Menyadari yang Tersembunyi

Sebetulnya banyak hal yang mestinya kucatat menjelang akhir tahun 2014 kemarin dan hari-hari awal tahun 2015 ini. Ada perenungan yang tiba-tiba meloncat keluar dari pikiranku ketika aku mengamati keadaan sekelilingku. Misalnya ketika beberapa hari lalu menonton serial Criminal Minds dan beberapa film detektif, aku menyadari bahwa orang bisa begitu brutalnya karena punya luka di dalam hati dan mungkin karena si pelaku memang sakit jiwa (psikopat, misalnya). Mungkin sakit hatinya sampai dalam sekali, sehingga apa saja yang dia pikirkan dan lakukan, sumbernya dari rasa sakit itu.

Lalu muncullah percakapan dalam hati, kurang lebih seperti ini:

– Itu kan orang lain, sanggahku. Rasanya aku tidak mungkin seperti itu deh.

+ Eh… jangan salah. Kamu juga pernah marah berhari-hari sama orang lain kan? Pernah iri, pernah cemburu, pernah sebal…?

– Tapi kan nggak sampai membunuh, nggak sampai menyakiti secara fisik.

+ Tapi kamu kan pernah ngomong sinis sama orang itu… Kalau kamu nggak menyadari luka-luka dalam hati, bisa saja kamu melakukan hal yang lebih buruk.

… dan ndilalah seorang kawan posting status FB dengan mengutip sebuah ayat:

Dari mana datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? (Yak0bus 4:1).

Hihi… tumben amat ya aku pasang ayat Alkitab segala. Beuh… serasa muncul lingkaran putih di atas kepala nih. 😀 😀 Tapi yang kubaca itu seperti mengamini apa yang kurenungkan. Ada banyak keinginan, luka, pikiran yang tersembunyi dalam diri kita, yang mungkin tidak kita sadari lalu mendorong kita melakukan berbagai hal bodoh–mulai berkata sinis sampai jika perlu mungkin menghabisi orang lain.

Jadi, jangan heran kalau misalnya saat nonton TV, diberitakan bahwa si X korupsi, bahwa si Y terlibat dalam mafia ini itu yang merugikan banyak orang. Padahal mereka kan terlihat baik dalam menjalankan agamanya? Kalau menurutku, orang menjalankan ibadah tidak serta-merta membuat orang tersebut menyadari apa yang tersembunyi dalam hati dan pikirannya. Dan bisa jadi, aku juga tidak betul-betul menyadari apa yang bergemuruh dalam hatiku, kekosongan dalam jiwaku, luka-luka batin yang akhirnya membuatku tidak merasakan kedamaian. dll. Tindakan menyadari ini mungkin semacam mengosongkan “tempat sampah”.

Betewe, kenapa tulisan ini jadi serius ya? 😀 Mungkin memang aku sedang ingin melantur…

Membuat Tradisi 3 Januari

Tahun lalu, aku menulis postingan pertama tanggal 3 Januari. Sekarang, aku ingin menulis juga pada tanggal yang sama. Anggaplah ini membuat semacam tradisi. Kalau tanggal 1 dan 2 Januari masih “ayub-ayuben” setelah acara tahun baru, maka tanggal 3 mungkin saat yang tepat. Ini berlaku untukku saja barangkali… 😀

Ini ceritanya, aku dan keluarga sedang berkumpul di rumah alm. Simbah. Acara selamatan 1 tahun meninggalnya Simbah.

Kemarin sore, kami duduk-duduk di serambi depan. Tiba-tiba lewat seorang laki-laki dan ngomong sesuatu. Karena telingaku suka error, kupikir orang itu hanya menyapa. Kadang di sini memang suka ada kejadian seperti itu karena di dusun ini hampir semua saling kenal. Kupikir orang itu masih kerabat atau tetangga desa. Tapi ternyata dia mau menawarkan dagangan.

Awalnya kami menolak. Tapi mungkin karena terbujuk oleh kalimat: “Ningali kemawon saged” (lihat-lihat saja boleh), akhirnya orang itu kami persilakan menggelar barang dagangan. Yang dia jual adalah celana pendek. Bahannya dia beli dari sisa kain pabrik, lalu dia minta kerabat-kerabatnya menjahit. Kerabatnya itu dulu waktu masih muda bekerja di pabrik tekstil, lalu setelah menikah mereka berhenti kerja (mungkin karena harus mengurus anak dan sebagainya), dan menjadi pengangguran. Dia menangkap peluang ini dan jadilah dia membeli kain sisa pabrik untuk diubah jadi celana pendek.

Bapak pedagang itu cukup sabar meladeni kami yang ogah-ogahan membuka barang dagangannya. Tapi toh akhirnya kami membeli tiga potong celana pendek. Yang beli Ibu sih… itu juga setelah ditawar agak lama. Dan mungkin ada unsur kasihan juga (karena hari sudah senja dan gerimis).

Dari kejadian sepele ini aku menarik pelajaran: kalau jadi pedagang, sebaiknya punya sifat sabar, ulet, dan ramah. Setidaknya tiga sifat itu kulihat pada bapak penjual celana pendek tadi… dan itu membuat kami akhirnya membeli barang dagangannya.

Pertanyaan yang berkembang di kepalaku: dari tiga sifat tersebut, mana yang kumiliki?