Tahun 2023 Ngapain Aja?

Jujur saja, aku tidak terlalu rajin mencatat apa-apa yang kualami pada tahun ini. Jadi, ketika pada akhir tahun begini, aku agak sulit mengingat apa persisnya hal-hal penting yang kualami.

Yang paling kuingat adalah tahun ini aku mengerjakan proyek terjemahan lagu anak dari LooLoo Kids (Inggris-Indonesia) dan naskah cerita anakku yang berjudul Stroberi untuk Ratu Jani lolos GLN (Gerakan Literasi Nasional). Dua hal itu rasanya yang paling mencolok.

Proyek LooLoo Kids ini terbilang baru buatku. Tidak mudah menerjemahkan lagu-lagu anak, terutama aku mesti mempertimbangkan rima dan jumlah suku kata sehingga tetap enak dinyanyikan. Aku senang pihak pemberi kerja cukup puas dengan hasil kerjaku. Dan yang paling menyenangkan adalah soal honor. Sangat lumayan!

Tentang GLN, aku merasa beruntung sekali naskahku lolos, mengingat saingannya mencapai ribuan. Dulu aku pernah daftar GLN, dan gagal. Jadi, tahun ini berusaha menyusun naskahku matang-matang dan ndilalah berhasil. Workshop GLN di Jakarta rasanya seperti ngecas baterai. Ketemu teman-teman lama dan baru ternyata beneran nge-boost energi.

Tahun ini aku mengerjakan terjemahan buku rohani lagi. Yeay! Ini adalah salah satu doaku. Senang sekali rasanya aku bisa terlibat dan proyek penerjemahan buku rohani. Seperti kembali ke masa-masa awal aku mulai menerjemahkan buku duluuu.

Aku sempat mengerjakan terjemahan laporan proyek temanku dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Proyek ini temanya tentang daycare. Aku yang semula awam soal daycare jadi mulai sadar bahwa daycare sebenarnya suatu kebutuhan di masyarakat. Sayangnya hal ini sering dianggap tidak terlalu penting dan biayanya mahal. Diperlukan daycare yang lebih terjangkau biayanya, terutama untuk masyarakat dengan tingkat sosial rendah.

Hal lain yang perlu kucatat adalah tahun ini aku berusaha membangun kebiasaan berolahraga. Olahraga dulu adalah hal yang tidak masuk hitunganku. Tapi belakangan aku merasa, mau tak mau, aku harus olahraga supaya badan tetap fit.

Pada tahun ini ada beberapa kerabatku yang meninggal: Paklik Ismud, Pakde Yak, suami dan anaknya Mbak Yeti. Aku hanya datang melayat saat Lik Ismud meninggal. Itu pun aku tidak sempat melihat jenasahnya. Beliau sudah cukup lama sakit dan selama sakit dirawat di rumah Madiun.

Rasanya tidak terlalu banyak yang kukerjakan pada tahun 2023. Aku berharap tahun depan aku bisa mengerjakan lebih banyak hal.

Apa Nikmatnya Setrika?

Tadi pagi, di sebuah grup WA, ada yang mengeposkan foto anak perempuannya yang sedang berselancar saat bertugas di pulau yang berpantai cantik. Berwisata sambil bekerja. Ceritanya begitu.

Aku melihat postingan itu sekilas, sambil menyetrika timbunan baju bersih. Tumpukan baju ini setia betul padaku. Kalau dipikir-pikir, sepertinya menyetrika baju vs berwisata sambil bekerja itu tidak imbang. Seolah yang satu makan nasi goreng yang dimasak dari nasi kemarin, satunya lagi makan steak wagyu.

Dulu, sekian belas tahun silam, aku akan dengan mudah merasa tak berarti ketika melihat postingan demikian. Apalah artinya pekerjaan yang berkutat dengan tumpukan baju? Tidakkah jauh lebih bermakna, bergengsi, dan glamor mereka yang bekerja dengan setelan baju kantor, gincu, dan eye shadow warna nude? Atau mereka yang bisa berwisata sambil bekerja?

