Pulang

(Dua minggu lebih blog ini aku anggurin. Maklum, kalau lagi pas pulang, seringnya nggak pernah konek internet. Ini adalah tulisan pertama di tahun 2010 tentang pemikiranku akan arti kata pulang…)

Bagiku, kata pulang mengalami variasi arti. Ketika masih duduk di Sekolah Dasar dulu, pulang kurang lebih berarti kembali ke rumah setelah bersekolah atau mengikuti kegiatan di luar rumah. Aku kurang bisa merasakan dalamnya makna yang lain. Karena itu aku merasa heran ketika ada kerabat ayahku dari desa yang tinggal bersama kami, dan dia merengek ingin pulang ke desanya. Aku sebenarnya cukup senang dengan kehadirannya dan kurasa rumahku cukup menyenangkan. Yang kumaksud cukup menyenangkan adalah, dia tak perlu bersusah payah menimba air karena di rumahku sudah ada kran yang mengucurkan air untuk keperluan sehari-hari. Dinding rumah juga bertembok sehingga tak ada angin yang membuat kedinginan yang menerobos di sela-sela anyaman bambu seperti rumah kerabat ayahku itu. Tetapi dia ngeyel mau pulang. Ia lebih suka berada di kampungnya. Apa enaknya tinggal di rumah berdinding bambu yang reot dan dekat dengan kandang sapi? Aku tak habis pikir dengannya.

Menjelang aku SMP, kakakku melanjutkan sekolah SMA di luar kota. Dia bersekolah di Jogja, di sebuah SMA khusus laki-laki (dia kakak kelasnya DV, tapi kakak kelas jauuuuh). Walaupun ketika masih kecil dulu kami suka berantem, tapi saat dia pergi kok rasanya gimanaaaa gitu, ya? Ada yang mendadak hilang. Tidak ada lagi yang mengusili aku, adiknya yang kadang (eh sering kali ya?) merajuk ini. Orang tuaku pasti agak berlega hati karena tak ada teriakan kami saat berantem atau tangisan cengengku karena digoda kakakku. Biar cuma dua bersaudara, kami rame lo kalau berantem 😀 Kupikir sejak kakakku sekolah di luar kota itulah kami jadi lebih akur. Paling tidak, kalau ketemu kami bisa mengobrol dengan enak bukannya saling mencela seperti dulu. Dan saat itulah aku merindukan saat-saat ketika kakakku pulang. Kata pulang berarti kembalinya saudaraku yang paling dekat ke rumah dan kami berkumpul bersama lagi.

Aku lalu melanjutkan kuliah di Jogja. Nah, saat itulah pulang memiliki arti khusus buatku. Bagi anak perantuan, pasti tahu kan bagaimana rasanya jauh dari rumah? Awal-awal tinggal di Jogja, rasanya pengen pulaaaang terus. Jarak tempuh Jogja-Madiun selama 4-5 jam di bus terasa singkat. Akhir minggu menjadi saat yang kunantikan karena di saat itu aku bisa pulang ke Madiun. Saat itu, pulang ke Madiun berarti menikmati kamarku di rumah Madiun, menengok kembali isi laci dan buku-bukuku, dan bisa berguling-guling di tempat tidurku yang waktu itu rasanya lebar banget, menikmati suasana rumah yang khas. Saat itu aku masih bisa bertemu dengan beberapa teman gereja dan teman main.

Tapi masa ketika aku sering homesick itu sepertinya tidak berlangsung lama. Banyak temanku di Madiun yang merantau. Padahal kalau pulang kan aku pengen ketemu mereka juga. Dan, frekuensiku untuk pulang ke Madiun pun berkurang. Apalagi ketika aku sudah merasa menjadi bagian dari kota Jogja, aku jadi sedikit malas untuk pulang. Akhir Minggu lebih suka kuhabiskan bersantai di asrama.

Setelah lulus kuliah aku dan kakakku sama-sama bekerja di Jogja. Sekeluarnya dari asrama, aku bergabung dengan kakakku tinggal di rumah Nenek. Tapi itu hanya berjalan setahun. Orang tuaku memutuskan untuk membangun rumah di pojok utara Jogja, tepatnya di Wedomartani; 1,5 km dari Minomartani. Kami menyebut rumah ini: Rumah Krapyak, karena terletak di dusun Krapyak, Wedomartani. Rumah ini awalnya terasa amat jauh dari mana-mana. Lagi pula, jauhnya itu lo… nggak ketulungan rasanya. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai pusat kota. Kalau ke Kaliurang juga butuh waktu kira-kira 30 menit. Jauh ya? Awalnya begitu. Tapi lama-lama biasa saja. Dan aku semakin mencintai rumah itu. Walaupun tetangganya masih

semak-semak yang hijau di samping rumah Krapyak
semak-semak yang hijau di samping rumah Krapyak

sedikit, aku enjoy saja tuh. Suasananya sepi dan kiri kanan masih cukup hijau. Jadi, begitu memasuki daerah dekat rumahku, hawa dingin mulai menyergap dan segar sekali. (Sangat kontras dengan keadaan rumah yang kutempati di Jakarta ini… 😦 ).

