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para penjual (dadakan) ini:
1. Rajin-rajinlah promosi barang dagangan. Walau awalnya sepi pembeli, tapi kalau rajin promosi, kurasa pasti ada yang beli juga. Apalagi kalau barang jualannya khas, misalnya makanan khas daerah Jawa Timur, orang biasanya akan lebih mudah ingat.

2. Sopan dan ramah terhadap pembeli. Terutama kalau ada pembeli baru, jawab pertanyaan mereka dengan kata-kata yang sopan. Oya, aku juga biasanya mengingat siapa penjual yang bahasanya rapi, tidak suka menyingkat pesan. Capek baca pesan yang banyak singkatannya. Buat mata editor, tulisan seperti itu bikin sakit mata.

3. Buatlah paketan. Misalnya kalau kamu jualan roti yang harga per potongnya 5 ribu, buatlah paket dengan harga menarik. Misalnya buat paket isi aneka roti seharga 50 ribu, atau roti dan susu aneka rasa seharga sekian ribu. Paketan seperti itu lebih menarik daripada orang mesti berpikir sendiri barang apa saja yang hendak dibeli.

4. Buat aturan yang jelas mengenai pembelian, pembayaran, dan pengantaran. Misalnya kalau barang belum ada (harus pesan lebih dulu), jelaskan kapan barang siap. Soal pengantaran juga perlu dijelaskan di muka: apakah bisa COD, ada ongkos kirim tambahan, atau kalau belanja sekian ribu bebas ongkir, dan sebagainya.

Minimal empat hal itu dulu deh. Nanti kalau ingat hal lain aku tambahkan.

Selamanya Cinta

Ning
Mas Tok libur. Ia pulang untuk ibunya yang berulang tahun. Ya, tidak semata-mata untukku. Ibu jauh lebih penting. Dan aku merasa Ibu memang wanita yang diutamakan Mas Tok.

Menyaksikan foto Mas Tok dengan keluarganya sejenak menghadirkan rasa perih. Andai aku bisa menjadi bagian dari keluarga itu. Andai aku dulu punya sedikit saja keberanian dan mendobrak tembok-tembok penghalang, barangkali aku ada dalam foto itu.

“Bagaimana kabar Ibu, Mas?”
Sehat. Hanya sempat sedih saja kemarin ketika mengira anak-anaknya tidak bisa pulang karena pandemi.
“Lalu akhirnya kalian janjian pulang?”
Ya, demi Ibu.

Aku menghela napas. Kulihat ombak berlomba ke pantai, lalu surut kembali ke laut. Keinginanku untuk menemani Mas Tok barangkali sebesar debur ombak itu, tapi toh akhirnya surut. Seperti menyadari bahwa panggilan kami memang berbeda. Jalan kami berbeda. Seperti tak ada masa depan.

Tok
Ning manis sekali. Meskipun hanya berkaus memakai celana jin, dia terlihat segar. Usianya tak lagi muda, tetapi pipinya terlihat seperti anak remaja–seperti yang kujumpai ketika dia duduk di bangku SMP akhir.

Aku tergoda mendaratkan ciuman. “Tak apa ya kalau aku spontan menciummu.”
Ning berbinar, spontan memelukku. Tentu saja boleh. Di tempat ini tak ada yang mengenali kita, Mas. Kita tak berbeda dengan anak-anak muda itu.

Kulihat beberapa anak muda berpasangan saling bergandengan. Aku tak hanya ingin bergandengan dengan Ning. Aku ingin memilikinya.

“Mestinya dulu Mas Tok memintaku pada Bapak,” kata Ning memecah keheningan di antara kami.
Aku tak punya nyali, Dik.
“Tapi mungkin sebaiknya memang begini ya, Mas. Tak ada yang tersakiti–kecuali kita berdua. Ibu pun tetap bahagia.”

Suara Ning tercekat. Matanya berkaca-kaca. Kupeluk Ning, berharap bisa mengurai laranya.
Aku mencintaimu, Ning. Selamanya cinta.

Ke Mana Sampahmu Berakhir?

