Sekilas Tentang Kaki Langit

Seingatku, aku tidak pernah seperti ini. Atau, hampir tidak pernah, tepatnya. Ya, aku tidak pernah begitu “ngebet” mengoleksi suatu hal atau benda. Kalaupun aku suka, ya suka saja. Jika mau mengoleksi, itu soal lain.

Ya, akhirnya aku membeli CD instrumen petikan gitar Jubing Kristianto yang keempat, yang berjudul Kaki Langit.Eh, sebenarnya kami yang membelinya–aku dan suamiku. Dan lebih tepatnya lagi, pakai duit suami haha! (Enak ya jadi istri :p)

Aku pertama kali mendengar solo gitar Jubing yang pertama tanpa sengaja. Waktunya sudah lamaaa sekali–beberapa tahun yang lalu dan aku tidak ingat kapan persisnya. Saat itu, aku sedang jalan-jalan ke Malioboro Mall (MM). Rasanya hal itu di luar kebiasaanku, deh, karena aku bukan penggemar mall. Mungkin waktu itu aku hendak ke Gramedia yang ada di MM. Dan kurasa aku iseng masuk ke toko CD/kaset yang terletak di sebelahnya. Padahal biasanya aku hampir tidak pernah ke situ lo. Saat itu, toko kaset itu menyetel CD solo gitar Jubing. Aku langsung tertarik. Aku ingat, aku langsung mendekati penjaga toko tersebut dan menanyakan musik yang sedang diputar saat itu. Dia menunjukkan CD solo gitar Jubing yang berjudul Becak Fantasy. Aku hanya manggut-manggut melihat harganya. Hiks, seharga sebuah buku yang ingin kubeli. Jelas aku tak bawa duit lebih. Selain itu, di rumah aku tak punya CD player. Saat itu aku hanya punya compo untuk menyetel kaset dan radio. Jadi, jelas tidak mungkin dong aku menyetelnya di rumah. Mau diputar pakai apa? Pakai daun pisang? *Nggak nyambung, biarin …*

Waktu berlalu. Aku menikah dan aku masih teringat pada petikan gitar akustik yang pernah kudengar waktu itu. Suatu kali, aku sedang jalan-jalan dengan suamiku. Suamiku memang cukup sering pergi ke toko CD/kaset. Entah sudah berapa banyak koleksi kaset lagu, CD, atau VCD-nya, aku tak sanggup menghitungnya. Dan saat itu dia hendak menambah koleksinya lagi. Ketika di toko itu, pandanganku tertumbuk pada sebuah CD yang sudah lama sekali kuidamkan. Wah, aku tak menyangka masih menemukannya. Kupikir karena sudah lama sekali, CD Becak Fantasy itu sudah hilang dari peredaran. Dengan sedikit rayuan, akhirnya aku dibelikan CD Becak Fantasy. Hore … akhirnya aku bisa benar-benar mendengarkan alunan gitar Jubing di rumah.

Sebenarnya apa sih yang membuatku tertarik dengan solo gitarnya? Hmm … apa ya? Pertama sih karena aku memang suka dengan alat musik gitar. Terutama yang dimainkan secara akustik. Suara alat musik itu terdengar enak di telinga. Kedua, Jubing memainkan lagu yang biasa menjadi luar biasa. Waktu itu yang kudengar pertama kali adalah lagu Becak. Itu lo, lagu anak-anak yang petikan syairnya demikian: “… saya panggilkan becak, kereta tak berkuda …. Becak, becak tolong bawa saya.” Itu lagu lama sekali yang cukup akrab di telingaku ketika aku masih kecil dulu. Lagu yang biasanya terdengar biasa di telinga, e … kok waktu lagunya dimainkan oleh Jubing, jadi lebih bernuansa baru. Tidak melulu terdengar seperti lagu anak-anak. Mungkin karena bentuknya instrumental (tanpa penyanyi, hanya satu lagu yang ada penyanyinya kalau tak salah) dan pakai gitar pula. 🙂 Ketiga, selain lagu anak-anak, ada juga lagu-lagu daerah Indonesia (di album Becak Fantasy yang aku sukai adalah lagu Ayam den Lapeh). Selama ini dalam bayanganku, lagu daerah itu kedengarannya jadul, tidak menarik, dan hanya diperdengarkan di sekolah. Tetapi waktu aku mendengarkannya dimainkan oleh Jubing, lagi-lagi lagu tersebut jadi lebih hidup, menarik, kadang lebih genit, kadang jadi lebih semarak. Yang jelas, lagu-lagu itu dieksplorasi habis-habisan oleh Jubing. Lagu-lagu itu seperti seorang gadis yang selama ini tampak biasa-biasa saja, tetapi setelah didandani jadi tampak manglingi. Haiyah, piye kui jal? Bisa membayangkan? Hehe.

