Aku mau membuat pengakuan… bahwa sesungguhnya aku terlambat mengenal masakan Padang. Seingatku aku mengenal masakan Padang pertama kali waktu SMP atau SMA. Waktu itu, lidahku masih dibawah pengaruh otakku yang “picky eater”–suka pilih-pilih makanan. Jadi, aku kurang menikmatinya. Tapi waktu aku kerja di Jogja, tak jauh dari kantorku ada kedai Padang. Salah seorang teman bilang bahwa nasi Padang di situ enak banget. Ternyata memang enak. Waktu itu aku sudah tidak terlalu picky eater. Sejak tinggal di asrama dan mesti menyantap menu apa saja yang terhidang pada hari itu, kebiasaanku untuk pilih-pilih makanan sudah lumayan jauh berkurang. Oya, sayangnya sekarang tempat itu sudah tidak ada.
Tak jauh dari tempat tinggalku, ada sebuah rumah makan Padang yang sepertinya cukup terkenal di Jakarta, yaitu restoran Sederhana di seberang Pasar Sunan Giri, Jakarta Timur. Seorang temanku merekomendasikan restoran itu. “Rendangnya enak banget,” kata dia. Penjaga kontrakanku, yang orang Padang, juga bilang di restoran itu masakannya enak. “Cocok dengan lidah saya,” katanya. Tapi ketika mencoba makan di situ, aku jatuh cinta pada ayam pop.
Menu masakan Padang beberapa kali menjadi penghibur hati ketika aku sedang bete. Sepertinya untuk melupakan pahitnya dunia, makan enak memang bisa jadi salah satu pelarian.
Beberapa waktu lalu, ketika sedang menonton film Negeri Tanpa Telinga di bioskop, muncul tayangan trailer film Tabula Rasa. Film apa nih? Kok menampilkan masakan Padang? Seingatku, aku belum pernah menyaksikan film yang benar-benar mengangkat kuliner Indonesia. Jadi, sukseslah aku menunggu-nunggu penayangan film Tabula Rasa tersebut.
Tabula Rasa mulai tayang kemarin, tanggal 25 September. Astaga, kayaknya ini kali pertama aku benar-benar mengingat tanggal penayangan perdana sebuah film Indonesia. Aku sudah tak sabar menonton.
Ini trailer film Tabula Rasa itu:
Oke, singkat cerita, aku dan suamiku nonton film itu kemarin di bioskop Arion. Film itu mengisahkan seorang pemuda asal Serui, Papua, bernama Hans yang pergi meninggalkan kampung halamannya ke Jakarta. Hans (Jimmy Kobogau) seorang pemain sepak bola di daerahnya. Cita-citanya adalah menjadi pemain sepak bola profesional. Maka ketika ada seorang yang mengajaknya ke Jakarta untuk dijadikan pemain sepak bola, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Namun, jalan hidup Hans berbelok. Pergi dari Serui bukannya jadi pemain sepak bola profesional, dia malah jadi pemuda gelandangan. Duh, adegan dia menyambung hidup di Jakarta rasanya miris sekali. Jakarta yang keras sempat membuat Hans ingin bunuh diri. Tapi kemudian dia bertemu Mak (Dewi Irawan), seorang pemilik warung makan Padang. Bagiku, adegan pertemuannya dengan Mak ini menyisakan perenungan yang panjang. Mak menemukan Hans yang tengah tergeletak dengan luka di kepala. Waktu itu pagi hari, Mak tengah pulang dari pasar. Mak berusaha membangunkan Hans. Memeriksa apakah pemuda bertampang khas orang Papua itu masih hidup, Mak meletakkan jarinya di bawah hidung Hans. Hans pun bangun karena terkejut. Mak lalu mengajak pulang Hans dengan dibantu Natsir (Ozzol Ramdan), pekerja yang bekerja di warung nasi Padang Mak.
Sebagai orang baru, apalagi dengan penampilannya yang lusuh, Hans tidak serta merta diterima di rumah (sekaligus warung makan) Mak. Kalau aku jadi penghuni rumah Mak, mungkin aku juga mempertanyakan Hans. Siapa dia? Kalau dia orang jahat bagaimana? Bukannya malah merepotkan? Padahal saat itu warung Mak sedang sepi. Alias kondisi keuangan Mak sedang susah juga. Tapi apa komentar Mak? (Aku tulis berdasarkan ingatanku saja. Aku tidak ingat persisnya percakapan antara Mak, Natsir, dan Uda Parmanto, juru masak warung Mak (diperankan Yayu Unru).
Natsir: Berbuat baik itu ada batasnya.
Mak: Apa batasnya?
Natsir dan Uda Parmanto pun diam.
Ya, ya… berbuat baik idealnya tidak ada batasnya. Tapi kita sekarang memang biasa menghitung-hitung perbuatan baik. Adegan Mak menolong Hans itu membuatku teringat kisah orang Samaria yang baik hati. Aku tidak tahu apakah penulis skenarionya membayangkan kisah itu waktu menulisnya atau tidak. Tapi kebaikan Mak yang memberi tumpangan kepada Hans itu menggedor nurani. Zaman sekarang gitu lo, siapa sih yang mau menolong orang yang keleleran di jalanan? Yang menolong begitu saja karena tergerak hatinya? Ah, ya… semoga masih ada.
Film ini dari awal sampai akhir cukup memikatku. Plot dan ceritanya tidak kedodoran. Musiknya oke banget, gabungan antara musik tradisional Papua dan Sumatera. Rasanya seperti mengecap rasa Indonesia yang asli: pasar tradisional, keindahan Papua, potret kemiskinan kota, dan yang pasti… masakan Padang! Dijamin penonton ngeces waktu menyaksikan adegan memasak di dapur Mak. Itu gulai kepala ikan bikinan Mak terbayang-bayang sampai sekarang! Hih, mesti segera mencari hari kapan bisa mencicipi gulai kepala ikan yang uenak!
Film ini menggambarkan kekayaan Indonesia. Mulai dari makanan sampai bahasa. Oya, satu hal yang kusukai dari film ini adalah dialognya memakai bahasa daerah. Tapi tenang… ada terjemahannya kok. Jangan khawatir tidak bisa mengikuti percakapan mereka. Film ini juga mengangkat kebhinekaan Indonesia. Perbedaan suku dan agama di antara para lakon tampil alami, wajar. Terselip pula kelakar serta peribahasa dalam percakapan mereka.
Menonton ini semakin membuatku bangga pada Indonesia… negeri yang cantik dan kaya ini. Plus membuatku lapar! Haha.
Selamat menonton. Selamat merayakan Indonesia.
Untuk mengetahui lebih lengkap tentang film ini, silakan berkunjung ke sini.