Sejumput Cinta di Ujung Paskah

Sesungguhnya, perasaanku menjelang Paskah terasa hambar dan sesak. Ada hal-hal yang menggerus hati dan rasanya seperti mencekik. Marah, sedih, kecewa, cemas … apalah namanya, semua menumpuk dan mencengkeram ingatan.

Kulangkahkan kaki setengah hati memasuki gereja saat Kamis Putih dan Jumat Agung. Ya, setengah hati karena aku tak terlalu ingin sebenarnya. Ini kulakukan hanya mengikuti kebiasaan, agar tidak timbul perasaan bersalah.

Lagu pembukaan mengalun. Mataku seketika menghangat. Seluruh timbunan perasaan yang mencekik itu seperti menemukan jalan keluar lewat air mata.

Ingatanku seperti melesat padamu, Mas Tok. Seolah aku mendengar suaramu. Ah, ya … aku tahu pasti dirimu tak ada di dalam gereja ini. Kamu ada di sana, di pulau lain, terpisah oleh laut dan waktu. Kutahu pasti kamu sibuk di hari-hari ini. Kepalaku sibuk menyusun kata yang akan kukirim padamu.

Akan tetapi, beberapa kejadian terakhir menahanku mengirim semua kata padamu. Kusimpan rasa sedih (dan marah) sendiri.

“Selamat Paskah, Dik Ning.”
Aku terperanjat saat membaca namamu muncul di ponsel. Perlahan lumer kekesalan yang selama ini berdiam di ujung hati.

“Terima kasih masih mengingatku, Mas Tok.”

Kamu memasang ikon tertawa.

Dasar!

Semua yang tersimpan tertumpah. Terburai begitu saja.

“Mas, kamu kecewa tidak ketika mengirim ucapan selamat Paskah tetapi malah kubalas dengan gerutuan?

“Nggak. Karena aku tetap mencintaimu.”

Kupikir kamu telah lupa dengan rasa itu, Mas. Kata-katamu barusan seperti pelukan dan kecupan. Terima kasih telah mencintaiku.

Mungkin ini salah satu Paskah terbaik yang kualami.