Hari Minggu kemarin, aku misa di kapel stasi Yoakhim dekat tempat tinggalku. Waktu berkhotbah, Rm Sudrijanta SJ yang memimpin misa, seperti biasa turun dari altar dan berinteraksi dengan umat dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Salah satu pertanyaannya adalah: “Punya kebiasaan buruk apa?” Nah, waktu itu yang ketiban sampur mendapat pertanyaan itu adalah beberapa anak usia SD yang duduk di bangku depan. Mungkin karena melihat wajah mereka yang agak bingung mau menjawab apa, Romo lalu menambahkan pertanyaan lagi kepada mereka, “Suka menyontek?” Mereka hampir bersamaan menjawab, “Tidaaaak? sambil menggelengkan kepala. “Bagus, ini generasi yang lebih baik dibandingkan para profesor itu.” Beberapa umat pun tertawa kecil menanggapi pernyataan itu. Untung aku sempat “diup-date” berita oleh suamiku, jadi aku mudeng ucapan Romo itu. Maklum beberapa hari ini aku tidak bisa koneksi internet selancar dulu, jadi ketinggalan berita deh. Rupanya baru-baru ini ada kabar bahwa ada profesor yang melakukan plagiat ya?
Ngomong-ngomong soal plagiat (bahasa cemennya: nyontek atau ngepek), aku punya pengalaman yang tidak terlupakan soal contek-menyontek ini. Hmm, ya … aku pun pernah menyontek waktu sekolah dulu. Ngaku nih! π Tapi yang lebih sering kulakukan adalah memberi contekan. Alasan konyolnya adalah: kasihan pada teman. Hal ini menyelamatkanku juga dari label: tidak setia kawan. Entah mengapa waktu itu, label itu kok rasanya tidak mengenakkan sekali ya. Dibilang, “Sombong, nggak mau ngasih tahu temen sendiri.” Yaaa … daripada dibilang seperti itu, mending kasih contekan deh. Dan mungkin dulu pengawasan guru kurang ketat (alesan :p), jadi kupikir tak ada salahnya memberi keuntungan sedikit kepada teman. Ini jelek banget sebenarnya. Jangan ditiru ya!
Kebiasaan semacam itu mulai terjadi ketika aku SMP, dan semakin menjadi ketika SMA. Waktu SMP sih, hanya di saat-saat yang mendesak saja kegiatan menyontek itu dilakukan. Nah, waktu SMA entah kenapa sepertinya hal itu jadi makin mudah. Uh, memalukan ya. Tapi menyontek itu benar-benar berakhir ketika aku kuliah. Setahuku, waktu kuliah tak ada temanku yang menyontek. Itu setahuku loh … π Mungkin karena sudah sadar semua (soalnya kuliah di SADHAR juga sih hihihi), bahwa menyontek itu tidak baik. Dan mungkin juga karena semua teman tidak menyontek, jadi kalau mau menyontek kan malu sendiri. Sebenarnya ujian dengan tidak menyontek itu lebih melegakan sih. Tidak deg-degan dan lebih puas dengan hasil ujian.
Nah, selesai kuliah … aku pun mulai hunting kerjaan. Semua dicoba. Semua lowongan pekerjaan berusaha dimasuki. Yang ada di pikiranku saat itu adalah bagaimana caranya supaya mandiri, punya uang sendiri dan tidak lagi minta dari orang tua. Aku hampir setiap hari melihat korang lokal dan koran nasional, melihat apakah ada lowongan pekerjaan yang sekiranya bisa kumasuki. Waktu itu, usaha mencari pekerjaan itu kujalani dengan seorang teman kuliahku, Ike. (Hai, Ke! Kita lama nggak ketemu ya! :D) Kebetulan kami lulusnya hampir bersamaan dan ke mana-mana aku sering bareng dia. Jadi, kalau ada lowongan pekerjaan, kami melamarnya bersama-sama.
Saat sedang semangat-semangatnya mencari pekerjaan, aku dan Ike waktu itu melihat sebuah lowongan pekerjaan yang menarik: Dibutuhkan tenaga untuk bidang penelitian. Kira-kira begitu deh bunyi lowongannya. Wah, boleh dicoba nih, pikir kami. Kami pun melamar ke sana, dan tak lama kemudian kami mendapat panggilan untuk tes.
Sesampai di tempat tujuan, aku dan Ike sempat terbengong-bengong, karena kantor yang dimaksud hanya berupa rumah biasa di sebuah kompleks perumahan. Yah, waktu itu aku membayangkan yang namanya pekerjaan itu ya mesti di kantor (padahal sekarang aku kerja di rumah hihihi). Di tempat itu ada beberapa komputer dan pegawainya pun cuma satu atau dua orang saja. Kami sama sekali tidak bisa menebak, ini instansi di bidang apa? Apa yang mereka teliti? Tak lama kemudian, sang pemilik muncul dan melihat sekilas fotokopian IP dan ijazah kami (hmm, aku lupa waktu itu ijazah atau hanya surat tanda lulus saja ya?). Setelah omong-omong singkat, dia langsung menawarkan pekerjaan berupa … membuatkan skripsi orang! Kami ditawari bayaran berapa ya waktu itu? Kalau tidak salah sekitar 3 jutaan. Uang itu kami terima jika kami berhasil membuatkan satu buah skripsi pesanan orang, dan orang itu bisa lulus. Gubraaak! Yang terlintas di pikiran kami waktu itu adalah: Gileeee, baru aja kami capek-capek menyelesaikan skripsi, sekarang malah disuruh membuatkan skripsi orang lain? No way! Yang bener aje! Lagi pula, ini kan pekerjaan yang tidak benar. Jadi, lupakan bayaran yang sampai jutaan itu. Kami pun segera pergi dari tempat itu.
Sebenarnya usaha plagiat; usaha membuatkan paper, skripsi, thesis bukan barang baru lagi. Di Jogja, hal seperti itu buanyaaak! Dulu, waktu aku masih kuliah, di shopping banyak sekali paper atau skripsi yang dijual. Aku tidak tahu kalau sekarang bagaimana. Tapi sebenarnya mudah sekali mengenali usaha orang yang mau membuatkan kita paper atau semacamnya; biasanya mereka memasang iklan dengan penawaran semacam ini: Anda kesulitan dengan skripsi? Bimbingan skripsi dibantu sampai selesai. De el el. Aku kadang masih menjumpai iklan semacam itu di koran-koran atau plakat-plakat di pinggir jalan.
Jadi, kalau ada berita bahwa ada profesor yang melakukan plagiat, itu sebenarnya berita basi. Setidaknya itu tidak mengagetkan lagi bagiku. Ibaratnya ini adalah usaha yang mana orang sudah tahu sama tahu, dan mudah sekali mendapatkan orang yang punya usaha macam itu. Kurasa yang perlu dipertanyakan adalah mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin ini terkait nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat. Masyarakat kita masih sangat menghargai dan mudah sekali membanggakan hasil. “Ini lo, anakku baru lulus, nilainya A semua.” Lagi pula, hampir semua orang sepertinya bangga jika bisa sekolah yang setinggi-tingginya. Padahal kupikir, tidak semua orang mampu sekolah sampai jenjang yang tinggi. Apalagi kalau itu cuma demi gengsi.