Lupa dan Obatnya

Di samping komputerku, alat kerjaku yang kutongkrongi setiap hari, selalu kusiapkan kertas-kertas bekas yang sudah kupotong kecil-kecil. Kertas itu sengaja kuletakkan di situ untuk membuat catatan pendek yang kira-kira penting dan kadang-kadang bersifat spontan. Kadang aku harus menulis pesan atau catatan saat menerima telepon, membuka email. Kertas-kertas itu juga berjasa kala aku akan bepergian. Biasanya aku akan membuat catatan mengenai benda-benda apa saja yang harus kubawa: charger, buku, bedak, sikat gigi, sampo, dan sebagainya. Dan sampai saat ini, cara itu efektif untuk mengingatkanku mengenai hal-hal kecil yang sering terlewatkan.

Kalau sedang kumat pelupanya, atau sedang diburu waktu, aku sering lupa. Coba aku ingat-ingat kekonyolanku yang berkaitan dengan alpa ….

Kejadian itu terjadi ketika aku masih SD. Kecil-kecil sudah pelupa ya? Hehe. Waktu itu aku masih diantar oleh ayahku saat berangkat sekolah. Jadi, kira-kira kejadiannya sebelum aku kelas 4 SD. Soalnya kelas 4 aku sudah naik sepeda sendiri ke sekolah. Pukul setengah tujuh lewat sedikit aku sudah siap berdiri di bagian depan Vespa ayahku. Rasanya semua sudah siap. Dan berangkatlah kami. Perjalanan dengan naik sepeda motor itu kira-kira memakan waktu 10 menit. Kami pun sampai di depan gerbang sekolahku. Dengan gembira aku berjalan memasuki sekolah. Aku mulai berbaur dengan teman-temanku. Tapi loh … kok rasanya enteng banget sih? Aku menengok kebelakang, melihat tas cangklongku. Ya ampuuuun, aku lupa bawa tas sekolah! Huaaaa… Aku terbirit-birit berlari keluar gerbang. Ayahku sudah siap-siap memutar Vespanya dan bersiap melaju. “Paaaak! Bapaaak!” Aku yakin suaraku cukup keras karena Bapak langsung menoleh.

“Ada apa?” tanyanya.
“Tas sekolahku ketinggalan,” jawabku.
Aku tak tahu lagi bagaimana mimikku saat itu. Pasti menggelikan. Hahaha.
Aku tak ingat Bapak mengucapkan apa. Tapi yang jelas, aku diantar pulang, dan Bapak harus ngebut untuk kembali mengantarku. Mau tak mau Bapak harus buru-buru karena Bapak seorang guru dan harus masuk ke sekolah sebelum pukul tujuh. Kalau ingat kejadian itu, rasanya aku merasa bodoh sekali. Bayangkan, ke sekolah kok ya sampai lupa tidak bawa tas sekolah. *Geleng-geleng kepala tidak mengerti.*

Lupa. Alpa. Apa pun istilahnya memang menyebalkan. Ya, kalau lupa hal-hal sepele dan bisa dimaklumi, itu tak apa. Tapi kadang kealpaan bisa membuat kita harus membayar mahal. Misalnya kalau lupa bawa payung di musim hujan. Nah, waktu di tengah perjalanan hujan turun dan kita pas tidak bawa payung, mau tak mau kita bakal basah kuyup. Masih beruntung jika ketemu penjual payung dan kita bawa cukup uang untuk membelinya. (Di Jakarta, aku biasa menjumpai penjual payung di atas jembatan penyeberangan di sekitar Jl. Sudirman. Kala hujan turun, sepertinya dagangan mereka banyak dicari orang.) Berapa harga payung? Minimal, 20 ribu. Padahal kalau kita tidak lupa, kita bisa memakai uang 20 ribu itu untuk keperluan lain.

Ya, aku menyadari bahwa aku tak jarang kumat penyakit lupanya. Dan kupikir rasanya aku tak perlu memenuhi otakku untuk mengingat suatu hal yang bisa kucatat. Ada hal-hal yang kupakai untuk mengantisipasi penyakit lupaku:
1. Mencatat di kertas dan meletakkan catatanku di tempat yang mudah terlihat.
2. Cepat-cepat memasang alarm di hpku untuk mengingatkanku pada hal-hal tertentu pada saat tertentu pula.
3. Meminta tolong orang terdekatku–biasanya sih minta tolong suamiku–untuk mengingatkanku.
4. Berusaha untuk tidak panik dan tetap tenang, supaya cepat mengingat suatu hal.

Begitulah, kira-kira empat hal itu yang kulakukan untuk mengatasi penyakit lupaku. Punya ide lain?