Kemarahan yang Tertinggal

Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan menceritakan masalah kantornya kepadaku.

+ Kamu tahu kan kalau Mas X itu sudah keluar dari kantorku?
– Iya. Tahu. Tahunya juga telat hehe. Sudah setahun berlalu, baru kamu cerita sama aku kan?
+ Tapi biar sudah setahun lewat, dia sepertinya masih marah dengan beberapa teman di kantorku.
– Emang ada apa?
+ Kemarin ada surat kaleng datang.
– Eh, serius? Surat kaleng? (Zaman sekarang masih ada yang kirim surat?)
+ Iya. Sebetulnya sih bukan surat kaleng beneran. Dia tulis pesan di FB.
– FB siapa?
+ FB beberapa teman. Isinya sama. Isinya marah-marah gitu deh. Mengkritik sana-sini.
– Dia pakai akunnya sendiri? (Tentunya nggak ya, wong tadi disebutnya “surat kaleng”. Piye to aku iki?)
+ Dia pakai akun baru. Tapi di daftar temannya, kulihat ada beberapa orang yang kukenal. Bodoh juga sih dia. Jadi aku bisa tanya ke orang-orang yang kukenal itu. Jelas menjurus ke Mas X. Dan memang kalau membaca isi suratnya, cuma dia yang berkasus dengan beberapa orang yang dikirimi pesan lewat FB itu.
– Hehehe.
+ Kok ketawa?
– Emang mau gimana? Lah orang marah ditanggapi? Biarkan saja.

Iya, kan orang kalau sedang marah, menurutku diamkan saja dulu. Biar dia marah sampai puas. Memang sih, hati kita bisa ikut jadi marah kalau mendengar atau kalau dalam kasus temanku itu, membaca isi suratnya. Tapi kalau kita langsung menanggapi kemarahan itu tanpa berpikir panjang, kata-kata yang keluar jangan-jangan nanti juga sama busuknya? Sami mawon.

Sebetulnya sih masalahnya biasa saja kok. Mas X ini tidak puas di tempat kerjanya yang lama (di kantor temanku itu), sempat bermasalah dengan beberapa orang. Lalu dia keluar. Nah, kalau keluar, dianggap masalahnya selesai. Ternyata tidak. Ternyata dia masih menyimpan bara. Singkatnya, dia merasa pernah diperlakukan tidak adil. Jadi, masih sakit hati. Gitu deh. Cuma begitu kok.

Cuma?

Kurasa banyak orang mengalami hal serupa itu. Kurasa sih. Ini cuma perkiraanku. Karena salah satu alasan orang keluar dari tempat kerja itu karena sakit hati, merasa diperlakukan tidak adil, dan semacamnya. Jadi, ya kuanggap saja, “cuma” itu masalahnya.

Banyak orang bilang, seiring berjalannya waktu, rasa sakit hati itu akan hilang dengan sendirinya. Mungkin begitu. Mungkin juga tidak. Yah, namanya juga pernah ada luka. Kalau lukanya tidak sembuh betul, biar waktu terus berjalan, bisa saja luka itu cuma kering di luar, tapi dalamnya masih belum pulih. Contohnya Mas X itu tadi. Sudah setahun loh dia meninggalkan kantor temanku itu. Tapi belum lama ini dia ngomong yang tidak mengenakkan.

Kupikir, orang marah itu bisa berbuat apa saja. Ada yang diam, memendam kemarahannya dan berharap waktu bisa menguapkan kemarahan. Ada yang ngomong tidak enak–entah secara tertulis, entah ngomong lisan. Ada yang menjaga jarak. Ada nulis di blog hehehe. Dan cara mana yang paling bijak? Entahlah. Kalau menurutku, idealnya ya ngomong baik-baik. “Pak, Bu … saya sebetulnya tidak terima lo diperlakukan seperti ini.” Misalnya lo ini. Tapi aku sepertinya banyak orang tidak punya nyali untuk menceritakan “penderitaannya”. Biasanya ngomongnya tidak kepada pihak yang bersangkutan alias ujung-ujung gosip. Lah, ini kan bagian dari curhat? Hihi.

Untuk menyampaikan uneg-uneg memang diperlukan teknik komunikasi yang baik. Jika tidak bisa ngomong sendiri, mungkin ada baiknya kalau pakai mediator atau penengah yang netral. Jadi, tidak gabruk-gabruk sendiri. Tapi ya ini tidak mudah sih. Mungkin ada ketakutan bahwa apa yang kita sampaikan itu justru membuat masalah semakin lebar atau membuat hubungan menjadi renggang. Jadi kan mending simpen aja sendiri, makan hati sendiri. Emang enak? :p

Yah, mungkin PR bagi kita adalah latihan mengomunikasikan permasalahan kita dengan baik. Dan juga membebat hati yang terlanjur terluka. Masalahnya, kemarahan yang tidak ditangani dengan baik, katanya bisa jadi penyakit. Iya nggak sih? Yang jelas, ya makan hati. Dan jika ada ketakutan bahwa dengan menyampaikan masalah hubungan jadi renggang, kurasa kedua belah pihak mesti menyadari bahwa sebetulnya masalah itu adalah latihan untuk pendewasaan diri. Jadi kalau masalah itu bisa terselesaikan dengan baik, keduanya “lulus ujian”. Tentunya memang sebaiknya yang “diserang” bukan pribadinya, tapi membereskan persoalan itu. Bagiku sendiri ini adalah PR besar juga karena aku punya kecenderungan untuk “menyimpan” dan malas ribut-ribut. Jadi, cenderung menghindar dan menyimpan sendiri dalam hati, atau gosip eh curhat ke teman. Dan ini nggak enak banget sebetulnya. Hiks…

Kalau kamu sendiri bagaimana? Punya pengalaman menyampaikan permasalahan atau menangani kemarahan dengan baik?