Kenapa Sabun (Cold Process) Tetap Lembek?

Kemarin seseorang mengontakku lewat pesan pribadi di IG. Dia sedang membuat sabun dan gagal, katanya sabunnya lembek padahal sudah didiamkan satu minggu, tapi masih lembek.

Apakah aku pernah mengalaminya? Pernah. Rasanya rugi bangeeet! Dan kesel. Ya, tapi itu adalah bagian dari belajar. Kalau enggak gitu, aku nggak akan tahu kesalahanku.

Nah, apa yang perlu diperhatikan supaya sabun cold process yang kita buat tidak lembek?

Pertama, lihat takarannya. Apakah kita sudah menakar bahan dengan benar? Salah takaran, bisa gagal.

Salah satu alat penting yang dipakai dalam pembuatan sabun adalah timbangan digital. Dengan timbangan ini, kita bisa presisi dalam menyiapkan bahan.

Boleh pakai kira-kira atau pakai takaran sendok nggak?

Tidak. Kalau tidak mau gagal, pakailah timbangan digital. Bahan-bahan sabun itu biasanya angkanya tidak bulat. Kalau tidak punya timbangan digital, cobalah pinjam atau beli yang murah di marketplace. Ada kok yang di bawah 50 ribu.

Kedua, perhatikan minyak yang kita gunakan. Kalau banyak soft oilnya (misalnya: minyak zaitun), sabun akan cenderung lunak. Untuk pemula, aku sarankan tidak usah pakai soft oil banyak-banyak. Sekitar 10-20% dari total minyak saja sudah cukup, ya. Kalau sudah 1-2 kali berhasil membuat sabun, silakan pakai soft oil lebih banyak. Untuk belajar, bisa kok pakai 1 atau 2 jenis minyak saja. Kalau ada orang yang mau belajar bikin sabun denganku, biasanya aku mengajari/menunjukkan pembuatan sabun dari minyak kelapa murni. Selain bahannya murah, sabun ini cepat mengeras dan orang akan lebih cepat paham proses pembuatan sabun.

Oiya, untuk membuat sabun, yang dipakai itu bukan minyak zaitun yang untuk pijat ya. Bukan minyak zaitun dengan merek Mustika Ratu, Sariayu, dll. Pakai minyak yang buat masak saja; yang murni minyak zaitun. Ada yang extra virgin, ada yang pomace … terserah mau pakai yang apa, dari merek apa pun boleh.

Ketiga, pastikan soda api yang dipakai kondisinya masih baik. Ini penting banget. Aku pernah pakai soda api yang sudah terlalu lama disimpan, ternyata bikin sabunku lembek. Sabunnya jadi sih, tapi tidak sesuai harapanku, dan lama banget bisa dikeluarkan dari cetakan. Ribet deh pokoknya.

Keempat, setia ikuti resep. Kalau di resep bilang pakai akuades, ya pakai akuades aja, jangan pakai air PAM.

Ini kukasih contekan resep sabun sederhana, hanya pakai dua jenis minyak yang mudah didapat.

Air (akuades) 76 gr
NaOH 31 gr
Minyak kelapa 100 gr
Minyak sawit 100 gr

Cara membuat:

  1. Masukkan NaOH dalam air. Aduk sampai benar-benar larut. Tunggu sampai suhu ruang.
  2. Siapkan wadah lalu timbang minyak sesuai resep.
  3. Masukkan larutan soda api yang (sudah bersuhu ruang) ke dalam minyak lalu aduk menggunakan hand blender. Pakai whisk juga bisa, tapi biasanya lebih lama untuk mencapai trace (kental berjejak).
  4. Masukkan adonan sabun yang sudah mencapai trace ke dalam cetakan.

Catatan:
Jangan pakai alat yang berbahan aluminium. Pakailah alat berbahan plastik atau stainless steel.
Untuk cetakan, pakai cetakan dari silikon agar sabun lebih mudah dikeluarkan saat sudah jadi. Kalau tidak punya cetakan silikon, bisa pakai nampan yang sudah dialasi plastik.

