Kemarin setelah aku posting tulisan, malamnya seorang teman yang mendadak kirim pesan lewat WA. Namanya Mbak Ella. Dia dulu seorang editor in-house di sebuah penerbit yang beberapa kali memberiku pekerjaan terjemahan.
“Hai Kris, apa kabar… habis baca blogmu, trus ingat kita sudah lama nggak saling sapa ya :D.”
Dan… aku suka dengan sapaan sederhana itu. Iya, cuma sapaan biasa. Tapi menurutku, itu menyejukkan. Aku bisa merasakan sapaan itu tulus. Maksudnya, tidak ada udang di balik bakwan batu. Juga bukan sapaan yang sifatnya menyelidik alias kepo alias pengin tahu urusan orang. Sapaan seorang teman. Seperti tepukan di bahu ketika kita berada di keramaian atau sedang sendirian. Menghangatkan hati, kan?
Jujur saja, aku kadang suka mikir-mikir kalau mau menyapa orang lebih dulu. Aku pernah dapat pengalaman yang agak kurang enak. Ceritanya suatu kali aku datang ke sebuah pameran buku, ke sebuah stand penerbit X. Di situ aku dikenalkan oleh temanku yang memang bekerja di penerbit X itu dengan temannya, seorang marketing kalau tidak salah. Aku diberi kartu nama. Oke. Selesai. Beberapa waktu berselang, aku bertemu dengan mbak marketing itu. Kusapa dong. Kan ceritanya dulu sudah kenalan. Tahu apa reaksinya, “Siapa ya?” Walaupun sudah kujelaskan, dia tetap pasang tampang sok tidak kenal. Dan dia pun berlalu. Gubrak! Ya, kalau dibilang, bisa jadi salahku juga sih. Dia kan orang marketing, tentunya kenal dengan sekian banyak orang. Lalu, siapa aku? Hmmm… Ya sudah.
Memang kadang aku suka berpikir “Siapa sih aku?” Jadi, kalau aku mau menyapa dulu, kerap kali pikiran seperti itulah yang pertama kali muncul. Sempat ada orang yang bilang ke aku bahwa aku sombong. Ng… sebetulnya masalahnya ya itu, aku suka tidak pede menyapa duluan. Kecuali aku sudah yakin betul orang yang kusapa itu benar-benar kenal aku, aku biasanya menyapa. Tapi kalau aku pikir, ujung-ujungnya aku bakal dicuekin, yaaa… sudahlah. Lupakan. Nanti dikira sok kenal, sok dekat. Mungkin bisa dibilang ini kebiasaan buruk. Tapi rasanya kan kesel juga kalau kita sudah menyapa, lalu dicuekin? Jadi, itulah alasanku kenapa aku kadang malas menyapa duluan.
Lagi pula, kadang kala sapaan bisa dianggap menyimpan kepentingan. Alias tidak tulus. Pernah suatu kali, waktu aku masih suka buka YM, seorang teman lama menyapaku.
“Hai, Kris… Apa kabar?”
“Hai… hai… aku baik-baik saja. Kamu gimana kabarnya?”
Lalu mengalir pembicaraan basa-basi soal kesibukan sekarang. Biasa kan?
Kemudian dia cerita kalau bisnisnya agak bermasalah… dan ujung-ujungnya pinjam uang. Oh, please deh ah!
Dengan segala cara aku berusaha berkelit dari temanku itu. Bukannya tidak mau menolong, tapi kan… males banget. Setelah sekian lama tidak berkabar, lalu tiba-tiba pinjam uang? Memangnya aku punya tampang rentenir? Lagi pula, untuk urusan pinjam meminjam uang seperti ini sebetulnya aku paling alergi. Apalagi kalau orang yang mau pinjam itu tidak kukenal betul atau teman lama yang tiba-tiba menyapa.
Oya, balik ke Mbak Ella yang kemarin menyapaku. Dia bercerita bahwa dulu dia pernah punya teman yang sering menyapa via FB. Sewaktu Mbak Ella masih bekerja kantoran, dia sering membalas sapaan temannya itu. Tapi setelah dia mengundurkan diri dari kantor, dia jarang buka YM (karena mesti buka pakai HP dan YM di HP-nya sering error). Jadi, dia pun jarang membalas sapaan dan jarang berkontak dengan temannya itu. Ternyata si teman ini sakit dan berpulang November lalu. Si teman ini orang yang biasa menyapa via FB, SMS, atau YM. Peristiwa ini seperti mengingatkan Mbak Ella untuk lebih rajin menyapa.
Ternyata, menyapa itu penting ya. Sapaan kemarin jadi sentilan buatku. Terima kasih sudah menyapaku, Mbak Ella. 🙂