Begitulah, akhirnya aku selalu membeli CD album solo gitarnya Jubing Kristianto, mulai dari Becak Fantasy, Delman Fantasy, Hujan Fantasy, sampai albumnya yang terakhir ini: Kaki Langit. Album solo gitar akustik ini tampil dengan dominasi warna hijau. Di dalamnya terekam 15 lagu. Hampir seperti lagu-lagu sebelumnya, album ini terdiri dari beberapa jenis lagu, yaitu lagu daerah, lagu anak-anak, beberapa lagu asing, dan beberapa lagu merupakan komposisi Jubing sendiri. Tampaknya lagu daerah dan lagu anak-anak merupakan kekhasan dari album-album Jubing. Namun, di album ini komposisi karya Jubing sendiri lebih banyak dibandingkan ketiga album sebelumnya.

Salah satu lagu yang kusukai di album Kaki Langit adalah lagu Rek Ayo Rek. Mungkin aku menyukainya karena mengingatkanku pada identitasku sebagai arek Jawa Timur hehe (tapi bukan bonek lo). Lagu ini aku dengar pertama kali waktu di Bentara Budaya Jakarta. Saat itu para gitaris berkumpul untuk melakukan penggalangan dana membantu korban bencana alam yang bertubi-tubi di Indonesia. Kurasa itu juga salah satu hal yang di luar kebiasaanku. Aku bukan orang yang gemar nonton pertunjukan karena aku tak suka berdesak-desakan untuk menonton suatu penampilan musik. Tetapi karena yang akan tampil adalah para gitaris, akhirnya aku bela-belain menonton. Selain itu, aku juga penasaran, karena dikatakan Jubing akan ikut tampil. Seperti apa sih jika menonton Jubing memainkan gitar secara live? Lagi pula, acaranya gratis … hehehe.

Setelah sukses melewati kemacetan selama satu jam lebih dengan perut lapar, aku dan suamiku sampai di Bentara Budaya Jakarta. Dan aku bisa menyaksikan Jubing memainkan lagu Rek Ayo Rek. Wuih … keren lo! Rasa-rasanya hanya Jubing yang mendapat sambutan paling meriah. Ini apa karena aku ngefans sama Jubing ya? *Haiyah, semoga Mas Jubing tidak ke-GR-an membaca ini hahaha!* Seingatku, setelah Jubing selesai memainkan jatah penampilannya, para penonton bersorak-sorak meminta dia memainkan satu lagu lagi.

Seperti yang kukatakan di alinea teratas, mengoleksi album Jubing yang bertajuk “exploring solo acoustic music” ini merupakan sesuatu di luar kebiasaanku. Aku hampir tak pernah mengoleksi lagu penyanyi atau band tertentu. Seingatku dulu aku pernah melakukan hal seperti ini ketika masih remaja, yaitu dengan mengoleksi kaset-kaset KLa Project–yang sekarang tak tahu lagi ke mana rimbanya kaset-kaset tersebut. (Waduh, jadi pengen mengoleksi Kla Project lagi nih!) Tetapi ya hanya Kla Project, tidak ada penyanyi atau grup musik lain yang karyanya kukoleksi. Sekarang, karena suamiku penuh pengertian *tsaaah …* mau membelikanku album-albumnya Jubing, aku pun selalu menambah koleksi jika ada album yang baru. Itu juga karena dia juga menyukai musiknya Jubing sih, hehehe.

Anyway, aku salut dengan Jubing Kristianto yang cukup konsisten dalam mengeluarkan album baru. Juga atas kepeduliannya untuk mengeksplorasi lagu-lagu daerah dan lagu anak-anak–dua jenis lagu yang rasanya saat ini semakin jarang kudengar di radio maupun televisi. Kalau mau iseng, pengen tahu bagaimana permainan Jubing, coba saja ke sini.

Maju terus Jubing Kristianto, semoga tak lelah dalam berkarya. 🙂

Biar Jadul Asal Keren

Suatu malam aku naik angkot. Saat di dalam angkot itu, telingaku disuguhi lagu-lagu Indonesia masa kini dari sebuah stasiun radio. Yang kubilang lagu-lagu masa kini itu adalah lagu-lagu yang diputar oleh hampir semua radio–terutama stasiun radio yang mengusung lagu-lagu Indonesia saja. Sebut sajalah nama penyanyi atau band yang terkenal saat ini, pasti ada: Peterpan, ST 12, D’masiv, Anang-Syahrini, dan entah apa lagi. Aku tak terlalu ingat nama-nama mereka. Tapi kira-kira seperti itulah. Sewaktu lagu-lagu itu diperdengarkan, suamiku berkata, “Ini lagu-lagu gampang nih. Kuncinya paling C-F-G.” Dan aku baru sadar, bahwa lagu-lagu mereka itu memang mudah diterima di telinga masyarakat dan mudah untuk ditirukan. Mudah ditirukan? Menurutku sih begitu, karena acara televisi Idola Cilik menyanyikan lagu-lagu yang sedang tren sekarang kan? Anak kecil pun bisa meniru. Kalau dibandingkan lagu anak kecil, berani taruhan, kunci yang dipakai tidak jauh berbeda. Dan para pengamen dengan suara pas-pasan pun menyanyikan lagu-lagu itu.

