Mencari Lembaran Kenangan Lama

Hari ini rasanya ibarat jamu dengan rasa getir, agak pahit, pedas, tapi bukan yang sama sekali tidak bisa ditelan.

Jadi, tadi tuh aku ikut Wiwit dan Maya yang mau ke Ngasem dan mengantar belanja buat Io dan Rika. Sampai di Ngasem, Ibu telepon: “Bisa nggak cariin KTP-nya Lik Yem di rumah Pakel?”

He?

Lik Yem itu sudah meninggal beberapa tahun lalu–rasanya lebih dari 5 tahun. Tak ada yang ingat persisnya dia meninggal. Lalu sekarang mesti mencari KTP-nya? Di rumah Pakel pula. Rumah itu sudah hampir roboh, tidak dihuni bertahun-tahun. Lalu sekarang mesti mencari selembar KTP di antara tumpukan rongsokan?

Kurasa Ibu bercanda. Tapi ini sungguhan. Katanya KTP itu diperlukan untuk membuat akta kematian, yang nantinya diperlukan untuk mengurus warisan Lik Papuk, suaminya (yang berupa sawah).

Singkat kata, aku dan Wiwit memutuskan ke rumah Pakel. Untuk masuk ke sana, kupikir butuh kunci yang kurasa dipegang Pakde. Ternyata Pakde tidak pegang kunci dan dia mau ikut ke rumah Pakel! Fyi, Pakde ini sudah tunak-tunuk jalannya. Ke mana-mana mesti dituntun. Seperti siput yang suka mengeluh. Buatku dia orang tua yang sungguh menguji kesabaran.

Baik. Akhirnya kami ke Pakel bersama Pakde. Tapi Pakde cuma nunggu di luar. Lagian susah juga kalau mengajaknya masuk kalau jalan saja Pakde harus dituntun. Sumpah, rumah Lik Papuk itu seperti buntelan rongsokan berupa rumah yang nyaris roboh.

Masuk ke sana, kami membuka lemari. Isinya baju-baju. Tak ada KTP yang dicari. Di meja yang debunya kira-kira 10 senti, hanya ada barang-barang tak jelas. Piring, gelas, rak, amben, kursi, ember … semua diselimuti debu. Seperti masuk rumah hantu siang bolong. Bau rumah itu mirip WC tikus. Kami hanya menemukan KK Lik Papuk dan dua lembar foto Lik Yem dan Lik Papuk.

Lik Papuk meninggalkan rumahnya tanpa sempat beres-beres. Semua ditinggal begitu saja. Dia berencana akan nyekar di Bometen (Klaten) naik sepeda dari Pakel, tapi dia jatuh dari sepeda dan yah … semua harus ditinggalkan. Dia pikir dia masih bisa kembali ke rumahnya. Tapi waktu itu dia kecelakaan, lalu masuk RS, dan akhirnya tinggal di Madiun dirawat Ibuk (dan Bapak).

Rasanya nggrantes juga melihat kondisi rumah Pakel. Dulu aku sangat suka rumah itu. Ada kebun, ada teras yang nyaman untuk duduk-duduk pagi dan sore hari. Semua tampak terang dan nyaman. Enak lah. Tapi sekarang semua itu sudah banyak berubah. Rumah utama sudah direnovasi dan dikontrakkan. Tapi rumah Lik Papuk yang satu halaman dengan rumah utama, kini tak berbentuk rumah lagi.

Di sisi lain, aku melihat penurunan kondisi Pakde Dar. Pakde sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Rasanya dia semacam rumah yang hampir roboh. Tinggal menunggu waktu.

Dunia ini seperti itu ya. Pada akhirnya semua akan berlalu. Entah berlalu dengan senyuman atau menggoreskan rasa getir.

Sepetak tanah yang dulu dibeli dengan susah payah oleh Simbah, sebagian kini tak jelas bentuknya. Mbah Kung, Mbah Putri … semoga beristirahat dalam ketenteraman, ya. Baru kali ini aku menyadari satu per satu beranjak pergi.

Leave a comment