Suatu hari, temanku Titi (sebut saja begitu), bertanya kepadaku, “Kalau … kalau nih, aku besok menikah dengan laki-laki yang sudah beristri, kamu tetap mau berteman denganku, nggak?”
Aku balik bertanya, “Maksudnya, kamu merebut suami orang atau jadi istri kedua?”
“Ya, semacam itulah,” jawab Titi sambil senyum-senyum.
Aku tahu pertanyaannya itu hanya gurauan. Aku tahu betul, Titi saat itu belum punya pacar. Entah ya kalau dia diam-diam menyembunyikan pacarnya. 😀 Kami juga berpandangan tidak usahlah jadi perusak rumah tangga orang lain dan kenapa pula mesti menambah masalah dengan menjadi istri kedua, atau kesekian. Hidup yang lurus-lurus saja masalahnya tidak kurang kok mau sengaja menambah masalah. Ok, itu pandangan pribadiku sih.
Balik ke pertanyaan Titi tadi. Aku menjawab, “Hmm, sebetulnya aku tidak bisa memberimu janji apakah aku tetap akan berteman denganmu seterusnya.”
“Maksudnya?” tanya Titi.
“Begini, tidak usah berandai-andai kamu akan menikah dengan laki-laki beristri. Kita tidak tahu jalan hidup kita. Ya, kita tetap akan berteman sih kurasa. Mungkin sekarang kita bisa mengobrol dengan asyik, merasa bersahabat, tapi sebulan lagi, setahun lagi apakah yakin bisa tetap begitu?”
Aku teringat akan beberapa teman lamaku. Ada si A, si B, si C. Ketika kuliah, aku merasa dekat dengan si A. Kemudian waktu berganti, si A pindah ke kota lain. Hubunganku dengan A tidak sedekat dulu karena kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan yang baru. Aku bertemu si B. Kami sekantor, beberapa kali pulang bersama. Tapi kemudian B menikah, pindah kota, mengikuti suaminya. B kemudian sibuk dengan aktivitasnya yang baru di kota tempat tinggalnya sekarang. Datanglah C, teman lamaku yang duluuuu sekali sering main ke rumahku. Begitulah, setiap teman sepertinya hadir pada masa-masa tertentu. Aku tidak memungkiri bahwa kadang kala jarak dan kesibukan membuat kami tidak bisa seakrab dulu. Aku bertemu teman baru, begitu juga dengan teman-temanku itu. Lalu, ketika suatu saat bertemu lagi, kami masih mengobrol sih, tapi kadang kala aku merasa “frekuensi” kami tidak sama lagi alias aku merasa tidak nyambung lagi. Atau kalaupun masih nyambung, tidak bisa seintens dulu karena memiliki kesibukan yang berbeda.
Sempat aku merasa kehilangan dan merindukan masa-masa ketika aku bisa bicara dari hati ke hati dengan A, misalnya. Tapi ketika menjumpainya lagi, aku merasa kok tidak bisa seperti dulu ya? Ibarat handphone, sinyalnya byar pet. Pernah juga misalnya aku berusaha untuk tetap rajin menghubungi teman-teman lamaku itu. Tapi barangkali akunya yang kurang telaten atau memang kami masing-masing sudah asyik di dunia yang baru, hubungan kami kemudian jadi tidak sedekat dulu.
Menurutku setiap teman yang hadir memiliki “masa” masing-masing. Pada akhirnya aku merasa tidak perlu memaksakan diri untuk terus menjaga kehangatan pertemanan. Halah, istilah apa pula itu? 😀 Jika ada teman dekat kita yang kemudian menjadi jauh dan tidak lagi nyambung dengan kita, ya tidak apa-apa. Mungkin sudah masanya dia pergi (atau kita yang pergi?). Pasti nanti akan hadir teman yang satu frekuensi lagi. 🙂