Perjalanan ke Kesunyian

Rasanya blog ini sudah lumutan–saking lamanya aku tidak menengoknya. Tulisan terakhir saja tercatat bulan Maret. Wih … suwene rek! Semoga nggak ada yang kangen padaku ya. Hihi.

Ke mana saja aku? Terjebak di balik keruwetan kata-kata yang menggunung. Yah, begitulah. Lagi ada terjemahan yang membuatku sulit sekali menulis di blog. Memang nggak bisa ngatur waktu aja kan? Ngaku deh.

Tapi di sela-sela pekerjaanku, aku sempat ke Temanggung dan pulang ke Jogja untuk Paskahan. Sembari bawa pekerjaan tentunya. Walaupun kalau aku bepergian begitu, agak susah konsen. Tapi ke Temanggung ini sudah direncanakan agak lama. Sudah janji.

Kok tumben-tumbenan ke Temanggung? Ke mana tuh? Iya, ceritanya aku mau menyepi. 😀 Tepatnya aku ke Rawaseneng, ke sebuah pertapaan yang tersembunyi di balik bukit-bukit. Pertapaan yang kukunjungi namanya Pertapaan St. Maria, Rawaseneng. Di sinilah para Trappist–biarawan dari ordo OCSO–tinggal.

Ini bukan kunjunganku yang pertama. Seingatku, kemarin adalah kunjunganku yang ketiga. Tapi memang sudah lama sekali aku tidak ke sana. Dulu terakhir ke sana bersama keluargaku, waktu ulang tahun pernikahan orang tuaku yang keberapa ya? Lupa! Lalu waktu kakakku SMA kami pernah juga ke sana. (Aku ingat betul waktu itu pas kakakku SMA, karena kuingat dulu pas dia gondrong. Dia SMA kan sempet gondrong.) Aku mengenal biara pertapaan itu karena Fr. Adrianus. Ceritanya dia dulu sempat tinggal di rumahku (di Madiun), semasa jadi murid SMEA, murid ayahku. Meskipun bukan saudara dengan hubungan darah, kami sudah seperti saudara. Dia kenal dengan keluarga besarku. Dan dia tahu waktu aku baru lahir. Hehehe. Sudah lama sekali ya? Kami memanggilnya Mas Wisnu.

Sebetulnya sudah lama aku ada keinginan untuk ke Rawaseneng. Tapi kayaknya keinginan ya tinggal keinginan. Tidak diniati betul sampai pada Desember lalu Fr. Adrianus menghubungi keluargaku. Jadi, aku mengutarakan keinginan untuk ke sana. Setelah cari-cari waktu–pas suamiku libur agak panjang–kami akhirnya berencana tgl 30 Maret berangkat ke Temanggung. Penginnya sih bisa ikut misa Minggu Palem di sana.

Jauh-jauh hari aku sudah pesan tiket. Aku disarankan naik Bus Safari Darma Raya. Oke, deh. Aku pikir tidak masalah karena toh beberapa kali aku pernah pulang ke Jogja dengan naik bus malam (Ramayana). Kupikir busnya seenak bus Ramayana, tapi ternyata agak mengecewakan. Pertama, kru bus suka merokok. Memang sih mereka merokoknya sambil membuka jendela. Tapi itu kan bus AC. Bau rokoknya bisa ke mana-mana. Kedua, waktu baru keluar dari terminal Rawamangun, bus suka mogok. Tiba-tiba mati mesin. Yang parah adalah bus itu hampir ketabrak kereta pas di palang kereta Cipinang! Hiyaaaa … Jadi, ketika bus berusaha terus maju walaupun palang kereta sudah diturunkan. Nah, persis di pinggir rel, bus itu mogok! Semua penumpang sudah heboh. Sudah banyak yang mau turun tuh. Dan aku duduk di belakang sopir. Astaga! Kalau kereta lewat, bisa kesamber kayaknya tuh. Untung saja, sebelum kereta lewat, bus bisa mundur sedikit. Tapi kan deg-degannya nggak tahan! Bus sempat diperbaiki di pinggir tol. Agak lama sih, sejam kali ada deh. Dan perjalanan ke Temanggung lewat jalan yang buruk. Aku nggak tahu daerah mana. Tapi jalannya berkelok-kelok, sempat daerah yang longsor pula. Aku kayaknya stres di jalan, sampai sesak napas. Nggak bisa tidur, pula. Hu hu huuu. Kayaknya lain waktu aku mikir-mikir dulu deh mau naik bus ini. (Dan ternyata bus yang kutumpangi melewati daerah tak jauh dari rumah Mbak Tutik. Aku jadi kangen sekali padanya; teringat dulu kami pengin ke Rawaseneng, tapi nggak jadi-jadi.)