Sabun bisa dipakai setelah didiamkan selama kurang lebih 1 bulan di tempat yang berventilasi baik.

Biar Nggak Baperan di Tempat Kerja

Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang teman. Obrolannya panjang lebar, tidak semua kuingat. Tapi ada satu hal yang kuingat dan rasanya ini perlu kutulis supaya aku nggak lupa.

Begini, dia cerita bahwa dia tidak baperan di tempat kerja. Bahkan kalau ada orang yang tidak suka atau tidak cocok dengannya.

Kok bisa?

Dia bilang, secara pribadi kita boleh tidak cocok. Tapi kalau urusan kerja, fokusnya adalah bagaimana kita bisa berkontribusi pada perusahaan agar perusahaan tempat kita bekerja bisa lebih maju. Tidak hanya sekadar dapat gaji, tapi berkontribusi. Ini yang sering tidak ada dalam benak para karyawan.

Aku lalu ingat cerita yang disampaikan salah seorang senior di kantorku dulu. Ada dua orang pekerja bangunan yang sedang memasang bata. Orang pertama bekerja asal-asalan karena merasa mengerjakan hal yang membosankan. Orang kedua bekerja penuh semangat karena dia tahu yang dia bangun ini adalah sekolah. Orang yang kedua ini senang karena ia merasa berkontribusi. Dia tahu, di sekolah ini kelak anaknya sekolah. Jadi, dia memasang bata sebaik mungkin.

Kontribusi. Satu kata itu yang sering juga terlewat dari benakku.

Ketika kita sadar bahwa pekerjaan yang kita lakukan ini adalah usaha kita untuk berkontribusi bagi kemajuaan perusahaan, kita bisa menyisihkan rasa baper saat ada orang yang tidak cocok dengan kita. Kalau perusahaan maju, kita pun akan ikut menikmati hasilnya.

Balik ke temanku tadi. Dia bilang, kita perlu berlatih mengendalikan emosi. Emosi itu bisa menguras energi. Gunakan energi kita untuk hal yang penting-penting saja dan untuk relasi yang lebih berharga, misalnya, untuk keluarga kita.

“Pikir dulu sebelum memberikan reaksi,” ujarnya.

“Maksudnya, bersikap proaktif, ya?”

Dia mengiyakan. Mengembangkan sikap proaktif akan memberi kita kekuatan untuk memilih dan memberikan respons yang lebih bijak.

Kamu bisa? Aku masih harus banyak belajar. Aku masih sering reaktif rasanya sih. Dengan menyadari sikap reaktif, ini sudah satu langkah maju, kan? 😀

Mencari Lembaran Kenangan Lama

Hari ini rasanya ibarat jamu dengan rasa getir, agak pahit, pedas, tapi bukan yang sama sekali tidak bisa ditelan.

Jadi, tadi tuh aku ikut Wiwit dan Maya yang mau ke Ngasem dan mengantar belanja buat Io dan Rika. Sampai di Ngasem, Ibu telepon: “Bisa nggak cariin KTP-nya Lik Yem di rumah Pakel?”

He?

Lik Yem itu sudah meninggal beberapa tahun lalu–rasanya lebih dari 5 tahun. Tak ada yang ingat persisnya dia meninggal. Lalu sekarang mesti mencari KTP-nya? Di rumah Pakel pula. Rumah itu sudah hampir roboh, tidak dihuni bertahun-tahun. Lalu sekarang mesti mencari selembar KTP di antara tumpukan rongsokan?

Kurasa Ibu bercanda. Tapi ini sungguhan. Katanya KTP itu diperlukan untuk membuat akta kematian, yang nantinya diperlukan untuk mengurus warisan Lik Papuk, suaminya (yang berupa sawah).