Kini, setelah aku tinggal di Jakarta, setiap kali menyebut kata pulang, yang terbayang adalah rumah Krapyak. Ya, walaupun orang tuaku masih tinggal di Madiun, tapi aku merasa sebagian diriku tertinggal di Krapyak. Di rumah itu, aku merasa bisa benar-benar pulang: melepaskan kepenatan, mengumpulkan energi kembali. Biasanya kalau di rumah aku tidak melakukan banyak aktivitas alias bersantai. Rasanya begitu damai dan bebas.

Aku sendiri kadang agak repot juga menjelaskan ke orang-orang kalau ditanya ke mana aku pulang. Ke Madiun atau ke Jogja? Hampir seluruh hidupku dihabiskan di dua kota itu. Kalau ke Madiun, aku menemui orang tua dan menelusuri kembali kenangan masa kecilku. Kalau ke Jogja, aku merasa bebas dan rasanya aku selalu tahu apa yang harus kulakukan dan mau ke mana. Di Jogja, aku tahu ke mana aku harus pergi ketika mencari apa yang kubutuhkan. Tapi Madiun dan Jogja adalah dua kota yang tidak bisa kulepaskan begitu saja. Aku menyukai keduanya. Masing-masing memiliki keunikan sendiri.

Merenungkan kata pulang, aku lalu teringat pada kerabat ayahku yang kuceritakan di awal tulisan ini. Aku kini tahu kenapa dia begitu ingin pulang ke kampungnya, kembali ke rumahnya yang sangat sederhana. Kurasa itu karena di sanalah dia bisa mengumpulkan kembali semangat dan energinya, melepaskan kepenatan, merasa lebih bebas. Nah, begitu pula yang kurasakan jika aku pulang. Tapi satu hal yang aku sukai, aku paling suka pulang jika bersama suamiku. Bisa dolan bareng dan it’s fun! 🙂

28 thoughts on “Pulang

  1. hmmm…tulisan yang menarik. pulang ya…setiap orang (mungkin sebagian besar) selalu punya konsep pulang ini ya, dan pulang adalah selalu personal.

  2. Menyoroti perilaku kerabatmu yg merengek pulang : sejelek apapun rumah sendiri selalu lebih memberikan kenyamanan yang tidak dijumpai di rumah / tempat lain.

  3. ..
    Liburan dikamlam, liburan ngenet juga ya mbak..
    ..
    Karena Dari kecil udah sering berpindah tempat tinggal
    Jd banyak tempat untuk saya pulang he..he..
    😀

  4. Aku pulang ke Jogja menemui teman-teman dan kenanganku…
    Pulang ke Klaten untuk sowan orang tua dan ketemu adikku…
    Pulang ke Sydney untuk menemui kompetisi kehidupan yang menyenangkan…

    Hingga akhirnya nanti, seperti yang EM bilang, aku akan pulang ke Rumah Bapa…

  5. Ye, welcome home.

    Ada kan pepatah (yang dulu sering diucapin temenku waktu aku pindah ke USA)

    “Lebih baik hujan batu dinegeri sendiri, daripada hujan emas dinegeri orang” xD

    Cuman aku malah gak bisa merasa bersantai dan mengumpulkan semangat kalau aku kembali ke Jepara, kota masa kecil ku. Soalnya memang gak merasa at “HOME”

    Aku memuja kota Semarang 🙂 — di ikuti Surabaya, kemudian Jogja. Gak ada rumah disitu, walau numpang dirumah teman, I am still feeling home sweet home.

  6. Akuuuuuu pulaaannnnggg, dari rantauuuuu, bertahun-tahun diiiiii negriiii orannnggggg…..

    Ingin pulang ke belitung, tapi udah gak pernah sejak 1998. Walau tetap saja rindu kampong parit.
    Ingin pulang ke depok, cuma krn ada orang tua, kakak, adik disana, bukan karena “pulang”.
    Ingin pulang ke Bandung, tapi mengunjungi siapa? bekas tempat kos bukanlah rumah untuk “pulang”.

    1. Kalau mau pulang ke Belitung, ikut Oni aja hehe. Rasanya aku bersyukur ada rumah yang dituju kalau ke Jogja. Soalnya kota itu menyenangkan sekali.