Aku dan suamiku sampai di Temanggung sekitar pukul 5 pagi. Hari masih gelap. Fr. Adrianus sempat memberi informasi bahwa untuk ke pertapaan, aku bisa naik angkot merah 03 dari Temanggung. Tapi, pukul 5 pagi begitu, angkot mana yang lewat? Apalagi ini kota kecil. Akhirnya, kami naik ojeg–yang dengan sigapnya menyambut kami begitu turun dari bus. Ongkosnya? Tiga puluh ribu saja per orang. Sempet terpikir, bisa nggak carter mobil? Tapi ternyata tidak ada. Pilihan lain adalah nunggu angkot 03 sampai agak siang. Tapi males deh. Kami mending menembus pagi yang berkabut menuju pertapaan. Jangan tanya seberapa dinginnya ya! 😀 Wis pokoknya, sluman slumun slamet saja. (Masih untung tidak kesamber kereta kan?)

Aku sampai di dekat jalan masuk pertapaan sekitar pukul 5.30. Fr. Adrianus menyambut kami di halaman, lalu menunjukkan kamar tempat kami menginap. “Nanti jam 6 ada ibadat dan misa. Nanti ikut saja. Tidak usah mandi tidak apa-apa,” begitu pesannya. Oke deh, Frater! Lagian, dingin banget kalau mau mandi pagi di sana. Cepat-cepat kami menaruh tas. Lalu masuk kapel. Aku ikut ibadat dan misa sambil terkantuk-kantuk. 😀

Oke, lalu ngapain saja di pertapaan? Bertapa? Kan sudah kubilang, aku menyepi. Hihi. Rata-rata orang ke sana untuk retret. Ada yang retret kelompok, ada pula yang retret pribadi. Kalau kami? Kami hanya ikut ibadat mereka (sehari tujuh kali ibadat dan sekali misa) serta menikmati pemandangan di sana. Plus, silaturahmi dengan Fr. Adrianus, yang sudah lamaaaa sekali tidak ketemu. Nostalgia masa kecil ceritanya. Aku banyak dapat cerita tentang keluargaku zaman dulu, waktu aku masih bayi. 😀 Hanya itu? Ya, cuma itu.

Pertapaan dari kejauhanFoto: Pertapaan dari kejauhan.

Aku benar-benar seperti dibenamkan dalam kesunyian yang damai. Di sana memang tergolong sepi. Sempat sih kami ngobrol-ngobrol, tapi pada dasarnya suasana di sana sunyi. Entah apakah banyak orang yang suka kesunyian, tapi aku merasa seperti di-refresh. Padahal ya cuma ikut ibadat saja. Dan aku tidak yakin juga sih banyak yang menikmati ibadat mereka. Ibadat mereka banyak membaca mazmur dan bernyanyi. Tapi jangan bayangkan nyanyian yang gedumbrangan, tetapi nyanyiannya seperti nyanyian lagu-lagu gregorian. Aku sendiri nggak bisa nyanyi, cuma menikmati saja. Aku nyerah deh. 😀

Aku sempat keliling sekitar biara. Lihat-lihat peternakan sapi, makam para biarawan yang sudah meninggal, tempat pembuatan roti dan kue, juga jalan-jalan ke kebun kopi dan dam. Biara itu menghidupi dirinya sendiri. Mereka memiliki beberapa usaha. Di antaranya dengan beternak sapi perah (jadi tiap pagi, kami para tamu, bisa minum susu segar), membuat roti dan kue, menanam dan mengolah kopi. Untuk pasokan listrik, biara itu punya dam. Tapi kemarin generator mereka sedang rusak, jadi sementara pakai listrik dari PLN.

Foto: Dam. Suasananya hijau dan segar sekali.

Kami tiga hari di sana. Lalu lanjut ke Jogja. Rasanya kenangan dibenamkan dalam kesunyian itu masih melekat dalam benakku. Semoga pada lain kesempatan aku bisa berkunjung ke sana lagi.