Singkat kata, aku dan Wiwit memutuskan ke rumah Pakel. Untuk masuk ke sana, kupikir butuh kunci yang kurasa dipegang Pakde. Ternyata Pakde tidak pegang kunci dan dia mau ikut ke rumah Pakel! Fyi, Pakde ini sudah tunak-tunuk jalannya. Ke mana-mana mesti dituntun. Seperti siput yang suka mengeluh. Buatku dia orang tua yang sungguh menguji kesabaran.

Baik. Akhirnya kami ke Pakel bersama Pakde. Tapi Pakde cuma nunggu di luar. Lagian susah juga kalau mengajaknya masuk kalau jalan saja Pakde harus dituntun. Sumpah, rumah Lik Papuk itu seperti buntelan rongsokan berupa rumah yang nyaris roboh.

Masuk ke sana, kami membuka lemari. Isinya baju-baju. Tak ada KTP yang dicari. Di meja yang debunya kira-kira 10 senti, hanya ada barang-barang tak jelas. Piring, gelas, rak, amben, kursi, ember … semua diselimuti debu. Seperti masuk rumah hantu siang bolong. Bau rumah itu mirip WC tikus. Kami hanya menemukan KK Lik Papuk dan dua lembar foto Lik Yem dan Lik Papuk.

Lik Papuk meninggalkan rumahnya tanpa sempat beres-beres. Semua ditinggal begitu saja. Dia berencana akan nyekar di Bometen (Klaten) naik sepeda dari Pakel, tapi dia jatuh dari sepeda dan yah … semua harus ditinggalkan. Dia pikir dia masih bisa kembali ke rumahnya. Tapi waktu itu dia kecelakaan, lalu masuk RS, dan akhirnya tinggal di Madiun dirawat Ibuk (dan Bapak).

Rasanya nggrantes juga melihat kondisi rumah Pakel. Dulu aku sangat suka rumah itu. Ada kebun, ada teras yang nyaman untuk duduk-duduk pagi dan sore hari. Semua tampak terang dan nyaman. Enak lah. Tapi sekarang semua itu sudah banyak berubah. Rumah utama sudah direnovasi dan dikontrakkan. Tapi rumah Lik Papuk yang satu halaman dengan rumah utama, kini tak berbentuk rumah lagi.

Di sisi lain, aku melihat penurunan kondisi Pakde Dar. Pakde sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Rasanya dia semacam rumah yang hampir roboh. Tinggal menunggu waktu.

Dunia ini seperti itu ya. Pada akhirnya semua akan berlalu. Entah berlalu dengan senyuman atau menggoreskan rasa getir.

Sepetak tanah yang dulu dibeli dengan susah payah oleh Simbah, sebagian kini tak jelas bentuknya. Mbah Kung, Mbah Putri … semoga beristirahat dalam ketenteraman, ya. Baru kali ini aku menyadari satu per satu beranjak pergi.

Prestasi-Prestasi Kecil

Hari ini aku bisa bangun pagi sebelum jam 5. Hebat. Ini prestasi buatku, mengingat aku sering melanjutkan tidur meskipun tahu hari sudah pagi. Dan hari ini aku berangkat misa harian. Sungguh hal yang patut diapresiasi. (Sebetulnya aku pengin misa di Banteng–sesuai dengan paroki tempat aku tinggal, atau bahkan ke Kotabaru. Tapi karena gereja Minomartani lebih dekat dari rumah, aku akhirnya ke Minomartani saja.)

Hari ini aku bikin nasi kuning. Sudah beberapa hari ini aku berangan-angan bikin nasi kuning. Tapi kupikir, hari ini hari yang pas untuk bikin nasi kuning. Rasanya pas aja. My heart told me so. Jadi, aku bikin. Dan aku menambahkan urap untuk nasi kuningku. Mungkin agak tidak biasa ya. Rata-rata “teman” nasi kuning itu kering tempe, abon, telur. Karena aku pengin makan sayur yang boanyaaak … aku bikin urap. Tempe kugoreng saja–demi praktisnya. Ini prestasi kedua. Lumayan kan.

Oiya, hari ini aku nyaris tidak ngemil. Kalau bisa begini kira-kira setahun, mestinya aku bisa lebih kurus ya. 😀 😀

Apa prestasimu hari ini?