  7. Kalau sekarang, aku juga bingung mengindentifikasi aku pulang ke mana? Kalau dari Jogja, aku akan bilang bahwa aku akan pulang ke bukittinggi atau duri. Tapi kalau sudah di sana, nanti aku juga akan bilang bahwa aku akan pulang ke Jogja… 😀

    selamat pulang kembali ke jakarta Kris, hehehe…

    1. Uda, entah kenapa aku sampai sekarang masih agak sulit mengatakan “pulang ke Jakarta”. Bagiku, Jakarta itu bukan tempat utk pulang. Masih belum benar2 at home nih di sini. Hehe. Tapi di Jakarta ada suami saya, dan kalau ke Jakarta “pulangnya” kepada suami, bukan ke kotanya 🙂

  8. Pulang…menjadi ingat masa-masa seperti yang kauceritakan.
    Awalnya kuliah di Bogor, arti kata pulang ya ke Madiun, dan aku selalu naik becak dari stasiun ke rumah di desa Ngrowo (belakang SMA I) melalui jalan Dr. Sutomo atau jalan Bali (berarti melewati rumahmu).
    Namun pulang berarti hanya ketemu orangtua, karena teman2ku melanjutkannya ke ITB, Unair/ITS, dan Yogya (UGM dll). Teman seangkatan hanya satu yang ke UI (Kedokteran) dan IPB (Pertanian)…jadi kalau pulang tak ketemu teman, karena sering masa liburnya beda.

    Setelah menikah dan punya anak, lebih banyak ibu atau mertua yang ke Jakarta, apalagi anak-anak masih kecil. Lha kata pulang membuatku bingung Kris..rumahku di Jakarta (saya lebih banyak di Jakarta), namun bisa berarti Bandung (suamiku lebih banyak tinggal di Bandung). Tapi saya lebih suka tinggal di Jakarta dibanding Bandung, karena mungkin saya tak menguasai lika-liku kota Bandung…dan rasanya kok dingin ya …serta susah taksi….

    1. Bu Enny naik becak lewat jalan Bali? Wah, jangan-jangan dulu sempat melihat saya keluar dari rumah ya? Hehe. Dulu semasa kuliah, banyak teman saya yang juga merantau ke luar kota. Tetapi saat pulang kemarin, saya lihat beberapa teman saya rupanya berkarya di Madiun. Dan senang sekali melihat teman-teman saya punya usaha sendiri di Madiun.

      Rumah saya yang di Jogja juga lumayan dingin Bu (dibandingkan Madiun atau Jakarta). Dan susah sekali cari taksi hehehe. Makanya selalu mengandalkan motor. Tapi saya cinta sekali dengan rumah itu. Rasanya benar2 pulang kalau ke sana.

  9. pulang untukku adalah pulang ke Muntilan. setelah merantau, agak bingung mendefinisikan pada orang-orang di mana sih Muntilan itu? dulu aku masih semangat menceritakan kota kecil itu. tapi sekarang “malas”. jadi kalau ditanya pulang ke mana? kujawab ” ke Jawa” (kan aku sah menyebut Jawa hihi….) atau kujawab aja pulang ke Jogja. orang langsung maklum….. 🙂

    1. Bagi orang yang tidak pernah tinggal di seputaran Jogja atau Jawa Tengah, Muntilan itu bagaikan kota antah berantah. Padahal Muntilan itu menurutku indah lo. Seperti gadis kecil yang manis. (Halah! Hehe.)

  10. alasan yang sama hingga aku setahun bisa pulang ke Klaten-Jogja minimal 2x padahal udah tinggal 20 tahun di Jakarta!

    Pulang… ah jadi kangen Jogja lagiiiiii
    Salahmu ini mbak Kris.. salahmuuuuuu membangkitkan kangenkuuuuu

  11. mulih neng jogja, bali neng pare pare

    mulih = pulang –> ke tempat asal

    bali = kembali (sering disamakan dg pulang) –> ke tempat sekarang tinggal

    tp itu menurutku lho.. gak tahu, barang kali ada ahli bahasa yg bisa menerangkan dengan lebih jelas

    1. setuju, bro… 🙂
      pulang/mulih, bagiku lebih tepat ditujukan kalau aku mau ke jogja atau ke madiun–return to the place where i belongs

  12. pulang buat saya masih ke rumah orang tuaku…tapi setelah sepuluh tahun tinggal di Serpong aku tidak lagi merasa jadi orang Jakarta. Kemacetan dan hiruk pikuknya Jakarta memusingkan aku, tapi gemerlap kegiatan seni budaya dan olah otaknya masih terus menarikku untuk datang (bukan pulang…)

    Makassar? Aku ingin juga pulang ke kampung halaman, tapi apakah itu “pulang” yang dimaksud “home”? Rasanya tidak juga…

    1. Jakarta memang banyak kegiatan yg menarik sebenarnya, ya. Di Jogja juga lumayan banyak lo Mbak.
      Jadi, Mbak Retty “home”-nya Serpong yah? 😉

Leave a comment