Hidup Impian vs Pekerjaan Impian

Kemarin aku ketemu teman lama. Dia menjelaskan sebuah bisnis kepadaku yang pada intinya dia menawariku ikut MLM. Ini soal hidup impian, katanya. “Mungkin kamu punya pekerjaan impian saat ini, tapi mungkin hidup yang kamu impikan belum tercapai.”

Ucapannya itu seperti sebuah tamparan. Mungkin lugasnya demikian: “Pekerjaanmu memang terdengar keren dan menarik. Tapi kalau kulihat-lihat, kayaknya kok kamu nggak kaya-kaya?”

Aku pernah sampai pada titik memiliki pekerjaan impian. Tapi entah kenapa ya, ketika sampai pada titik itu, aku tidak bisa mengelak dari rasa jenuh. Aku sempat mempertanyakan apa manfaat positif hasil kerjaku untuk orang lain. Ada buku-buku yang ketika kukerjakan itu membuatku terus bertanya-tanya, “Kenapa aku mengerjakan ini? Apakah ini membuat hidup orang lain berubah?”

Kupikir-pikir, aku butuh mengetahui bahwa apa yang kukerjakan membawa dampak positif pada orang lain. Dampak positif itu tidak sekadar perasaan senang, tetapi hasil pekerjaanku itu benar-benar membantu. Misalnya, tentu berbeda ketika seseorang membuat kerupuk dari tepung, pewarna buatan, dan tambahan micin dibanding ketika seseorang membuat kerupuk dari tepung non gluten, tanpa pewarna buatan, tanpa tambahan perasa. Sama-sama kerupuk, tetapi beda segmen. Beda dampaknya.

Aku kadang merasa yang kukerjakan itu biasa-biasa saja. Selama ini aku menerjemahkan buku atau artikel; memenuhi pesanan tulisan artikel. Namun, setelah aku coba-coba menulis cerita anak, aku merasa kok lain ya? Misalnya ketika aku tahu buku yang kutulis itu bisa membantu seorang anak belajar membaca, penasaran dan ingin membuat masakan seperti yang ada di bukuku, aku merasa hal ini sangat menyenangkan dan memuaskan. Namun, menulis buku anak sayangnya tidak bisa kukerjakan dengan cepat. Aku selalu lama memikirkan ide, karakter, objektif, dan segala printilan tulisan.

Balik lagi ke soal pekerjaan impian vs hidup impian tadi. Aku pikir, aku tidak bisa menikmati hidup impian jika aku tidak memiliki pekerjaan impian yang memuaskan dan menyenangkan. Sulit buatku untuk mengerjakan sesuatu yang tidak bisa kunikmati dan semata-mata tujuannya adalah uang. Mungkin ada yang bilang, kan nggak melulu uang. Iya memang, tapi sayangnya iming-iming yang ditawarkan di awal adalah materi yang berlimpah.

Mungkin aku naif kalau bilang nggak butuh uang. Aku cuma merasa aku belum melihat apa perlunya aku bergabung dalam bisnis itu. Katakanlah itu sambilan, aku kok nggak percaya ya. Dari pengalamanku selama ini, yang memberikan hasil terbaik adalah jika dikerjakan secara fokus. Nggak disambi-sambi. Aku pikir, saat ini aku memutuskan untuk berkata tidak pada bisnis tersebut. Entah kalau nanti.

Dan satu hal yang kusayangkan dan membuatku bertanya-tanya: Kenapa ya kalau teman lama mengajak bertemu, ada saja yang lalu menawari bisnis MLM? Aku tidak sering mengalaminya, tetapi hal seperti ini tidak terlalu menyenangkan buatku. Kamu pernah mengalami hal yang sama?

Tak Cukup Hanya Mengirim Buku

Tulisan ini murni keinginan untuk mengungkapkan apa yang jadi ganjelan. Timbang nggak bisa tidur. 😀

Sekarang kulihat di masyarakat mulai tumbuh kesadaran soal literasi. Yang paling terlihat adalah adanya program pengiriman buku gratis ke taman bacaan terdaftar di TBM setiap tanggal 17. Itu keren. Bagaimanapun ongkos kirim itu lumayan memberatkan; apalagi kalau yang dikirim buku. Cukup mahal–setidaknya buatku.