Tahun 2023 Ngapain Aja?

Jujur saja, aku tidak terlalu rajin mencatat apa-apa yang kualami pada tahun ini. Jadi, ketika pada akhir tahun begini, aku agak sulit mengingat apa persisnya hal-hal penting yang kualami.

Yang paling kuingat adalah tahun ini aku mengerjakan proyek terjemahan lagu anak dari LooLoo Kids (Inggris-Indonesia) dan naskah cerita anakku yang berjudul Stroberi untuk Ratu Jani lolos GLN (Gerakan Literasi Nasional). Dua hal itu rasanya yang paling mencolok.

Proyek LooLoo Kids ini terbilang baru buatku. Tidak mudah menerjemahkan lagu-lagu anak, terutama aku mesti mempertimbangkan rima dan jumlah suku kata sehingga tetap enak dinyanyikan. Aku senang pihak pemberi kerja cukup puas dengan hasil kerjaku. Dan yang paling menyenangkan adalah soal honor. Sangat lumayan!

Tentang GLN, aku merasa beruntung sekali naskahku lolos, mengingat saingannya mencapai ribuan. Dulu aku pernah daftar GLN, dan gagal. Jadi, tahun ini berusaha menyusun naskahku matang-matang dan ndilalah berhasil. Workshop GLN di Jakarta rasanya seperti ngecas baterai. Ketemu teman-teman lama dan baru ternyata beneran nge-boost energi.

Tahun ini aku mengerjakan terjemahan buku rohani lagi. Yeay! Ini adalah salah satu doaku. Senang sekali rasanya aku bisa terlibat dan proyek penerjemahan buku rohani. Seperti kembali ke masa-masa awal aku mulai menerjemahkan buku duluuu.

Aku sempat mengerjakan terjemahan laporan proyek temanku dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Proyek ini temanya tentang daycare. Aku yang semula awam soal daycare jadi mulai sadar bahwa daycare sebenarnya suatu kebutuhan di masyarakat. Sayangnya hal ini sering dianggap tidak terlalu penting dan biayanya mahal. Diperlukan daycare yang lebih terjangkau biayanya, terutama untuk masyarakat dengan tingkat sosial rendah.

Hal lain yang perlu kucatat adalah tahun ini aku berusaha membangun kebiasaan berolahraga. Olahraga dulu adalah hal yang tidak masuk hitunganku. Tapi belakangan aku merasa, mau tak mau, aku harus olahraga supaya badan tetap fit.

Pada tahun ini ada beberapa kerabatku yang meninggal: Paklik Ismud, Pakde Yak, suami dan anaknya Mbak Yeti. Aku hanya datang melayat saat Lik Ismud meninggal. Itu pun aku tidak sempat melihat jenasahnya. Beliau sudah cukup lama sakit dan selama sakit dirawat di rumah Madiun.

Rasanya tidak terlalu banyak yang kukerjakan pada tahun 2023. Aku berharap tahun depan aku bisa mengerjakan lebih banyak hal.

Apa Nikmatnya Setrika?

Tadi pagi, di sebuah grup WA, ada yang mengeposkan foto anak perempuannya yang sedang berselancar saat bertugas di pulau yang berpantai cantik. Berwisata sambil bekerja. Ceritanya begitu.

Aku melihat postingan itu sekilas, sambil menyetrika timbunan baju bersih. Tumpukan baju ini setia betul padaku. Kalau dipikir-pikir, sepertinya menyetrika baju vs berwisata sambil bekerja itu tidak imbang. Seolah yang satu makan nasi goreng yang dimasak dari nasi kemarin, satunya lagi makan steak wagyu.

Dulu, sekian belas tahun silam, aku akan dengan mudah merasa tak berarti ketika melihat postingan demikian. Apalah artinya pekerjaan yang berkutat dengan tumpukan baju? Tidakkah jauh lebih bermakna, bergengsi, dan glamor mereka yang bekerja dengan setelan baju kantor, gincu, dan eye shadow warna nude? Atau mereka yang bisa berwisata sambil bekerja?

