Sepanjang Jalan Kenangan

Ning

Hari masih dingin. Mbediding, kata orang Jawa. Walau sudah lewat pukul 8 pagi, matahari belum tampak sempurna. Mendung menggantung di arah barat.

Aku melajukan motor berlawanan arah dengan orang-orang yang bergegas ke kantor atau sekolah. Ini tanggal 7 bulan tujuh. Lewat seminggu dari tanggal “jadian” kita.

Hmm, apa iya kata jadian itu tepat?

Samar kuingat perjalanan yang kita lakukan di sebuah petang: Menyusuri persawahan yang panjang. Kamu melajukan motor bebek pinjaman itu dengan setengah ngebut.

“Pelan-pelan saja, Mas Tok,” kataku agak keras dari belakang.
“Aku kebelet,” jawabmu tak kalah keras.

Haiyah. Selalu, batinku.

“Berhenti saja di pinggir sana, dekat pohon-pohon,” jawabku. Rumah Mbak Yuk–adik kesayanganmu–masih jauh. Kupikir kelamaan kalau Mas Tok menahan hasrat ingin buang air kecil.

Kamu menuruti saranku. Di tempat sepi, di dekat pepohonan kamu mengentikan motor.

Mendadak tanganku kautarik, ke balik pohon. Aku tak sempat menolak.

“Hei! Sana pipis dulu,” kataku.
“Bukan, aku kebelet mencium aroma bedak dan keringat di pipimu!”

Aku yakin pipiku bersemu merah. Hari itu tanggal 7 bulan tujuh. “Tujuh hari lewat dari tanggal 1 ya,” katamu. “Jadi, aku boleh sering-sering mengajakmu menyusuri sawah seperti ini kan, Ning?”

Hari ini 25 tahun berselang, aku mengingat seluruh perjalanan kita tanpa sengaja. Tugas kantor memaksaku menyusuri jalan ini menemui narasumber. Mendadak semua pertanyaan yang sudah kususun di kepala untuk kuajukan pada sang narasumber melayang. Menguap digantikan kenangan.

Kadang aku bertanya-tanya, apa kabarmu di pulau seberang?

 

 

Tok

Mataku kedutan sejak semalam. Pasti karena kurang tidur. Atau… ?

Kubuka email–seperti biasa, walau belum jam kantor.

Ada denyut pelan yang menjalar sampai ke perut waktu kubuka email teratas.

Mas Tok, apa kabar?
Pagi ini aku dapat tugas liputan tak jauh dari Desa Wonotirto, dekat rumah Mbak Yuk. Aku jadi ingat waktu kamu “kebelet”. Haha.

Aku mampir rumah Mbak Yuk.

Di email itu terlampir foto Ning dan Yuk. Rindu menyesak. Mungkin ini sebabnya mataku kedutan. Gelombang cinta itu sampai ke sini.

Perlahan terngiang lagu lama:
Sepanjang jalan kenangan… kita s’lalu bergandeng tangaaan…

Diam-diam aku menggigil. Aku ingin mendengar suaramu. Itu saja.