Ning
Mas Tok, punya waktu semenit saja?
Kalimat itu kutulis di kotak pesan. Aku harap kamu merespons.
Beberapa kali aku mencoba menghubungimu. Aku ingin mendengar suaramu. Ya, aku bisa menyetel ulang videomu, tetapi bukan… bukan itu yang kumau. Aku ingin bicara denganmu. Kamu sebagai pribadi, yang menyapaku, bukan menyapa semua orang yang menyaksikanmu di dunia maya. Aku ingin dirimu yang nyata–walau lewat telepon nirkabel.
Kadang rindu ini seperti sebuah bongkahan yang bergelung di dada. Menyesakkan. Kadang pula seperti sebatang kayu yang menusuk-nusuk ulu hati, mengirimkan sinyal kepada air mata supaya tumpah.
Rindu ini tak boleh terlihat siapa pun. Hanya kamu yang boleh tahu. Karena sejuta umat akan menganggap ini tabu.
Mas Tok, sungguh kurindu. Tapi aku akan menanti pertemuan kita kembali dengan tabah menyusuri waktu. Sebulan, setengah tahun, atau beberapa tahun lagi? Aku tahu, harus setabah itu menanti. Penantian itu pasti akan berlalu lalu kita akan berjumpa membasuh rindu kembali.
Tok
Hari-hari yang padat. Kumampatkan rindu supaya semua terlihat baik-baik saja. Ning, aku pun ingin berbincang lagi, di tepi pantai seperti bulan lalu atau dalam ruangan yang hanya ada aku dan kamu. Kita berdua saja.
Ning
Tugas-tugas rumah tak ada habisnya. Di situlah kusembunyikan rindu.
Hei, lamat-lamat kudengar suara teleponku berdering.
– “Mas Tok! Aku kangen! Mas Tok sedang apa?”
+ Aku sedang sibuk-sibuknya ini, Dik.
– “Aku minta waktumu semenit saja.”
+ Aku maunya sih kita bertemu lama.
– “Ah, Mas ini! Mas Tok, sudah makan?”
+ Sudah dong. Tapi aku tidak makan banyak. Nanti gemuk.
– “Ah, ya betul. Aku selalu khawatir dengan gula darahmu. Jaga kesehatan, ya Mas. Mas Tok ada rencana ke Jawa?”
+ Ada. Tapi pandemi ini mesti jaga-jaga. Tak bisa sering-sering pergi.
– Kalau ke Jawa pun kadang kita tak bertemu. Aku membatin. “Kita akan bertemu lagi, Mas?”
+ Aku maunya kita bertemu. Seperti ketika dulu aku biasa menjumpaimu pagi hari, sebelum ke tempat kerja dan sekolahmu masuk siang.
Lalu aku teringat berbatang-batang cokelat darimu. Berkantong-kantong apel dan pir. Atau oleh-oleh lain kalau kamu pulang tugas.
– “Semua kaus darimu masih kusimpan, Mas Tok.” Kuraba kalung pemberianmu–sudah kupakai dua puluh tujuh tahun lebih.
+ Setelah sekian lama?
– “Ya, setelah sekian lama. Sebagian besar masih baik. Hanya sudah pudar warnanya. Tapi rinduku tidak pudar, Mas. Malah semakin dalam dan kuat.”
+ Dik, ada tugas yang sudah menungguku. Sudah dulu, ya.
– “Terima kasih atas waktumu, Mas!”
Tok
Tidakkah kau tahu, ku selalu mencari waktu ‘tuk bertemu denganmu…