Tadi pagi aku ke pasar. Salah satu yang ingin kubeli adalah sayuran hijau. Bayanganku kalau nggak bayam, ya kangkung. Dua sayuran itu yang paling gampang dimasak.
Di pasar, aku menuju ke salah satu lapak. Di situ kulihat ada dua ikat kangkung.
“Berapa, Pak?”
Aku menduga akan mendapat jawaban tiga ribu atau malah lebih murah: dua ikat, lima ribu.
“Empat ribu.”
Eh, tidak salah dengar nih?
Biasanya yang mahal itu bayam. Tumben kangkung empat ribuan.
“Kangkung lagi mahal, Mbak. Kemarin itu kan banyak yang gagal panen, karena banjir. Jadi, tidak banyak orang yang nanam kangkung. Kangkung yang ada kebanyakan sudah dipesan restoran. Mereka berani beli banyak, seikatnya tiga ribu. Orang restoran nungguin di hutan (baca: di kebun). Jadi, begitu panen, langsung diangkut. Petani bilang ke pedagang pasar, ‘Kalau sih, silakan beli lebih mahal.’ Jadi, ini tadi dari petani Rp3.500. Saya jual Rp4.000, cuma untung lima ratus.”
Aku manggut-manggut mendengar cerita si bapak. Kepalaku mulai menghubung-hubungkan antara gagal panen dan banjir karena perubahan iklim. Cerita soal gagal panen sudah mulai sering kudengar. Kapan dulu, petani padi dan petani bawang gagal panen, sekarang petani kangkung. Besok apa lagi? Dan apakah akan semakin sering? Bakal seperti apa ke depan?
Kadang aku takut membayangkan dampak buruk perubahan iklim di kemudian hari. Mungkin orang akan bilang, Tuhan akan menjaga. Di sisi itu, aku penginnya ya bakal baik-baik saja. Tapi kurasa Tuhan sudah menciptakan dunia ini dengan hukum alamnya. Misalnya, kalau bola dilempar ke atas, bakalan jatuh. Lalu, bagaimana dengan perubahan iklim?
Aku pikir, kita semua harus semakin menyayangi bumi. Walau rasanya sudah terlambat dan banyak hal justru membuat bumi ini rusak, sekarang saatnya bagi kita melakukan pertobatan ekologis. Setidaknya kita perlu menyiapkan generasi ke depan untuk hidup secara harmonis dengan alam.