Namun, hari ini aku merasa aku baik-baik saja dan tidak mendadak merasa rendah diri. Pekerjaan rumahan juga penting. Dan berharga. Bahkan aku menikmati proses menyetrika. Dengan menyetrika aku bisa menghitung berkat-berkat yang kuterima, serta menyadari kemewahan yang kualami. Misalnya, berkat listrik aku bisa setrika kapan saja; berkat teknologi yang maju, setrikaan makin ringan; aku menyetrika baju orang-orang terdekatku ditemani kucingku yang suka merajuk. Pekerjaan menyetrika menjadi suatu pekerjaan yang bisa kunikmati dan aku sadar hal itu pasti memberi manfaat. Bukankah melakukan pekerjaan sederhana jika disertai dengan cinta juga akan menjadi berkat?

Jadi, walau menyetrika itu ibarat makan nasi goreng rumahan, tetap nikmat. Steak wagyu, ya pasti enak. Tapi nasi goreng, jika dimasak dengan aneka rempah, ditambah telor ceplok, selada, dan timun, serta dinikmati saat masih panas, pasti enak dong. Dan tergantung makan dengan siapa … begitu katanya.

Sebelas Menit Dua Puluh Tiga Detik

Aku setengah yakin bahwa angka 7 adalah angkaku. Maksudnya, aku suka angka 7. Rasanya pas saja dengan angka itu. Orang Jawa bilang angka 7 atau pitu bisa diartikan pitulungan.

Sepertinya hari ini, tanggal 7, adalah hari keberuntunganku.

“Mas Tok! Akhirnya kamu mengangkat teleponku.”
Kamu di mana, Dik?
“Di rumah. Mas Tok sendiri di mana?”

Mas Tok menyebut nama kota sejauh 4-5 jam perjalanan dari kotaku. Ah, cintaku kini tak berada di seberang pulau, tetapi masih ada jarak. Can we meet again, Dear?

“Mas, aku masih suka kangen. Tapi aku takut…”
Takut apa?
“Takut kau tinggal.”

Aku tahu jarak di antara kita bisa dengan mudah diseberangi, tetapi jauh lebih mudah tangan kita terlepas karena paksaan realita.

Sebelas menit berlalu kita bercakap. Kulepas rinduku. Kunikmati suara Mas Tok. Sebelas menit dua puluh tiga detik. Jika angka-angka itu dijumlah, tercapai pas angka 7.

Benar, kan? Angka 7 adalah angka keberuntunganku. Kuberuntung bertemu denganmu di udara.

Ikut Bazar, Apa Untung?

Kemarin aku ikut meramaikan bazar di gereja. Karena aku produksi sabun batang (handmade soap), yang kupajang tentu saja sabun.

Aku sudah tiga kali ikut bazar. Dari bazar pertama, aku sadar jualan sabun batang, sebagus apa pun, kurang menguntungkan. Sabunku nyaris tidak dilirik. Orang datang ke bazar rata-rata untuk beli makanan. Orang yang jualan makanan dan minuman biasanya kepayon alias laris manis. Apalagi yang jualan sembako murah, umumnya pulang tinggal bawa uang. Aku cuma melirik dengan berusaha pasang senyum “aku ra papa” pada ibu-ibu yang jualan jamu kunir asem dan tape singkong. Mereka sama sekali tidak tertandingi larisnya. Hahahaha.

Nah, pada kali kedua ikut jualan di bazar, aku jualan tahu bakso dan sambel pecel Madiun, sabun hanya sekadarnya dan aku sengaja bikin sabun yang murah–5 ribuan dan 10 ribuan. Aku bawa sabun yang harganya di atas 10 ribuan juga, tapi tetep yang paling laku sabun murah meriah itu. Tahu bakso buatanku laris. Sambel pecel juga lumayan laris.

Ketiga kalinya–bazar yang kemarin–aku cuma bawa sabun. Lho kok? Sudah tahu nggak bakal laku, kenapa cuma bawa sabun doang?

Aku sadar kemarin aku ikut memajang sabun lebih karena terdorong sifat enggak enakan. Waktu membungkusi sabun, aku sebenarnya mulai menyadari hal itu dan pengin membatalkan aja. Tapiii… ya gitu, sifat enggak enakanku gede banget. Ini gengsi atau apa sih? Embuh.

