Selama belasan tahun tinggal di sini, aku tidak terlalu kesulitan membuang sampah organik. Yang kumaksud sampah organik adalah apa saja yang bisa busuk. Mulai dari daun kering, gagang kangkung dan bayam, kulit bawang, nasi yang tak habis dimakan tapi sudah mulai berair di rice cooker, daging alot yang tak bisa ditelan, dan seterusnya, dan sebagainya. Semua yang bisa busuk itu umumnya akan berbau, terutama kalau dicampur dengan sampah anorganik. Kebayang kan bau sampah sisa makanan yang dimasukkan kresek? Aduhai dan amboi banget. Selama ini dengan tenang kumasukkan sampah-sampah organik itu ke lubang di tanah belakang. Ketika lubang itu sudah penuh, tinggal gali tanah di sebelahnya. Begitu seterusnya. Asal tidak diisi dahan pohon yang besar-besar, lubang tersebut tidak cepat penuh.
Singkat cerita, kakakku hendak membuat rumah di tanah belakang. Ini sudah rencana lama sebenarnya. Persoalan yang seketika timbul adalah: Lalu di mana membuang sampah organik?
Aku tak pernah sampai hati menitipkan sampah organik ke bapak sampah yang berkeliling dua hari sekali. Tak akan pernah. Aku selalu teringat pengalamanku ketika ikut pelatihan di Malang dan salah satu tugas yang diberikan adalah aku harus ikut seorang pemulung, mencari sampah anorganik yang masih laku dijual. Mengoyak plastik sampah rumah tangga lalu mencari kardus atau botol air mineral yang telah bercampur sisa makanan itu sangat… sangat… sangat… menjijikkan. Kalau lihat bentuknya saja sih masih agak mending, tapi baunya sangat menusuk hidung. Duuuuuh! Kalau soal kotornya, bisa cuci tangan. Tapi bau sampah basah itu seperti menempel berhari-hari di tanganku. Jadi, aku berjanji tidak akan pernah mencampur sampah organik dan anorganik dalam satu wadah. Kalau tidak amat sangat terpaksa, tak akan pernah pula aku memasukkan sampah yang bisa membusuk itu ke dalam plastik.
Sebenarnya, aku telah lama berpikir untuk memiliki komposter. Dalam imajinasiku yang sempurna, aku menginginkan komposter dari gerabah. Minimal dari pot gerabah. Tapi rupanya niatku kurang bulat untuk mencari komposter dari gerabah. Yang paling dekat, mudah, dan murah adalah menggunakan pot plastik.
Ketika akhirnya lubang tanah di lahan belakang tak ada, satu-satunya pilihan adalah menggunakan pot plastik yang kupunya. Rasanya “semedhot” alias merasa kehilangan saat tak ada lagi kemudahan membuang sampah di lubang tanah. Aku betulan nyesek.
Namun, aku segera mendapatkan keasyikkan baru dengan komposter baruku itu. Sedikit-sedikit aku masukkan sampah basah ke pot plastik itu. Awalnya hanya kutumpuk-tumpuk saja, tanpa kuaduk. Dan ketika suatu hari aku mengaduknya… aku amati isi komposter itu cenderung becek. Baunya kurang sedap. Karena masih amatiran, aku lalu googling dan mencari tahu penyebabnya. Rupanya aku kurang menambah materi karbon. Materi karbon di sini adalah sampah organik kering, cokelat. Misalnya daun kering, sekam, serbuk gergaji, serpihan kardus, kertas, dan sebagainya. Selain itu aku belum menambahkan bioaktivator untuk mempercepat proses pembusukan dan mengurangi bau busuk.
Untungnya tetanggaku adalah pembuat mebel kayu. Jadi, aku dengan mudah meminta serbuk gergaji berapa pun yang kubutuhkan. Untuk bioaktivator, aku memakai larutan EM4. Selesai sudah masalah komposter becek dan bau.
Singkatnya, untuk membuat kompos yang dibutuhkan adalah:
-Pot
-Tanah (ditaruh di lapisan paling bawah)
-Sampah dapur (materi hijau)
-Serbuk gergaji dan daun kering (materi cokelat)
-Larutan EM4 (bioaktivator)
-Sotil kayu yang tidak terpakai untuk mengaduk
Bahan dan alat di atas bisa diganti-ganti. Silakan mencari alternatif dan memakai bahan yang ada di sekitar rumah. Jangan takut gagal. Kalau masih ragu, buat komposnya di luar rumah, asal di tempat yang tidak terkena hujan.
Caranya?
Taruh tanah pada dasar pot. Selain tanah, sebenarnya bisa ditambahkan pupuk kandang. Pupuk kandang mengandung banyak sekali mikroorganisme yang bisa membantu mempercepat pengomposan. Tapi aku sendiri tidak pakai karena tidak sempat beli.
Setelah itu masukkan sampah dapur. Sebaiknya sampah dapur tersebut sudah diiris kecil-kecil supaya lebih cepat menjadi kompos. Selanjutnya pada lapisan teratas tata daun kering atau bahan cokelat lain misalnya serbuk gergaji atau sekam. Setiap tiga hari sekali siram dengan larutan EM4 dan diaduk-aduk supaya oksigen bisa masuk.
Usahakan isi komposter ini dalam kondisi lembap. Jika terlalu basah, masukkan bahan cokelat untuk menyerap kelebihan cairan tersebut. Kalau terlalu kering, sirami dengan larutan EM4.
Selama ini aku memasukkan sampah basah hampir setiap hari ke dalam komposter dan hampir setiap hari kuaduk-aduk. Aku memasukkan sisa protein hewani pula ke situ. Muncul belatung dan magot, tapi aku sama sekali tidak masalah. Komposter agak berbau hanya ketika kondisinya terlalu berair dan hal ini bisa disiasati dengan serbuk gergaji. Selanjutnya komposter tidak berbau dan bisa melanjutkan kelangsungan hidupnya sendiri. Sungguh menyenangkan punya komposter!