Bertemu orang baru atau orang lama tapi baru (misalnya, teman sekolah dulu tetapi tidak pernah berkontak), kadang menyenangkan. Kadang? Iya, kalau mencerahkan hati. Tetapi kadang juga tidak. Tidak menyenangkan, jika mendadak dilontarkan pertanyaan soal sesuatu yang tak penting sehingga menimbulkan rasa tidak enak.
Pertanyaan-pertanyaan itu kadang membuatku ingin mengunci mulut. Malas menjawab. Menurutku pertanyaan-pertanyaan bersifat pribadi dan sebenarnya aku hanya mau membahasnya dengan orang-orang tertentu–orang dekat saja.
Perasaan terganggu dari lontaran pertanyaan-pertanyaan itu mungkin memang tidak kualami sampai sekarang, tetapi setidaknya aku pernah terganggu.
Berikut ini beberapa pertanyaan yang kurasa (masih) mengganggu.
1. Agamamu apa?
Ini merupakan pertanyaan yang kerap kali tidak aku kumengerti kegunaannya. Jika pertanyaan ini diajukan dalam kaitannya untuk mengisi suatu formulir yang berkaitan dengan pendataan penduduk, ini masih mendingan. Atau jika aku ditanya tentang agamaku saat akan masuk rumah sakit (berkaitan dengan pelayanan rohani di saat sakit), itu tidak masalah. Tetapi jika pertanyaan ini diajukan oleh orang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak punya urusan apa-apa denganku, ini mengganggu sekali.
Suatu kali aku pernah naik kendaraan umum. Tak lama naiklah seorang perempuan lalu dia duduk di sebelahku. Awalnya dia basa-basi bertanya, aku mau turun di mana. Aku sebutkan tempat tujuanku. Lalu dia bertanya, “Di sana kerja ya?” Aku lalu bertanya-tanya dalam hati, apakah penampilanku menunjukkan aku mau masuk ke suatu perusahaan? Ah, rasanya tidak. Aku hanya pakai t-shirt dan celana panjang biasa. Aku menjawab “tidak” untuk pertanyaan keduanya. Kami terdiam cukup lama, lalu dia mendadak bertanya, “Apakah Mbak beragama X?” Ugh, ini sangat menyebalkan bagiku. Dari penampilannya memang dia menunjukkan dirinya beragama X, sih. Tetapi kenapa dia mesti pengin tahu apakah aku seagama dengan dia atau tidak? Seandainya aku seagama dengan dia, memangnya kenapa? Lagi pula, tak ada hubungannya antara naik kendaraan umum dan agama yang kuanut. Toh aku juga tidak mengganggunya selama dalam perjalanan–dan justru dia yang menggangguku dengan pertanyaan yang tak ada gunanya itu.
Di lain kesempatan, aku beberapa kali ditanyai agama apa yang kuanut oleh anak-anak kecil. Mereka tidak kecil-kecil amat sih. Tetapi kira-kira usia SD kelas 4 ke atas. Dan mereka menanyakan hal ini secara sekonyong-konyong. Mereka tiba-tiba saja bertanya seperti itu, tanpa alasan atau dalam suatu kondisi tertentu yang memicu mereka bertanya soal agama. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa anak-anak itu menjadi peduli akan agama yang kuanut? Lagi pula, jika mereka sudah tahu apa agamaku, apa sih yang kepentingan mereka? Jujur saja aku curiga bahwa mereka bertanya seperti itu karena sudah mendapat masukan tertentu dari orang-orang yang lebih dewasa. Ini Indonesia gitu loh, masalah agama kan dianggap masih sensitif. Dan dari cerita beberapa orang kawan, anak kecil yang beda agama pun kadang lalu tidak diajak main.
Terus-terang, aku enggan menjawab pertanyaan semacam itu. Kalau aku kumat isengnya, aku akan bertanya balik, “Memangnya kenapa kalau kamu tahu agamaku? Apakah akan mengubah pikiran dan perlakuanmu terhadapku ?” Kadang pula aku memilih menghindar dan tak kujawab sama sekali.
Bagiku, agama adalah urusanku dengan Tuhan. Toh selama ini aku menjalankan agama tanpa mengganggu orang lain–misalnya, aku tidak melakukan kekerasan dalam rangka menjalankan agamaku, mengajak atau bahkan memaksa orang lain memeluk agama yang sama denganku. Bahkan jika aku tahu ada orang yang berbeda keyakinan denganku dan aku tahu saat itu dia harus berdoa atau pergi ke tempat ibadahnya, tak jarang aku memberikan kesempatan kepadanya untuk menjalankan ibadah. Aku melakukan hal itu karena kupikir itu baik dan merupakan suatu bentuk toleransi. Selain itu, aku tak mau pula dipaksa mengikuti ritual atau berdoa dalam keyakinan lain serta dikhotbahi oleh orang lain dengan membawa-bawa agamanya yang berlainan denganku. Jadi, pertanyaan tentang agama apa yang kuanut itu rasanya pertanyaan yang nggak penting deh… (kecuali kamu mau mengirimi aku parcel saat aku merayakan hari besar keagamaanku–asal nggak parcel bom ya! hihi)
2. Kapan lulus (kuliah)?
Saat ini, pertanyaan itu memang tidak menggangguku lagi. Tetapi di suatu masa, aku pernah sangat risi oleh pertanyaan itu. Memang sebagian orang menganggap itu adalah pertanyaan basa-basi. Tetapi aku kok rasanya mengganggu ya?