Jadi, ceritanya aku dicolek oleh salah satu panitia supaya aku ikut jualan sabun. Nebeng di lapak tim kategorial gereja. Di lapak ini jualannya barang kerajinan semua. Jadi, aku tidak bisa jualan makanan. Lagi pula, mejanya tidak terlalu besar. Aku mesti berbagi dengan 3 penjual lainnya. Kenapa tidak punya meja sendiri? Karena telat daftarnya dan tidak kebagian stand. Sebenarnya waktu bazar kedua dulu aku juga tidak jualan sendiri. Aku barengan 2 ibu lain, dan mereka berdua jualan makanan. Jadilah aku ikut jualan makanan juga. Sabun itu hanya tambahan.

Aku merasa agak buang-buang waktu kemarin. Saat aku merasa “I have to do something” ketimbang bengong nungguin jualan, aku merasa aku perlu ikut misa. Jualanku bisa kutitipkan ke salah satu ibu yang semeja denganku. Aku ikut misa yang jam 18.30. Untung banget aku ikut misa yang jam segitu, karena aku bisa masuk gereja lebih awal. (Ya, iyalah kan aku aku sudah ada di halaman gereja sejak pukul 16. Jadi, aku bisa masuk gereja 20 menit sebelum misa dimulai. Sungguh, ini suatu pencapaian buatku yang sering buru-buru masuk gereja hanya beberapa menit sebelum misa mulai.) Gereja masih sepi. Bangku-bangku banyak yang kosong. Aku bisa memilih bangku sesukaku. Karena aku kurang suka duduk depan, aku pilih bangku tengah. Aku bisa hening cukup lama sebelum misa dan sebelum umat berdatangan. Nikmat banget.

Ketika hening, banyak pikiran berlompatan. Aku berusaha mengamati saja–walau kadang terhanyut. Ada 1-2 pikiran yang sudah lama bercokol di kepala dan aku tahu betul itu. Ada yang bikin termelow-melow (dasar melakolis!), ada bikin kesel, dan ya … aku jadi sadar betul, keikutsertaanku di bazar kemarin itu karena aku beneran enggak enak. Aku sudah dicolek oleh seorang panitia. Dia mendorongku ikut bazar. Dan ini adalah colekan kedua. (Dulu oleh ibu yang lain, tapi kurang lebih samalah.) Jadi, ya … begitulah ceritanya. Sifat enggak enakanku ini masih gede rupanya. Padahal aku merasa sudah enggak gitu-gitu amat. Eiy, tapi kok masih cukup jadi dorongan yang besar ya? What happened aya naon, teh? Kenapa bisa begitu?

Bacaan misa kemarin adalah soal “berjaga-jaga”. Aku mengartikan berjaga-jaga ini berkaitan dengan kesadaran (mindfulness dan awareness). Kurasa sudah tepat aku menghadiri misa di tengah-tengah ikut bazar kemarin. Aku punya waktu hening dan aku menyadari hal-hal yang selama ini seolah tersembunyi, yang tidak ada kaitannya dengan alam sadarku.

Pelajaran inilah yang kupetik kemarin. Aku memutuskan tidak ikut bazar hari kedua. Pertama karena aku merasa jualan sabun saat bazar gereja itu kurang menguntungkan. (Lain kali, mesti cepet daftar bazar dan bisa jualan makanan.) Kalau mau terlihat dan menarik perhatian, mesti bawa sabun yang banyaaak! Entah kapan aku bisa produksi sabun buanyak banget karena aku masih memilih mengerjakan terjemahan. Tetapi kurasa bazar gereja memang bukan tempatnya untuk promosi sabun. Pasarnya beda. Kedua karena aku sakit tenggorokan. Meski enggak parah, tapi kurasa istirahat di rumah dan makan sup serta bubur adalah pilihan yang lebih baik.

Jualan sabun di bazar gereja memang kurang menguntungkan, tapi kemarin aku memetik pelajaran penting untuk diriku pribadi.