Ada beberapa hal yang untuk mengawalinya rasanya maleees banget, tapi kalau sudah dilakukan, sebetulnya sangat menguntungkan dan membuat nyaman. Dua di antaranya adalah mandi dan nyapu/ngepel rumah. Kalau mandi, sebetulnya aku lebih rajin dibanding suamiku. 😀 Dan paling senang kalau bisa mandi air hangat. Cuma, aku sering nggak sabar kalau harus masak air dulu. Untuk nyapu/ngepel, itu ada kaitannya dengan bertempur melawan diri sendiri. Haiyah, bahasaku… 🙂 Tahu kan maksudku? Setelah rumah dibersihkan, disapu dan dipel, rasanya kan nyaman. Nah tapi untuk mulai beres-beres, mengambil sapu di belakang, dan seterus … dan seterusnya sampai lantai rumah terasa bersih, itu butuh kemauan. Dulu aku pernah berniat menyapu dan mengepel rumah sehari dua kali. Tapi acara itu hanya berlangsung paling pol satu minggu. Niatnya adalah sekalian olahraga. Tapi kemalasanku memang tidak ada duanya! Hehehe. Setelah itu, standarnya diturunkan jadi sehari sekali. Kalau penyakit malas mulai menggerogoti sedikit, maka acara nyapu dan ngepel menjadi dua hari sekali. Nah, kalau sudah lebih dari itu, berarti memang akunya lagi error. Hihi. Padahal menyapu dan mengepel rumah yang kutinggali saat ini (di Jakarta), tidak terlalu makan waktu dan tenaga. Wong rumah seuplik gitu. Tinggal set… set… set… bersih deh.
Waktu masih tinggal di Jogja, seorang kakak sepupuku memberiku saran, “Cari pembantu saja. Jadi kamu pulang kerja, rumah sudah bersih. Kaya aku nih… aku sengaja cari pembantu pocokan (tidak menginap atau pulang hari-red), tugasnya cuma nyapu, ngepel, nyuci baju, setrika. Pulang kerja sudah nggak sibuk lagi ngurus rumah.”
Aku menggeleng mendengar saran itu. Kupikir aku masih bisa mengerjakannya sendiri. Lagi pula aku merasa rumah yang kutinggali di Jogja itu tidak terlalu besar (jika dibandingkan rumah keluargaku di Madiun). Untuk menyapu dan mengepel, perlu waktu kira-kira satu jam. Kurang lebih ya. Kalau mau cepat, ya 45 menit. Waktu itu aku tinggal dengan kakakku dan kalau dia tidak terlalu sibuk (nggak sesibuk sekarang), dia mau kumintai tolong untuk menyapu.
Nah, masalah timbul ketika aku pindah ke Jakarta dan hanya kakakku yang menempati rumah Jogja. Sepertinya kebanyakan laki-laki memang tidak terlalu peduli apakah rumah sudah dipel atau belum, ya? Dan dia sudah mulai sangat sibuk. Rumah menjadi jarang kena sentuh sapu dan pel. Kan tidak mungkin mendatangkan aku hanya untuk menyapu dan mengepel rumah? Hehe. *Aku serasa pembantu pocokan saja deh…*
Akhirnya, masalah bersih-bersih rumah itu ditanggulangi dengan mempekerjakan asisten rumah tangga kakak sepupuku. Nama asisten itu Mbak Pur. Awalnya aku tidak terlalu berharap banyak pada asisten. (Iya, aku sudah tinggal di Jakarta sih, tapi kan cukup sering ke Jogja juga.) Dan sebenarnya aku punya semacam kekhawatiran kalau-kalau aku tidak cukup cocok dengan asisten. Sering kan kita dengar perselisihan antara asisten rumah tangga dan pemilik rumah? Kadang masalahnya tidak penting-penting amat, tapi kalau kesalahan kecil yang sama berulang terus, kan nyebelin juga. Iya kan? Nah, aku paling malas tuh berurusan dengan hal-hal seperti itu. Kalau ujung-ujungnya berantem, lebih baik tidak usah. Tapi untuuuung banget, Mbak Pur itu tidak seperti yang kukhawatirkan. Aku sama sekali tidak pernah ada masalah dengan dia. Dan aku puas dengan pekerjaannya. Rapi dan bersih. Plus orangnya tidak neko-neko. Semoga hubungan kerja sama kami awet. Eh tepatnya, yang mempekerjakan Mbak Pur itu kakakku, aku hanya ikut menikmati hasil kerjanya. 🙂
Soal asisten rumah tangga ini aku punya cerita lain. Aku punya teman yang rumahnya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku di sini. Kawanku ini punya asisten rumah tangga juga, yang biasa dipanggil Bibi. Entah siapa namanya, tapi kalau menyebut Bibi, ya cuma itu orangnya. Entah bagaimana, aku merasakan suatu kedekatan tersendiri dengan Bibi. Padahal aku jarang sih ke rumah temanku itu. Mungkin karena aku merasa Bibi selalu ramah menyambut aku dan suamiku. Ramahnya tidak dibuat-buat.
Perempuan yang sudah cukup senja usia itu biasanya punya cerita untuk kami. Cerita ketika dia dulu jadi transmigran, ketika dia ngidam pete dan dapat pete buanyak banget, ketika dia minum jamu yang membuat badannya jadi lebih gemuk, dan sebagainya, dan sebagainya. Karena pasar tempat kami belanja, aku pernah satu-dua kali bertemu dia di pasar. “Non, non … kok lama nggak main ke rumah? Ayo mampir,” begitu biasanya dia bilang sambil tersenyum lebar. Aku biasanya hanya cengengesan kalau ditanya begitu. “Iya, Bi. Nanti deh kapan-kapan.” Aku pikir, nanti deh kapan-kapan kan masih bisa ketemu Bibi. Lagi pula habis dari pasar dan menenteng belanjaan trus mampir-mampir kan ribet. Terakhir aku bertemu Bibi ketika dia ada di halaman rumah kawanku dan aku kebetulan lewat. Dia menawariku mampir. “Ayo, aku bikinin teh dulu.” Tapi aku menolak karena waktu itu aku hendak ke rumah adik iparku. “Lain kali deh, Bi.” Setiap kali melewati rumah temanku, aku sering berharap menjumpai Bibi di depan. Bertemu Bibi selalu menyegarkan hati.
Sore tadi, aku mendapat telepon dari kawanku yang mengabarkan bahwa Bibi meninggal hari Minggu kemarin. Aku seperti tak percaya sampai beberapa kali mengulangi pertanyaan apakah Bibi itu yang dimaksud. Lagi pula suara di telepon yang putus-putus memperburuk penyampaian berita itu. Tapi memang benar Bibi sudah meninggal. Hari yang mendung dan dingin ini membuat hatiku semakin kelabu. Ah, Bibi …ternyata aku tidak akan pernah sempat lagi menikmati teh bikinan Bibi. Semoga tenang istirahatmu, Bibi.