Sebuah Pemikiran Ngelantur di Hari Buruh

Satu Mei. May Day. Orang biasa menyebutnya begitu. Kemarin di FB kulihat ada beberapa teman yang posting mengatakan bahwa esok hari (berarti hari ini) adalah Hari Buruh.

Kabarnya memang ada demo yang cukup besar hari ini di sekitar Bundaran HI, Jakarta. Aku sendiri tidak terlalu memantau demo tersebut. Cuma baca berita sekilas-sekilas saja. Dan kata suamiku, tadi siang ketika ia mau pulang, tidak ada bus umum yang lewat. Dia jadi harus pulang naik taksi. Untung jarak kantor suamiku dan rumah tidak terlalu jauh (untuk ukuran Jakarta), jadi kalau naik taksi, yaaa masih terjangkaulah ongkosnya. Bahkan bus TransJakarta pun tidak beroperasi. Tapi memang suamiku pulangnya masih agak siang. Dia hanya mengajar satu jam dan setelah itu mengurus ATM di bank. Pukul dua dia sudah tiba di rumah. Mungkin kalau sore, sudah ada bus umum sudah beroperasi seperti biasa.

Peringatan Hari Buruh itu serta merta mengingatkan aku pada percakapanku dengan suamiku pada suatu pagi–ketika kami sedang jalan-jalan pagi. Waktu itu belum lama ada demo buruh besar-besaran menuntut kenaikan upah.

+ Buruh itu upahnya kalau dipikir-pikir rendah ya. Dengan gaji sekitar satu jutaan mereka harus bisa bertahan hidup di kota besar.
– Memang.
+ Aku masih ingat, pada awal tahun 2000-an lalu, temanku yang baru bekerja di Jakarta, gajinya hampir sama dengan buruh sekarang. Jadi, gaji mereka sudah terpaut banyak sekali ya dengan para pekerja kelas menengah di kota besar.
– Buruh itu kenapa upahnya rendah, bisa jadi ya karena kita-kita juga.
+ Kok bisa begitu?
– Coba kamu pikir, kenapa mereka diupah rendah?
+ Hmmm, kenapa ya? Supaya ongkos produksi tetap rendah jadi harga jual barang bisa tetap murah.
– Kita juga kan yang ingin harga barang tetap murah.
+ Iya, sih.

Memang kalau dipikir-pikir upah buruh itu rendah. Pasti susah juga untuk hidup di kota besar dengan upah yang mepet. Tapi aku pikir, mungkin ada hal lain yang perlu disiasati dengan upah yang rendah itu, yaitu bagaimana mengelola pemasukan atau gaji dengan lebih bijak. Mungkin ada yang bilang, tidak perlu lah orang-orang berupah rendah itu beli-beli barang konsumtif. Lah, tapi siapa yang bisa melarang? Hanya kesadaranlah yang membuat seseorang bisa menahan diri. Padahal kenyataannya, tidak semua bisa menahan diri kan? Mungkin tidak semua orang bisa berpikir jernih bahwa lebih baik tidak beli rokok, dan sebaiknya uang yang biasa untuk beli rokok itu ditabung, buat beli telur dan tambahan lauk, misalnya.

Aku pikir, yang perlu dilakukan untuk orang-orang yang berpenghasilan minim adalah memberikan pelatihan tentang perencanaan keuangan sehingga mereka bisa mengelola uang dengan benar. Tanpa itu, biar pun upahnya sudah tinggi, kalau masyarakat kebanyakan membelanjakan uangnya untuk barang konsumtif, seterusnya akan ada pihak yang harus diupah rendah. Jadi seperti lingkaran setan.

Tapi yang kutulis ini adalah pemikiranku yang masih bodoh sih. Apa yang kutulis ini belum sempat kupikirkan lebih dalam lagi. Barangkali ada kelirunya. Atau barangkali membingungkan ya yang aku tulis ini? Hmm, barangkali teman-teman punya pendapat lain?