Pengalaman Sebulan yang Lalu: Workshop Bersama Room to Read

Aku punya utang menulis cukup banyak sebetulnya. Paling tidak tulisan yang perlu–menurutku sendiri sih–untuk dipasang di blog ini. Blog ini kumaksudkan untuk pengingat pribadi. Jadi, semestinya jika ada hal yang kurasa penting, perlu kutulis dan disematkan di sini.

Aku agak bingung juga mau memilih tema dan topik mana yang semestinya kutulis saat ini. Saking njelimet dan bundetnya isi kepalaku, aku sampai bingung sendiri. 😀 😀 Tapi, baiklah… aku sebaiknya menulis dari hal yang semestinya kutulis sebulan lalu. Lama sekali yaaa… 😀 Sok syibuk…

Ceritanya, sebulan yang lalu aku ikut sebuah workshop penulisan. Workshop ini diadakan di Lembang, Bandung. Penyelenggaranya adalah Room to Read, bekerja sama dengan Provisi Education. Room to Read adalah sebuah NGO yang punya visi misi literasi serta penyetaraan gender. Untuk lebih lengkapnya, silakan baca di sini. Dalam rangka mewujudkan visi misinya itu, Room to Read (RtR) akan menerbitkan buku anak, dan mendistribusikannya ke 24 perpustakaan sekolah. Untuk penerbitan buku anak itu RtR bekerja sama dengan penerbit Mizan, Kanisius, Litara, dan Literasi Anak Indonesia (LAI). Nah, berkaitan dengan hal itulah RtR mengadakan workshop penulisan cerita anak.

Awal ceritanya bermula kira-kira November awal 2014 aku membaca pengumuman di grup Komunitas Penulis Bacaan Anak di FB, Yayasan Litara membuka audisi cerita anak. Bagi yang lolos audisi ini akan ikut workshop RtR. Kupikir, tak ada salahnya aku ikut. Memang sudah lama aku ingin menulis cerita anak. Sayangnya, selama ini keinginanku itu hanya kubiarkan “jamuran”. Aku sadar, keinginan itu tidak akan terwujud begitu saja, jadi aku mesti mulai melakukan sesuatu. Nah, kupikir, ikut audisi yang diadakan Litara ini bisa menjadi salah satu langkah kecilku. Aku sebetulnya agak terburu-buru menulis cerita yang kukirimkan tersebut karena saat itu aku sudah akan berangkat ke Rawaseneng. (Aku di Rawaseneng selama tiga mingguan. Aku ragu apakah di sana mudah mendapatkan koneksi internet. Dan memang, di sana koneksi internetnya cukup payah. Untung aku sudah mengirimkannya sebelum berangkat ke Rawaseneng.) Proses antara menemukan ide, menulis, dan mengirimkannya ke Litara sepertinya hanya seminggu atau sepuluh harian. Aku lupa persisnya. Karena hendak pergi, aku merasa tak punya cukup waktu banyak untuk menulis. Tapi bukan berarti aku tidak serius. Aku hanya mengikuti kata hati dan sebelum mengirimkan tulisan, aku masih sempat kok membacanya beberapa kali dan mengeditnya. Dan aku hanya mengirimkan satu tulisan (di pengumuman dikatakan boleh mengirim dua tulisan, sepanjang masing-masing 200 kata). Singkat kata, aku lolos audisi–setelah melewati masa deg-degan karena seleksi awal terpilih 17 orang, lalu diseleksi lagi menjadi 7 orang.

Workshop diadakan tanggal 27-30 Januari 2015, di Lembang, Bandung, di Hotel SanGria. Jadi, hari ini persis sebulan lalu aku ikut workshop. Selama ini, karena aku pekerja lepas, ikut workshop berarti mesti merogoh kantong sendiri. Tapi workshop kali ini aku cukup membawa ransel. Semua ongkos diganti, termasuk penginapan dan ongkos transport ke tempat acara. 😀 😀

Aku berangkat ke Bandung tanggal 26 Januari siang, sekitar pukul 1 siang. Sampai di Bandung, untuk ke tempat acara aku bareng dengan sesama peserta, Tyas, dan Mbak Aniek. Selama menginap di SanGria, aku sekamar dengan Mbak Dian Kristiani. Mungkin ini berkah buatku; aku jadi dapat mentor gratis karena Mbak Dian sudah menerbitkan banyak buku anak, dan sudah sangat paham lika-liku menulis cerita anak. Entah seperti apa pendapat Mbak Dian soal diriku karena selama di sana aku malah merecoki dia karena beberapa kali minta masukan soal naskahku. 😀 😀

Selama workshop, kami dapat PR menulis yang membuatku selalu tidur larut dan bangun pagi-pagi. Pembicara utama workshop adalah Alfredo Santos, dari Filipina. Jadi, materi sebagian besar disampaikan dalam bahasa Inggris. Yang cukup menakjubkan buatku adalah Al–panggilan Alfredo–bisa memberikan masukan untuk karya yang sudah kami buat. Entah bagaimana caranya, dia bisa kasih masukan. Padahal kurasa, tentu ada penghambat dalam bahasa karena cerita yang kami tulis dalam bahasa Indonesia, sedang Al tidak bisa berbahasa Indonesia. Tapi kok ya masukannya itu cukup “kemampleng” alias menohok. Selain Al, pembicara lain yang juga sangat membantu adalah Riama Maslan, Evelyn Gozalli, Benny Rhamdani.