Selama belasan tahun tinggal di sini, aku tidak terlalu kesulitan membuang sampah organik. Yang kumaksud sampah organik adalah apa saja yang bisa busuk. Mulai dari daun kering, gagang kangkung dan bayam, kulit bawang, nasi yang tak habis dimakan tapi sudah mulai berair di rice cooker, daging alot yang tak bisa ditelan, dan seterusnya, dan sebagainya. Semua yang bisa busuk itu umumnya akan berbau, terutama kalau dicampur dengan sampah anorganik. Kebayang kan bau sampah sisa makanan yang dimasukkan kresek? Aduhai dan amboi banget. Selama ini dengan tenang kumasukkan sampah-sampah organik itu ke lubang di tanah belakang. Ketika lubang itu sudah penuh, tinggal gali tanah di sebelahnya. Begitu seterusnya. Asal tidak diisi dahan pohon yang besar-besar, lubang tersebut tidak cepat penuh.

Singkat cerita, kakakku hendak membuat rumah di tanah belakang. Ini sudah rencana lama sebenarnya. Persoalan yang seketika timbul adalah: Lalu di mana membuang sampah organik?

Aku tak pernah sampai hati menitipkan sampah organik ke bapak sampah yang berkeliling dua hari sekali. Tak akan pernah. Aku selalu teringat pengalamanku ketika ikut pelatihan di Malang dan salah satu tugas yang diberikan adalah aku harus ikut seorang pemulung, mencari sampah anorganik yang masih laku dijual. Mengoyak plastik sampah rumah tangga lalu mencari kardus atau botol air mineral yang telah bercampur sisa makanan itu sangat… sangat… sangat… menjijikkan. Kalau lihat bentuknya saja sih masih agak mending, tapi baunya sangat menusuk hidung. Duuuuuh! Kalau soal kotornya, bisa cuci tangan. Tapi bau sampah basah itu seperti menempel berhari-hari di tanganku. Jadi, aku berjanji tidak akan pernah mencampur sampah organik dan anorganik dalam satu wadah. Kalau tidak amat sangat terpaksa, tak akan pernah pula aku memasukkan sampah yang bisa membusuk itu ke dalam plastik.

Sebenarnya, aku telah lama berpikir untuk memiliki komposter. Dalam imajinasiku yang sempurna, aku menginginkan komposter dari gerabah. Minimal dari pot gerabah. Tapi rupanya niatku kurang bulat untuk mencari komposter dari gerabah. Yang paling dekat, mudah, dan murah adalah menggunakan pot plastik.

Ketika akhirnya lubang tanah di lahan belakang tak ada, satu-satunya pilihan adalah menggunakan pot plastik yang kupunya. Rasanya “semedhot” alias merasa kehilangan saat tak ada lagi kemudahan membuang sampah di lubang tanah. Aku betulan nyesek.

Namun, aku segera mendapatkan keasyikkan baru dengan komposter baruku itu. Sedikit-sedikit aku masukkan sampah basah ke pot plastik itu. Awalnya hanya kutumpuk-tumpuk saja, tanpa kuaduk. Dan ketika suatu hari aku mengaduknya… aku amati isi komposter itu cenderung becek. Baunya kurang sedap. Karena masih amatiran, aku lalu googling dan mencari tahu penyebabnya. Rupanya aku kurang menambah materi karbon. Materi karbon di sini adalah sampah organik kering, cokelat. Misalnya daun kering, sekam, serbuk gergaji, serpihan kardus, kertas, dan sebagainya. Selain itu aku belum menambahkan bioaktivator untuk mempercepat proses pembusukan dan mengurangi bau busuk.

Untungnya tetanggaku adalah pembuat mebel kayu. Jadi, aku dengan mudah meminta serbuk gergaji berapa pun yang kubutuhkan. Untuk bioaktivator, aku memakai larutan EM4. Selesai sudah masalah komposter becek dan bau.

Singkatnya, untuk membuat kompos yang dibutuhkan adalah:

-Pot
-Tanah (ditaruh di lapisan paling bawah)
-Sampah dapur (materi hijau)
-Serbuk gergaji dan daun kering (materi cokelat)
-Larutan EM4 (bioaktivator)
-Sotil kayu yang tidak terpakai untuk mengaduk

Bahan dan alat di atas bisa diganti-ganti. Silakan mencari alternatif dan memakai bahan yang ada di sekitar rumah. Jangan takut gagal. Kalau masih ragu, buat komposnya di luar rumah, asal di tempat yang tidak terkena hujan.

Caranya?
Taruh tanah pada dasar pot. Selain tanah, sebenarnya bisa ditambahkan pupuk kandang. Pupuk kandang mengandung banyak sekali mikroorganisme yang bisa membantu mempercepat pengomposan. Tapi aku sendiri tidak pakai karena tidak sempat beli.