Aku ingat, tahun lalu aku mendapat bingkisan dari sebuah stasiun radio yang jargonnya menyiarkan musik Indonesia. Ceritanya, saat aku sedang mendengarkan suatu acara mereka, aku mengirim SMS dan SMS yang dibacakan akan mendapat CD dari bintang tamu itu. Waktu itu, radio tersebut mengundang seorang bintang tamu. Menurutku, bintang tamu mereka itu agak lain dari biasanya, yaitu musisi jazz Donny Suhendra. Kenapa tamu mereka kubilang lain dari biasanya? Karena kuamati, lagu-lagu atau instrumen karya Donny Suhendra itu hanya disuguhkan saat acara itu saja. Dia bukan musisi yang membuat lagu-lagu yang ngetren. Lagi pula, jazz bukan musik yang populer di negeri ini, bukan? Sebelum dan sesudah ia datang ke studio radio tersebut, rasanya lagu-lagunya pun tidak pernah diperdengarkan. Anggaplah aku yang kurang awas dalam mendengarkan lagu-lagu mereka, tetapi menurutku radio itu tetap paling sering menyiarkan lagu-lagu yang memang sedang tren. Lagu-lagu Donny Suhendra lenyap entah ke mana. Oh, aku tidak bilang bahwa lagu-lagu yang sedang tren 100% buruk, hanya saja, menurutku tidak keren. Dan jujur saja, aku bosan. Kok itu-itu saja sih lagunya? Yang kubilang itu-itu saja maksudku: lagunya cemen, kunci-kuncinya kurang variatif, dan syairnya pun kurang oke dan cenderung cengeng. Pertanyaannya: Apakah memang para musisi Indonesia itu hanya bisa menciptakan lagu atau instrumen seperti itu?

Mendengarkan lagu-lagu zaman sekarang mau tak mau membuatku membandingkan lagu-lagu yang kudengar saat aku masih SD-SMP dulu. Aku besar di era ’80-an. Jadul sih. Saat itu, aku masih sering mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan Fariz RM, Sheila Majid, Dedy Dukun dan Dian Pramana Putra, Indra Lesmana, Harvey Malaiholo, Vina Panduwinata. Menurutku, lagu-lagu mereka lebih bagus. Entah apa yang membuat bagus, tetapi jika aku mendengarkan lagu-lagu tersebut, kesanku musiknya lebih kaya. Kalau mengingat band yang muncul waktu itu pun, rasanya juga lebih oke. Dewa 19, misalnya. Dari pengetahuanku tentang musik yang biasa-biasa ini, aku mendapat kesan Dewa 19 waktu itu warna musiknya lebih keren dibandingkan yang sekarang. Dan dulu Kla Project juga masih sering muncul dan membawakan lagu-lagu baru mereka keren.

Aku tak tahu apa-apa tentang dunia radio dan apa sebenarnya yang terjadi di balik pemilihan lagu-lagu yang disuguhkan kepada pendengar. Tetapi kalau saat menyetel radio dan mendapati hanya lagu itu-itu saja yang diputar, aku jadi bertanya-tanya: Ke mana sih para musisi yang bisa menciptakan lagu-lagu bagus? Apakah jangan-jangan mereka memang tidak diberi tempat oleh radio-radio kita? Rasanya jarang sekali–kalau tidak mau mengatakan hampir tidak pernah–mendengar lagu-lagu atau instrumen karya anak negeri yang memang bagus.

Tetapi kemarin sore aku sedikit terhibur saat menyetel sebuah stasiun radio dan mendengar sebuah instrumen lagu Keroncong Kemayoran yang dibawakan oleh Dewa Budjana, Tohpati, dan Balawan. Kereeen banget! Padahal hanya instrumen lagu daerah. Tetapi lagu memang sudah digubah dengan sangat bagus. Pemutaran instrumen itu membuatku lega bahwa para musisi Indonesia yang karyanya memang jempolan masih mendapat tempat di sebuah stasiun radio lokal. Dan para musisi bagus itu masih berkarya … walaupun mungkin–hanya mungkin lo–karya mereka jarang diputar di radio-radio lokal kita. Mungkinkah karya-karya mereka hanya diperdengarkan di panggung internasional? Semoga saja begitu.

Kupikir jika radio-radio lokal hanya memutar lagu-lagu yang sedang tren, selera musik masyarakat kita tidak akan meningkat. Anak-anak muda pun mungkin tahunya hanya lagu warna musiknya tidak kaya. Ah, rasanya kalau begini aku lebih bersyukur besar di era 80-an. Lagu-lagunya lebih bagus. Biar jadul, asal keren kan?