Namun, hari ini aku merasa aku baik-baik saja dan tidak mendadak merasa rendah diri. Pekerjaan rumahan juga penting. Dan berharga. Bahkan aku menikmati proses menyetrika. Dengan menyetrika aku bisa menghitung berkat-berkat yang kuterima, serta menyadari kemewahan yang kualami. Misalnya, berkat listrik aku bisa setrika kapan saja; berkat teknologi yang maju, setrikaan makin ringan; aku menyetrika baju orang-orang terdekatku ditemani kucingku yang suka merajuk. Pekerjaan menyetrika menjadi suatu pekerjaan yang bisa kunikmati dan aku sadar hal itu pasti memberi manfaat. Bukankah melakukan pekerjaan sederhana jika disertai dengan cinta juga akan menjadi berkat?

Jadi, walau menyetrika itu ibarat makan nasi goreng rumahan, tetap nikmat. Steak wagyu, ya pasti enak. Tapi nasi goreng, jika dimasak dengan aneka rempah, ditambah telor ceplok, selada, dan timun, serta dinikmati saat masih panas, pasti enak dong. Dan tergantung makan dengan siapa … begitu katanya.

Sebelas Menit Dua Puluh Tiga Detik

Aku setengah yakin bahwa angka 7 adalah angkaku. Maksudnya, aku suka angka 7. Rasanya pas saja dengan angka itu. Orang Jawa bilang angka 7 atau pitu bisa diartikan pitulungan.

Sepertinya hari ini, tanggal 7, adalah hari keberuntunganku.

“Mas Tok! Akhirnya kamu mengangkat teleponku.”
Kamu di mana, Dik?
“Di rumah. Mas Tok sendiri di mana?”

Mas Tok menyebut nama kota sejauh 4-5 jam perjalanan dari kotaku. Ah, cintaku kini tak berada di seberang pulau, tetapi masih ada jarak. Can we meet again, Dear?

“Mas, aku masih suka kangen. Tapi aku takut…”
Takut apa?
“Takut kau tinggal.”

Aku tahu jarak di antara kita bisa dengan mudah diseberangi, tetapi jauh lebih mudah tangan kita terlepas karena paksaan realita.

Sebelas menit berlalu kita bercakap. Kulepas rinduku. Kunikmati suara Mas Tok. Sebelas menit dua puluh tiga detik. Jika angka-angka itu dijumlah, tercapai pas angka 7.

Benar, kan? Angka 7 adalah angka keberuntunganku. Kuberuntung bertemu denganmu di udara.

Ikut Bazar, Apa Untung?

Kemarin aku ikut meramaikan bazar di gereja. Karena aku produksi sabun batang (handmade soap), yang kupajang tentu saja sabun.

Aku sudah tiga kali ikut bazar. Dari bazar pertama, aku sadar jualan sabun batang, sebagus apa pun, kurang menguntungkan. Sabunku nyaris tidak dilirik. Orang datang ke bazar rata-rata untuk beli makanan. Orang yang jualan makanan dan minuman biasanya kepayon alias laris manis. Apalagi yang jualan sembako murah, umumnya pulang tinggal bawa uang. Aku cuma melirik dengan berusaha pasang senyum “aku ra papa” pada ibu-ibu yang jualan jamu kunir asem dan tape singkong. Mereka sama sekali tidak tertandingi larisnya. Hahahaha.

Nah, pada kali kedua ikut jualan di bazar, aku jualan tahu bakso dan sambel pecel Madiun, sabun hanya sekadarnya dan aku sengaja bikin sabun yang murah–5 ribuan dan 10 ribuan. Aku bawa sabun yang harganya di atas 10 ribuan juga, tapi tetep yang paling laku sabun murah meriah itu. Tahu bakso buatanku laris. Sambel pecel juga lumayan laris.

Ketiga kalinya–bazar yang kemarin–aku cuma bawa sabun. Lho kok? Sudah tahu nggak bakal laku, kenapa cuma bawa sabun doang?

