Apa Nikmatnya Setrika?

Tadi pagi, di sebuah grup WA, ada yang mengeposkan foto anak perempuannya yang sedang berselancar saat bertugas di pulau yang berpantai cantik. Berwisata sambil bekerja. Ceritanya begitu.

Aku melihat postingan itu sekilas, sambil menyetrika timbunan baju bersih. Tumpukan baju ini setia betul padaku. Kalau dipikir-pikir, sepertinya menyetrika baju vs berwisata sambil bekerja itu tidak imbang. Seolah yang satu makan nasi goreng yang dimasak dari nasi kemarin, satunya lagi makan steak wagyu.

Dulu, sekian belas tahun silam, aku akan dengan mudah merasa tak berarti ketika melihat postingan demikian. Apalah artinya pekerjaan yang berkutat dengan tumpukan baju? Tidakkah jauh lebih bermakna, bergengsi, dan glamor mereka yang bekerja dengan setelan baju kantor, gincu, dan eye shadow warna nude? Atau mereka yang bisa berwisata sambil bekerja?

Namun, hari ini aku merasa aku baik-baik saja dan tidak mendadak merasa rendah diri. Pekerjaan rumahan juga penting. Dan berharga. Bahkan aku menikmati proses menyetrika. Dengan menyetrika aku bisa menghitung berkat-berkat yang kuterima, serta menyadari kemewahan yang kualami. Misalnya, berkat listrik aku bisa setrika kapan saja; berkat teknologi yang maju, setrikaan makin ringan; aku menyetrika baju orang-orang terdekatku ditemani kucingku yang suka merajuk. Pekerjaan menyetrika menjadi suatu pekerjaan yang bisa kunikmati dan aku sadar hal itu pasti memberi manfaat. Bukankah melakukan pekerjaan sederhana jika disertai dengan cinta juga akan menjadi berkat?

Jadi, walau menyetrika itu ibarat makan nasi goreng rumahan, tetap nikmat. Steak wagyu, ya pasti enak. Tapi nasi goreng, jika dimasak dengan aneka rempah, ditambah telor ceplok, selada, dan timun, serta dinikmati saat masih panas, pasti enak dong. Dan tergantung makan dengan siapa … begitu katanya.

Leave a comment