Aku mengenal beberapa teman yang mau ikut sibuk dengan menjadi “simpul” pengiriman buku-buku yang akan disumbang. Jadi, kita tinggal berikan buku-buku tersebut, lalu dialah yang nanti menyatukan, mengemas, dan mengirimkan semua buku. Pihak yang akan menyumbang buku pun senang, to? Tinggal ngedrop buku, selesai. Beramal dengan menyumbang buku semudah belanja di warung.

Ada pula teman yang mau repot-repot membawa buku sampai ke daerah terpencil. Keren kan? Keren lah.

Namun, kupikir masih dibutuhkan langkah yang lebih jauh lagi yaitu melakukan pendampingan dalam membaca. Menyebarkan buku itu satu hal, sedangkan pendampingan adalah hal lain.

Aku pernah datang ke sebuah perpustakaan kecil di desa. Perpustakaan itu kecil dan kurang terurus. Sebetulnya di situ banyak anak kecil yang kurasa sangat membutuhkan perpustakaan. Memang di situ bukunya sedikit, tapi tak ada orang yang mengorganisir perpustakaan tersebut. Singkatnya tak ada orang yang membuat perpustakaan itu hidup. Buku-buku dibiarkan menumpuk tak dibaca.

Menghidupkan taman bacaan itu penting. Sama pentingnya dengan menyebarkan buku-buku sampai ke pelosok. Perpustakaan itu butuh orang yang bisa membacakan cerita dengan menarik (story telling), membaca lantang (read aloud), menyusun katalog, menata buku di rak supaya anak-anak (dan orang dewasa) tergugah membacanya, dan masih banyak lagi.

Ah, ya… aku kadang merasa bisanya ngomong doang. Kalau disuruh melakoni sebagai penggiat perpus, aku pasti punya banyak alasan. Levelku paling pol baru memilah buku yang ingin kusumbangkan dari koleksi buku-bukuku. Itu pun masih juga enggak sering-sering amat. Namun, kuharap soal menghidupkan taman bacaan itu semakin banyak yang memikirkannya. Atau barangkali memang sudah banyak yang memikir dan menggarapnya? Aku saja yang kuper kalau begitu.

Cara Mengirit: Membuat Yoghurt Sendiri

Salah satu menu sarapan yang cukup sering kunikmati adalah yoghurt dan buah. Awalnya dulu aku sering membuat dan minum kefir. Tapi belakangan aku merasa lebih cocok dengan yoghurt.

Demi menjaga kesehatan dompet, aku mulai membuat yoghurt setelah melihat temanku bisa membuatnya sendiri. Ternyata tidak sesulit yang kubayangkan.

Berikut ini langkah-langkah membuat yoghurt sendiri di rumah.

Bahan:
1 liter susu segar
1 cup yogurt tanpa rasa (plain). Biasanya aku memakai yoghurt merek Biokul. Kalau tidak, pakai yoghurt yang pernah dibuat sebelumnya.

Alat:
Panci
Stoples kaca

Cara membuat:

1. Siapkan susu segar. Di Yogya, susu segar bisa didapatkan di Plasa Agro UGM (dekat selokan Mataram, timur SGPC). Kalau bisa bangun pagi, bisa ke Jalan Kaliurang, seberang seminari Kentungan, di halaman Indomaret sebelah selatan Pasar Colombo. Lapak ini jam 7 pagi biasanya sudah tidak ada. Kalau tidak, siapkan susu pasteurisasi yang bisa dibeli di supermarket. Susu pasteurisasi masa kedaluwarsanya lebih pendek, beda dengan susu UHT.

2. Panaskan susu. Jaga jangan sampai mendidih dan pecah. Masak di atas api kecil. Kalau takut membludak, tunggui saja sambil sesekali diaduk.

kalau sudah muncul gelembung-gelembung di pinggiran susu dan tampak ada kepala susu, matikan api
Lihat gelembung kecil-kecil yang ada di pinggiran susu.

Biasanya susu kupanaskan sampai keluar gelembung kecil-kecil, dan berasap.

3. Masukkan susu tadi ke dalam stoples kaca. Tunggu sampai suam-suam kuku.

Stoples kaca kubuka agar susu lebih cepat dingin

4. Setelah susu tidak terlalu panas, masukkan yogurt.

 

Aku memakai yoghurt yang sebelumnya kubuat. Masukkan kira-kira sebanyak 1 cup yoghurt.

5. Tutup stoples dan diamkan sampai sekitar 6 jam.

6. Setelah 6 jam, cicipi dan lihat kekentalannya. Dari pengalamanku, pemeraman 6 jam sudah cukup.

Selamat mencoba!