Aku mendapat banyak wawasan dan pengalaman berharga selama workshop. Ada beberapa hal penting yang masih kuingat. Pertama, pentingnya membangun karakter dalam sebuah cerita. Buatlah karakter yang kuat. Karakter yang kuat itu mesti memiliki tiga aspek kunci, yaitu:

  • Fisik (physiology): seperti apa penampilannya? Apakah berambut panjang? Gemuk atau jangkung? dll.
  • Internal (psychology): bagaimana sifatnya? Pemarah? Ramah?
  • Eksternal (sociological): dia tinggal atau berada di mana? Apakah dia tinggal di kota? Di desa? Di hutan?

Kedua, ketahui sasaran pembaca. Cerita kita itu nantinya untuk anak umur berapa? Buku kita nanti akan masuk kategori level berapa? Apakah untuk level satu? Buku anak ada tingkatannya loh, dan itu disesuaikan dengan kemampuan membaca anak. Mengetahui sasaran pembaca kita akan sangat mempengaruhi kata yang akan kita pakai, susunan kalimatnya, dll.

Ketiga, berhati-hatilah ketika membuat plot. Ada jebakan plot yang kemarin sering disebut-sebut, yaitu “deux ex machina”–literalnya berarti menjadikan Tuhan sebagai mesin untuk menyelesaikan masalah. Maksudnya adalah, jangan membuat suatu adegan terjadi secara tiba-tiba, tanpa ada foreshadow. Yang paling sering kita lihat contohnya adalah cerita dalam sinetron. Biasanya di sinetron si tokoh setelah berantem, lari keluar rumah, tiba-tiba ada taksi sudah ngetem di depan rumah. Untuk penjelasan lebih panjang lebar, bisa googling ya. Salah satunya bisa baca penjelasannya di sini.

Keempat, fokus… fokus… fokus. Menulis itu yang penting fokus. Karena itu sejak awal penting bagi kita untuk menetapkan topik dan tema. Singkatnya, kita mau menyampaikan apa sih dalam tulisan tersebut? Karena yang akan kami buat adalah buku cerita anak level satu (untuk pembaca pemula), sejak awal mesti sudah jelas, tema yang akan kita angkat apa. Jangan sampai ada konflik ganda yang justru akan membuat tulisan menjadi tidak fokus. Oiya, tema dan topik itu beda, ya. Contohnya demikian: Topik: Persahabatan. Tema: Berbagi membuat kamu punya banyak teman. Jadi, topik itu satu hal yang akan kita angkat, (biasanya satu kata), sedangkan tema adalah penjabaran dari topik itu. Tema biasanya satu kalimat.

Kelima, revisi adalah seni tersendiri. Sepertinya hal yang kelima ini adalah catatan pribadiku selama dan setelah mengikuti workshop. Setelah workshop selesai, ternyata aku masih “dihantui” revisi dan revisi. Tulisan yang kami buat ini masih akan diseleksi lagi. (Setidaknya dari kelompok Litara.) Jadi, revisi demi terciptanya karya yang baik adalah suatu keharusan. Saat revisi ini aku sangat terbantu oleh para editor, Mbak Eva Nukman dan Mbak Sofie Dewayani, yang selalu memberi masukan penting untuk perbaikan naskah. Juga aku merasa didukung oleh teman-teman dari grup Litara yang kemarin ikut workshop bareng: Mbak Dian, Mbak Yuniar, Mbak Aniek, Mbak Evi, Tyas, Audi.

Kurasa sekian dulu catatan yang perlu kutulis. Sisanya kalau ada yang terlupa, akan kususulkan atau kalau niat, kutulis di postingan yang lain.

Foto bareng setelah workshop. Foto oleh Debby Lukito.
Foto bareng setelah workshop. Foto oleh Debby Lukito.

4 thoughts on “Pengalaman Sebulan yang Lalu: Workshop Bersama Room to Read

  1. Apakah bisa mengajukan donasi buku ke room to read?

    Saya kurang tahu. Tapi mungkin bisa menghubungi pihak yang digandeng oleh Room to Read. Coba kontak ke Provisi.

Leave a comment