“Aku duluan, Ning!”
Aku menoleh lalu mengangguk. Wini melambaikan tangan dan tersenyum lebar.
“Laporanmu sudah selesai?” tanyaku.
Perempuan berambut ekor kuda itu mengangguk tegas. “Sorry, kutinggal pulang duluan. Anakku sudah beberapa kali menelepon.” Kubalas pamitannya dengan tawa kecil. “Tak apa. Pulanglah. Aku sudah biasa jadi juru kunci.”
Kulirik jam tanganku. Hampir pukul setengah enam. Dari jendela sebelah meja kulihat langit telah berwarna jingga. Cepat sekali waktu berlalu. Laporanku belum selesai, tinggal sedikit lagi. Tapi bukan itu yang penting. Aku masih bisa berlama-lama di kantor. Sudah biasa. Toh kosku dekat kantor. Tinggal jalan kaki, lima belas menit sampai. Yang penting adalah ini adalah saat aku bisa sendirian di ruangan ini. Dorongan yang sejak tadi kurasakan semakin kuat. Dengan gerakan otomatis, kukeluarkan telepon pintarku dari kantongnya. Kutelusuri nama yang ada di urutan kontak nomor delapan dari atas, dengan angka belakang 75. Dadaku berdebar. Kurasakan napasku memburu. Benarkah ini saat yang tepat?
Jika aku terlalu terburu-buru, biasanya akan meleset. Kuletakkan lagi teleponku. Kuatur napas pelan-pelan. Dengan mengatur napas, aku seolah bisa menjangkau ruang dan waktu yang entah ada di mana. Mungkin ini tak bisa dipercaya, tapi biasanya nyaris benar begitu. Jika napasku sudah tenang, aku bisa bertanya kepada hatiku: Apakah ini saat yang tepat untuk menghubunginya? Apakah dia sedang di tengah-tengah rapat? Apakah dia sedang menyetir? Apakah dia sedang bersama teman-temannya? Kutanyakan itu semua. Tak ada jawaban. Hanya saja ketika kembali kutelusuri nomor itu, hatiku terasa tenang. Tak ada riak. Tak ada gejolak.
Tuuuut…. Nada panggil pertama.
Tuuuut…. Nada panggil kedua.
Apakah dia sedang ada tamu? Apakah dia masih rapat?
Hatiku masih tak beriak.
Tuuuut….
Aku mulai goyah. Biasanya dia cepat menjawab jika tidak sibuk.
Drrt... terasa getaran. “Halo, Dik Ning?” Suara itu begitu melegakan. Seperti gelombang halus menjalar ke hati. Seperti pelukan yang menghangatkan. Selalu begitu.
“Ya, Mas Tok. Ini Ning. Mas Tok sibuk?”
….
Hatiku tidak pernah salah. Aku tahu ini memang saat yang tepat. Senja ini aku tahu waktumu ada untukku.