Seberapa Dalam?

Tok
Seberapa jauh ingatanmu dan seberapa kuatnya perasaanmu tentang kita?

Ning
Aku tak pernah mengukur. Tapi denganmu walau setelah berlalu belasan tahun, rasa itu masih sangat kuat, Mas. Aku kadang merasa, hanya aku sendiri yang merasakannya. Banyak hal dan kesibukan yang menggulungmu. Kurasa aku sendirian…

Tok
Sebenarnya sampai sekarang aku masih merasakannya, Dik Ning. Jangan merasa sendirian lagi. Rinduku pun tidak ringan.

 

Apakah Pertemuan Daring Membuatmu Bahagia?

Belum lama ini aku terlibat sebuah proyek menulis yang membuatku ikut-ikutan seperti para pekerja kantoran lain, yaitu ikut pertemuan daring alias rapat online alias video conference. Apa pun sebutannya, pada intinya adalah acara rapat lewat zoom. Sadar bahwa aku gaptek, aku mengontak teman untuk mengajariku jarak jauh. Tentunya lewat zoom juga.

Seneng dong rasanya. Bagaimanapun karena lama tidak bertemu teman, begitu bisa ketemu walau hanya lewat bantuan internet, rasanya bisa memupus jarak yang selama ini terbentang gara-gara wabah. Lumayan bisa ngobrol-ngobrol.

Hari H rapat daring pun tiba. Aku sempat merasa agak excited awalnya. Oh, begini ya rapat daring tuh, begitu pikirku. Asyik juga ya. Dulu kupikir hal seperti ini hanya ada di film-film, tetapi sekarang rapat daring sudah menjadi kenyataan hidup.

Aku tak ingat berapa lama aku tahan mendengarkan paparan orang selama rapat itu. Tetapi rasanya tidak lama. Mungkin hanya tahan sekitar 30 menit pertama. Sesudahnya aku butuh jalan-jalan, berganti suasana. Jadi, selama bukan jatahku untuk presentasi, aku mengendorkan konsentrasi dan menyusun kata-kata yang hendak kusampaikan nanti.

Untungnya selama rapat daring, aku bisa mematikan fitur video, sehingga aku bisa sambil peregangan di samping kursi 😀 atau melangkah ke dapur untuk memanasi sayur.

Setelah tiga atau empat kali rapat daring, aku merasa kewajiban tatap muka lewat internet ini membutuhkan suatu energi yang tidak sedikit. Aku tak tahu penyebabnya, tetapi mungkin aku kurang bisa menangkap bahasa tubuh seseorang di seberang sana. Aku hanya berpegang pada suara yang rasanya lama-lama di telingaku terasa tidak nyaman. Apalagi aku bukan orang yang gemar mendengar. Maksudku, aku kurang bisa menyerap informasi lewat pendengaran. Aku lebih suka membaca dan melihat. (Mungkin itu sebabnya nilai listening-ku dulu waktu kuliah mentok di B. Hampir bisa dipastikan C sebetulnya.)

Sebagai makhluk introver, aku rupanya lama-lama kurang bisa menikmati rapat daring–walau hal itu membuatku tidak harus bertemu langsung dengan orang. Tetapi entah kalau rapat itu senang-senang saja alias ngobrol tak jelas juntrungannya.

Mungkin aku cocoknya berteman dengan wajan, loyang, dan panci di dapur untuk menghasilkan sup atau kue bolu. Atau sibuk menakar minyak dan soda api supaya minyak bisa berkawan akrab dengan air dan menjadi sabun. Tetapi aku kadang pengen juga ketemu (sedikit) teman dan mengobrol sehingga menghangatkan hati yang rindu terhantam social distancing.

Sepotong Teks di Pagi Mendung

Ning kepada Tok

Mendung sejak pagi. Hatiku ikut murung. Aku mencoba mencari semangat dengan membuka akun media sosialmu. Kulihat ada beberapa video yang kamu buat. Tetapi sepertinya membuka akunmu itu bukan pilihan yang tepat. Aku seperti terhantam meteor rindu bertubi-tubi, sehingga aku malah ingin bergelung sambil menangis mengingat dirimu.

Kukirim teks pendek. “Apakah mencintaimu itu suatu kebodohan dan kesia-siaan, Mas Tok?”

Lama tak ada jawaban. Aku berpikir, kamu sudah memulai kesibukan. Jadi barangkali kiriman teks pendekku tak akan terbaca atau malah “nyrimpet-nyrimpeti” langkah. Tapi sesungguhnya aku hanya mencari rengkuhan hangatmu dari jauh.

Sarapan pagiku kulewati dengan sedikit tergesa karena aku terlalu lama di tempat tidur. Rapat daring akan segera dimulai dan pikiranku masih berkelana padamu. Tulisan yang harus kupresentasikan kubaca sekilas. Sementara itu otakku mulai meluncurkan kata-kata tentang dirimu. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang harusnya kusampaikan kepadamu tetapi sepertinya mandeg ketika sampai di mataku sehingga menimbulkan sumber air mata.

Aku tak tahu kenapa aku tercipta dengan otak yang memiliki jalan pikiran seperti ini. Yang membuat pikiranku rajin bergulir seputar tentang dirimu. Ingatan akan kenangan masa lalu bersamamu seperti berjalan beriringan dengan masa kini, tentang tepi hutan jati, tentang bulan yang mengintip dari balik awan, tentang genggaman sepanjang jalan ke Sendangsono, tentang berbatang-batang cokelat, tentang diary biru darimu dengan sepotong tulisan di halaman terdepan. Semua beriringan dengan beberapa tumpuk tugas tulisan yang harus kubuat, dengan laporan-laporan, dengan pesanan kue-kue yang mesti selesai akhir minggu, dengan setumpuk cucian, dengan urusan-urusan sepele sehari-hari yang tak pernah selesai.

Dorongan untuk menangis masih berdenyut di ujung mata.

Aku baru saja menyalakan laptop ketika kudengar pesan singkat masuk. “Tentu saja tidak bodoh dan sia-sia, Dik Ning.”

Mas Tok, rindu ini tak akan pernah selesai. Kamu tahu itu.

Di luar kulihat matahari sedikit menyembul. Seperti memberi secercah harapan.