Aku sadar kemarin aku ikut memajang sabun lebih karena terdorong sifat enggak enakan. Waktu membungkusi sabun, aku sebenarnya mulai menyadari hal itu dan pengin membatalkan aja. Tapiii… ya gitu, sifat enggak enakanku gede banget. Ini gengsi atau apa sih? Embuh.

Jadi, ceritanya aku dicolek oleh salah satu panitia supaya aku ikut jualan sabun. Nebeng di lapak tim kategorial gereja. Di lapak ini jualannya barang kerajinan semua. Jadi, aku tidak bisa jualan makanan. Lagi pula, mejanya tidak terlalu besar. Aku mesti berbagi dengan 3 penjual lainnya. Kenapa tidak punya meja sendiri? Karena telat daftarnya dan tidak kebagian stand. Sebenarnya waktu bazar kedua dulu aku juga tidak jualan sendiri. Aku barengan 2 ibu lain, dan mereka berdua jualan makanan. Jadilah aku ikut jualan makanan juga. Sabun itu hanya tambahan.

Aku merasa agak buang-buang waktu kemarin. Saat aku merasa “I have to do something” ketimbang bengong nungguin jualan, aku merasa aku perlu ikut misa. Jualanku bisa kutitipkan ke salah satu ibu yang semeja denganku. Aku ikut misa yang jam 18.30. Untung banget aku ikut misa yang jam segitu, karena aku bisa masuk gereja lebih awal. (Ya, iyalah kan aku aku sudah ada di halaman gereja sejak pukul 16. Jadi, aku bisa masuk gereja 20 menit sebelum misa dimulai. Sungguh, ini suatu pencapaian buatku yang sering buru-buru masuk gereja hanya beberapa menit sebelum misa mulai.) Gereja masih sepi. Bangku-bangku banyak yang kosong. Aku bisa memilih bangku sesukaku. Karena aku kurang suka duduk depan, aku pilih bangku tengah. Aku bisa hening cukup lama sebelum misa dan sebelum umat berdatangan. Nikmat banget.

Ketika hening, banyak pikiran berlompatan. Aku berusaha mengamati saja–walau kadang terhanyut. Ada 1-2 pikiran yang sudah lama bercokol di kepala dan aku tahu betul itu. Ada yang bikin termelow-melow (dasar melakolis!), ada bikin kesel, dan ya … aku jadi sadar betul, keikutsertaanku di bazar kemarin itu karena aku beneran enggak enak. Aku sudah dicolek oleh seorang panitia. Dia mendorongku ikut bazar. Dan ini adalah colekan kedua. (Dulu oleh ibu yang lain, tapi kurang lebih samalah.) Jadi, ya … begitulah ceritanya. Sifat enggak enakanku ini masih gede rupanya. Padahal aku merasa sudah enggak gitu-gitu amat. Eiy, tapi kok masih cukup jadi dorongan yang besar ya? What happened aya naon, teh? Kenapa bisa begitu?

Bacaan misa kemarin adalah soal “berjaga-jaga”. Aku mengartikan berjaga-jaga ini berkaitan dengan kesadaran (mindfulness dan awareness). Kurasa sudah tepat aku menghadiri misa di tengah-tengah ikut bazar kemarin. Aku punya waktu hening dan aku menyadari hal-hal yang selama ini seolah tersembunyi, yang tidak ada kaitannya dengan alam sadarku.

Pelajaran inilah yang kupetik kemarin. Aku memutuskan tidak ikut bazar hari kedua. Pertama karena aku merasa jualan sabun saat bazar gereja itu kurang menguntungkan. (Lain kali, mesti cepet daftar bazar dan bisa jualan makanan.) Kalau mau terlihat dan menarik perhatian, mesti bawa sabun yang banyaaak! Entah kapan aku bisa produksi sabun buanyak banget karena aku masih memilih mengerjakan terjemahan. Tetapi kurasa bazar gereja memang bukan tempatnya untuk promosi sabun. Pasarnya beda. Kedua karena aku sakit tenggorokan. Meski enggak parah, tapi kurasa istirahat di rumah dan makan sup serta bubur adalah pilihan yang lebih baik.

