Hari Raya yang Personal

Lebaran hari kedua, berapa nastar yang sudah masuk mulut?

Aku tak banyak makan nastar kali ini. Enggak beli, enggak bikin, enggak pula dapat kiriman. Hanya kemarin saja nebeng makan nastar di rumah Budhe. Paling banyak 10 biji nastar kayaknya. 😀

Lebaran kali ini sepi. Karena pandemi, masih banyak pembatasan di sana-sini. Jadi, acara kunjung-kunjung pun sangat berkurang. Kali ini aku hanya berkunjung ke rumah Budhe. Budhe-nya Maya sebenarnya, bukan Budhe asli dari keluargaku. Sebenarnya ada pula Pakdhe, kakaknya Ibuk yang merayakan lebaran yang harus dikunjungi. Tapi aku sudah mengunjungi Pakdhe sebelum lebaran. Hanya demi mengatur waktu saja, sih. Kalau dalam sehari mengunjungi 2 rumah, rasanya capek dan memakan waktu. Tidak mungkin hanya datang dan 10 menit kemudian pulang. Kalau mengunjugi Budhe (dan Tante) tak bisa sebentar. Pasti ada acara makan dan mengobrol. Dan aku senang dengan Budhe karena beliau selalu hangat kepadaku meskipun aku bukan keponakan asli.

Sebenarnya aku cukup senang dengan lebaran kali ini yang sepi. Bukan karena aku tidak merayakan, tetapi karena apa ya … aku merasa hari raya yang sepi itu lebih personal rasanya. Bahkan untuk hari Paskah atau Natal, aku senang yang sepi-sepi saja. Dulu (sebelum pandemi), paling hanya pulang ke rumah orang tua.

Sebelum pandemi, ada satu acara yang masih terasa canggung untuk kulakukan meskipun dulu waktu masih kecil, tiap tahun selalu kulakukan. Apa itu? Sungkeman. Sungkeman tidak bisa dilepaskan dari keluarga besarku sejak kecil. Rasanya itu salah satu kebiasaan orang Jawa. Waktu Simbah masih sugeng, kami semua akan sungkem urut dari Simbah sampai ke om dan tante. Ini masih mending buatku karena toh mereka masih ada hubungan darah. Yang kurang kusukai dari acara sungkeman di keluargaku adalah tangis-tangisannya. Aduh, aku terganggu sekali. Sungkem selalu diwarnai dengan derai air mata. Mungkin meminta maaf dan minta restu dari orang yang lebih tua itu terasa menyentuh hati ya? Tapi aku tidak suka. Aku tidak suka suasana yang mengharu biru. Pokoknya tidak suka aja.

Beberapa tahun lalu, karena aku tinggal di kampung, acara kunjung-kunjung saat lebaran masih menjadi suatu kewajiban. Dan aku mau tak mau harus ikut acara kunjungan ke tetangga serta sungkem itu meskipun bukan kepada kerabatku. Aku merasa canggung dan aneh saja sih rasanya. Mungkin itu hanya sebatas simbol dan penghormatan. Tapi tetap saja aku melakukan itu karena “mau tak mau”. Ketimbang dianggap alien dan jadi gunjingan orang se-RT, mending ikut kebiasaan saja. Dan syukurlah sekarang aku tidak perlu melakukannya dengan alasan pandemi.

Ya, salah satu hal positif dari pandemi ini adalah membuat suasana menjadi personal. Ucapan selamat hari raya kukirim secara personal pula ke teman atau kenalan yang aku rasa tidak akan keberatan jika kuberi ucapan. Dalam ucapan itu kusebut nama, kusampaikan selamat setulus hati. Aku khawatir jangan-jangan ada orang yang kalau dapat ucapan selamat dari orang yang beda keyakinan justru membuatnya tidak damai sejahtera. Dan pandemi membuat hal itu menjadi “sah” dan baik-baik saja. Tidak ada lagi kewajiban untuk beramai-ramai dan terpaksa ikut “rombongan”. Tidak apa-apa kan kalau aku merasa lega?