Well, walaupun masa kuliahku tidak molor–pas lima tahun, tetapi saat sedang mengerjakan skripsi, mendengar pertanyaan, “Kapan lulus?” yang diajukan oleh orang yang sama sekali tidak punya kedekatan denganku, rasanya risi sekali. Apalagi kalau setelah bertanya seperti itu, mereka lalu membanggakan anak mereka yang lulus dengan cepat, dengan IPK tinggi. So what, gitu loh?
Menurutku, orang yang sedang mengerjakan tugas akhir, biasanya punya pergulatan sendiri-sendiri. Entah itu kesulitan mencari dosen, kesulitan mencari tema skripsi, tidak punya dana, atau apa pun lah. Memang sih, rasanya keterlaluan kalau si mahasiswa tidak segera menyelesaikan kuliahnya dan masih terus meminta uang dari orang tuanya untuk membiayai SPP kuliah. Kadang kala memang tidak terjadi titik temu yang pas ketika orang tua menanyakan kapan si anak lulus kuliah dengan kesulitan yang dihadapi anak. Kadang kala si anak tidak mau berterus terang soal kesulitan yang dihadapinya. Bisa jadi, si anak sudah bercerita, tetapi orang tua kurang bisa memahami.
Pertanyaan itu terasa menyudutkan jika si anak dibanding-bandingkan dengan anak yang lain. Kadang, jika anak sudah malas menjawab atau merasa tersudut, dia jadi makin malas mengerjakan tugas akhirnya. Lagi pula, malas juga berulang kali memberi penjelasan panjang lebar kepada orang yang kurang memahami pergumulan kita saat mengerjakan tugas akhir.
Kini, setelah aku terbebas dari pertanyaan itu, aku sama sekali tidak pernah melontarkan pertanyaan serupa. Lagi pula, setiap orang bertanggung jawab atas masa depannya sendiri.
3. Kapan nyusul? (atau Kapan menikah?)
Nah, dulu pertanyaan ini sempat agak membuatku malas datang ke acara kondangan. Memang sih, pertanyaan ini sifatnya basa-basi dan tak perlu ditanggapi serius. Tapi bosen sebosen-bosennya berulang kali ditanyai, “Kapan nyusul?” oleh sang pengantin, atau saudara-saudara si pengantin. Lha wong kalau aku menikah pun, aku tidak akan minta duit kepada mereka kok. He he.
Kupikir, menikah atau tidak menikah itu urusan pribadi masing-masing orang. Itu adalah pilihan hidup. Mungkin banyak orang menganggap menikah itu suatu “kewajiban”, suatu ritual yang harus dijalani saat orang tersebut sudah cukup dewasa. Wis wayahe (sudah waktunya), begitu kalau orang Jawa bilang. Tapi siapa yang menentukan bahwa seseorang sudah waktunya menikah? Kalau dia sudah ngalor-ngidul tak dapat jodoh, mau bagaimana? Harus dipaksa kawin sama siapa pun yang ada? Hehe, kaya zaman Sitti Nurbaya aja. Kalau Datuk Maringgih-nya Nicholas Saputra, ya itu sih sulit untuk ditolak ya? :p
Menurutku, pertanyaan ini bisa membuat orang yang masih lajang (semakin) gelisah. Seperti ada yang mengejar-ngejar, tetapi tak jelas apa/siapa yang mengejar.
Kalau pertanyaan itu diajukan kepada orang yang sudah punya pacar dan memang sudah siap menikah, itu tak mengapa. Tetapi kalau diajukan kepada orang yang sebenarnya belum siap untuk menikah, ini agak repot. Ya itu tadi akibatnya, bisa menimbulkan kegelisahan dan rasa frustrasi yang tak jelas.
Lagi pula, kenapa sih mau tahu kapan seseorang akan menikah? Aku tak mengerti apa pentingnya pertanyaan itu.
4. Berapa anakmu? (atau Kapan mau punya anak?)
Buatku, punya anak, berapa jumlahnya, kapan waktunya, itu adalah urusanku dengan suamiku. Dan kami bisa mendiskusikan hal itu dengan dokter SpOG yang ada. Tak perlu ada kuliah dari orang lain. Tak perlu ikut-ikutan menjadi ahli. Masing-masing pasangan pasti punya alasan untuk urusan anak. Dan biarlah itu menjadi “rahasia” masing-masing pasangan.
Bagi orang yang sedang mendambakan anak, pertanyaan itu justru membuat pasangan itu menjadi semakin gelisah, jadi bertanya-tanya. Tak jarang lalu memicu pertengkaran karena mungkin salah satu pasangan itu merasa dipojokkan. Dan bagi pasangan yang memang menunda untuk punya anak, pertanyaan itu biasanya akan mengundang “kuliah umum” soal pentingnya punya anak. Well, lagi pula, apa buruknya menunda punya anak? Daripada telanjur punya anak tetapi sebenarnya secara sosial ekonomi tidak mampu atau belum siap, kenapa mesti dipaksakan?
Empat macam pertanyaan di atas itu barangkali merupakan menu basa-basi yang biasa dilontarkan saat mengobrol. Tapi kalau kubilang sih, itu pertanyaan basi hihihi. Dan kupikir itu semua merupakan bagian dari wilayah privasi masing-masing orang, jadi sudah sepantasnya aku menghormati orang tersebut dengan tidak merambah masuk ke dalam wilayah pribadi.