Setelah itu masukkan sampah dapur. Sebaiknya sampah dapur tersebut sudah diiris kecil-kecil supaya lebih cepat menjadi kompos. Selanjutnya pada lapisan teratas tata daun kering atau bahan cokelat lain misalnya serbuk gergaji atau sekam. Setiap tiga hari sekali siram dengan larutan EM4 dan diaduk-aduk supaya oksigen bisa masuk.

Usahakan isi komposter ini dalam kondisi lembap. Jika terlalu basah, masukkan bahan cokelat untuk menyerap kelebihan cairan tersebut. Kalau terlalu kering, sirami dengan larutan EM4.

Selama ini aku memasukkan sampah basah hampir setiap hari ke dalam komposter dan hampir setiap hari kuaduk-aduk. Aku memasukkan sisa protein hewani pula ke situ. Muncul belatung dan magot, tapi aku sama sekali tidak masalah. Komposter agak berbau hanya ketika kondisinya terlalu berair dan hal ini bisa disiasati dengan serbuk gergaji. Selanjutnya komposter tidak berbau dan bisa melanjutkan kelangsungan hidupnya sendiri. Sungguh menyenangkan punya komposter!

Yang Tertumpah di Hari Hujan

Ning
Hari-hari ini kulihat kamu mulai absen muncul di gadget kecilku.
“Aku rindu.” Tulisku singkat.
Tak perlu panjang-panjang menulis untukmu. Lagi pula, rindu yang dijelaskan panjang lebar sama beratnya dengan rindu yang tertulis singkat. Perjumpaan lewat layar maya seperti pengobat rindu. Pandemi masih akan lama. Kurasa masih akan lama pula aku bertemu Mas Tok.

“Apa aktivitasmu hari-hari ini, Dik?”
Aku seperti kesetrum membaca balasanmu. Lalu kujelaskan beberapa deret aktivitas harianku. “Tapi aku pasti kalah sibuk denganmu. Mas Tok kan orang paling sibuk sedunia.” Kalimat itu kuakhiri dengan ikon terbahak.

Kutunggu balasanmu. Dan setelah sekian lama, kamu menulis jawaban, “Aku santai hari-hari ini.” Disusul fotomu di antara kerabat-kerabatmu.

Apakah … apakah ini artinya Mas Tok pulang? Pulang ke …?

Jantungku berdebar. Aku seperti ingin menangis. Oh, alangkah cengengnya aku.

 

Tok
Detak jantungku seperti menderu. Aku tak ingin kejutan ini gagal.
Kupacu kendaraan menembus hujan tipis. Berpuluh kilometer kutembus batas pandemi. Ning… apakah kamu mendengar detak jantungku?

 

Ning
“Mas Tok!”
Kakiku gemetar menyaksikan lelaki yang turun dari kendaraan putih itu. Benarkah yang kusaksikan di balik korden? Mas Tok … forever lover of mine.

 

Tok
“Ning …”
Tak kubiarkan Ning menjawabku. Tak ada yang perlu terucap. Hanya perlu pelukan untuk mengungkapkan rasa. Kucari bibirnya. Masih selembut yang dulu. Tapi kini ia tak malu-malu. Ning lebih berani dan mencari.

“Kita ke mana, Dik?”
Pejamkan matamu, Mas. Akan kubawa kau ke tempat yang teduh. Tempatmu berlabuh dan menumpahkan semua yang ingin kauberikan.

Ning memenuhi kata-katanya. Gerimis yang membasahi tanah kering di luar tak bisa menyamai keringat kami yang membanjiri seluruh tubuh. Ning semakin molek, tubuhnya berlekuk matang. Ia masih seperti 27 tahun silam, tetapi lebih berisi. Ia menuntunku menyusuri kelokan demi kelokan dan seluruh hasratku pun tumpah. Tak tertahan lagi rindu dan hasrat yang kubendung dalam hitungan tahun. Kami meliuk bersama menyatukan gairah.

 

Ning
“Aku rasanya seperti bermimpi, Mas. Kau benar-benar hadir, memberi diri, mencintaiku. Terima kasih.”
Terima kasih, juga ya. Kau membuatku benar-benar menjadi laki-laki sejati.

Di luar basah dan dingin.
Sekujur tubuhku basah oleh keringat Mas Tok.
Tapi hatiku menghangat. Sungguh aku yakin kini kamu adalah milikku.