Jualan sabun di bazar gereja memang kurang menguntungkan, tapi kemarin aku memetik pelajaran penting untuk diriku pribadi.

Pelan-Pelan Jadi Nontunai

Aku punya kartu Flazz BCA ketika masih di Jakarta. Waktu itu aku ditawari teman yang bekerja di BCA. Aku langsung mengiyakan saja karena aku merasa bakal sering pakai. Aku beberapa kali memakai kartu nontunai milik BCA ini untuk belanja di supermarket. Lumayan membantu rasanya memakai kartu ini karena bisa dipakai belanja yang habisnya tidak terlalu banyak (kurang dari 50 ribu). Pemilik toko juga mestinya merasakan kepraktisan karena tidak terlalu pusing menyiapkan uang kembalian.

Tapi ketika aku pindah ke Jogja, aku lebih jarang menggunakan uang nontunai. Kartu Flazz tersimpan di dompet, dan jarang dipakai, sampai aku lupa isinya kira-kira ada berapa. Rasanya sekitar 5 tahun yang lalu masih sedikit gerai yang menerima uang nontunai di sini.

Beberapa waktu lalu (mungkin 1-2 bulan yang lalu), ketika aku ke Stasiun Tugu, kulihat ada pengumuman bahwa pembayaran parkir di stasiun nantinya menggunakan uang nontunai. Waktu pengumuman tersebut dipasang, pihak pengelola parkir stasiun masih menerima uang tunai.

Nah, hari ini, ketika aku ke stasiun, ternyata pengumuman itu sudah mulai dijalankan. Wedew… aku kelabakan mencari kartu Flazz-ku. Untung ketemu.

Zaman sekarang, uang nontunai mulai banyak dipakai. Awalnya pakai kartu, tapi belakangan kini lebih sering pakai uang nontunai yang di ponsel. Aku sendiri hanya memakai Gopay dan kartu Flazz. Apakah aku sudah cukup terbiasa bayar-bayar pakai uang nontunai? Rasanya antara iya dan tidak. Kalau dilihat dari saldo di kartu maupun di Gopay, saldo nontunaiku sedikit. Hmm, mungkin sebenarnya aku masih lebih sering pakai uang tunai–terutama kalau belanja sayur di pasar atau di warung.

Hari ini–ketika bayar parkir di stasiun mulai menggunakan uang nontunai–aku mulai tersadar agar lebih sering mengecek saldo dan menambah isi Gopay dan Flazz. Kan nggak lucu kalau sudah nggak menyiapkan uang tunai, ternyata uang nontunai pun habis saldonya.

Rasanya sekarang pelan-pelan masyarakat diajak untuk meninggalkan uang tunai. Nah, bagaimana ya bagi orang-orang yang tidak punya akses ke bank? Mereka mungkin akan kesulitan atau masih asing untuk bertransaksi dengan uang nontunai.

Kamu sendiri suka bayar pakai uang tunai atau nontunai?

(Sebaiknya) Begini Adanya

Ning kepada Tok

Mungkin memang sebaiknya begini adanya
Aku di sini, kamu di sana
Menjalani peran kita sebaik-baiknya.

Melihatmu meniti perjalanan dengan bahagia, menambah kebahagiaanku juga.
Ini pasti cinta.

Ya, pasti ada rinduku membara di dada
Rindu ini masih seperti sediakala
Berkobar dan menyala-nyala
Menantikan tiba waktunya berjumpa
Memeluk dan menciummu tak kenal kala

Tapi baiklah aku di sini, dan kamu di sana
Kita jalani peran kita sebaik-baiknya

Sun sayang dan doaku selalu ada untukmu, Mas Tok!

Tok kepada Ning

Maaf aku tidak selalu bisa menjawab pesanmu. Aku berjumpa banyak orang.