Pekerjaan Paling Menantang di Jakarta

Hari Kamis minggu lalu, aku bersama suami dan seorang kawan dari Jepang keliling Jakarta. Sebetulnya bukan keliling, sih karena kami hanya ke seputar Menteng, ke Museum Nasional, lalu ke Plaza Indonesia. Tulisan ini bukan bermaksud membahas perjalanan kami itu, tapi aku ingin bercerita soal perjalanan pulang kami. Soal acara jalan-jalan itu mungkin–kalau aku sempat dan niat–akan kutulis di lain waktu.

Ceritanya, setelah dari Museum Nasional, kami sebetulnya ingin makan di rumah makan Manado, Tude, dekat halte Tosari. Kami naik bus TransJakarta dari depan museum. Tapi waktu itu hujan cukup deras, jadi kami memutuskan untuk mencari makan di Plaza Indonesia saja. Alasannya sederhana, kalau turun di halte depan Plaza Indonesia kami tidak perlu berjalan kaki cukup jauh.

Hujan masih mengguyur setelah kami selesai makan dan belanja sedikit. Niatnya kami memang akan pulang naik taksi. Kami lalu antri di pelataran Plaza Indonesia, menunggu taksi datang. Tapi ternyata meski sudah menunggu cukup lama–sampai kakiku pegal dan panas–tak ada taksi yang datang. Padahal antrian semakin panjang. Suamiku sempat berjalan ke trotoar mencari taksi. Tapi dia bilang, “Nggak ada taksi. Kalaupun ada, mereka nggak mau ngangkut kayaknya.” Ha? Sungguh aku terkejut. Dulu aku memang pernah mendengar bahwa jika hari hujan, sulit sekali mencari taksi di Jakarta. Aku pikir, ah memang sesulit apa sih? Dasarnya aku tidak pernah keluar rumah pas hari hujan, aku menyepelekan kenyataan itu. Dari kejauhan kulihat bus TransJakarta juga sangat penuh. Tidak ada pilihan lain selain menunggu taksi. Apalagi kami bersama teman yang warga negara asing. Rasanya tidak tega mengajaknya naik kendaraan umum yang berjejal.

Akhirnya, setelah sekian lama, datang sebuah taksi BB. Kami segera naik. Tujuan pertama kami adalah ke Sunter, tempat teman kami menginap. Setelah itu baru dari sana kami melanjutkan perjalanan pulang ke Rawamangun. Begitu naik, suamiku menyebutkan tujuan. Dan jawabannya: “Mas, saya kurang tahu daerah sana. Nanti dipandu saja ya.” Dieer! Dalam hati aku ketar-ketir. Tapi untung suamiku cukup cepat responsnya. Dia meminjam smart phone kawan kami itu untuk membuka GPS. Dan selamatlah kami…. Untung deh waktu itu ada suamiku. Kalau tidak, bisa repot karena aku tidak tahu jalan ke daerah Sunter. Beginilah kalau jarang keluar rumah. Aku tahunya jalan-jalan yang biasa kulewati saja. Sisanya aku mengandalkan suami. Hihi. Dan kami tidak bisa meminta kawan kami itu untuk memandu. Dia baru sehari di Jakarta. Jelas tidak tahu jalan pulang kan?

Saat kami di taksi, aku sempat mengobrol dengan mas sopir. Ternyata dia poolnya di daerah Tangerang. Pantas saja dia tidak tahu daerah Sunter. Beberapa kali aku melihat dia beringsut di kursinya. Kurasa dia sudah capek duduk terus. Apalagi saat itu hari hujan, pasti dia melewati banyak daerah macet. Aku tanya, “Sudah narik dari jam berapa, Mas?” Ternyata dia sudah mulai bekerja sejak pukul 9 pagi. Wah! Saat itu sudah hampir pukul 9 malam. Jadi, sudah 12 jam mas sopir itu bekerja. Aku tidak kebayang jika harus duduk terus selama itu. Ya, mungkin dia sempat makan atau istirahat. Mungkin. (Aku tidak menanyakannya sih.)

Waktu lewat daerah macet, aku berkomentar, “Jadi sopir taksi itu mesti sabar ya Mas? Apalagi saat melewati daerah macet seperti ini.”

“Iya. Saat tes masuk, orang yang tekanan darahnya tinggi, tidak akan diterima, Mbak.”

Dan sungguh aku salut dengan para pengemudi taksi. Sebagai konsumen, paling aku hanya kena macet beberapa jam saja. Tapi kalau pengemudi taksi? Bisa-bisa mereka sepanjang hari menghadapi kemacetan. Dia menambahkan, “Kalau pas macet begini, kaki kiri jadi mudah nyeri, karena harus sering menekan kopling.” (Eh, bener kopling nggak ya? Aku lupa-lupa ingat jawabannya. Dan lagi aku tidak bisa menyetir. Mana aku tahu kaki kiri tugasnya apa.)

Menurutku, di Jakarta ini pekerjaan yang paling menantang adalah sopir. Sopir apa saja. Mulai dari sopir metromini sampai sopir taksi. Kurasa mereka harus ekstra sabar menghadapi jalanan Jakarta yang semrawut. Walaupun para sopir kendaraan umum itu kulihat banyak yang berangasan, kurasa tingkat kesabaran mereka lebih tinggi dari aku.

Sepatu Sandal, Sahabatku

Aku lupa sejak kapan aku “alergi” memakai sepatu. Mungkin bukan “alergi”, lebih tepatnya “kurang suka.” Lebih halus kan rasanya? Yah, begitulah bahasa. Pintar-pintarlah menyusun kata apalagi untuk menyampaikan sesuatu yang bisa membuat orang lain tersinggung. *Ngomong untuk diri sendiri.*

Oke, balik lagi ke sepatu. Seingatku sejak aku lulus SMA, aku mulai jarang memakai sepatu. Waktu akan masuk kuliah, sempat aku memesan sepatu kulit di Magetan. Tapi entah mengapa, aku kurang nyaman memakainya. Rasanya kakiku jadi lebih mudah berkeringat. Belum lagi saat memakai sepatu baru, tumitku jadi lecet. Mungkin karena aku tidak memakai kaus kaki, ya. Kurasa sejak itulah aku pun mulai suka menggeser sepatu dan mulai memakai sepatu sandal. Saat membuat tulisan ini aku berusaha mengingat-ingat sepatu sandal seperti apa yang kupakai saat kuliah dulu. Kalau tidak salah mereknya Carvil. Eh, ini bukan iklan lo. Sepatu sandal ini agak berat rasanya. Dan kalau kena hujan, agak merepotkan karena bagian alasnya yang berlapis kulit (?) seperti menyerap air dan bau! Payah, deh. Terus terang aku tidak ingat bagaimana menyiasati sepatu sandal yang basah itu. Mungkin kujemur? Atau mungkin aku memakai sepatu sandal yang lain? Lupa.

Ketika aku bekerja kantoran, aku pun memakai sepatu sandal. Seingatku aku tidak pernah memiliki sepatu, kecuali sepatu kets–yang jarang kupakai. Entah mengapa, aku kurang suka belanja alas kaki. Dan sungguh, aku malas sekali ketika harus berburu sepatu sandal baru karena yang lama sudah rusak. Biasanya aku belanjanya di toko yang itu-itu saja. Seingatku aku biasa beli sepatu sandal di sebuah toko di Jalan Solo, Jogja. Aku sendiri lupa nama tokonya. Karena alasan itu, saat aku ngantor dulu, aku menyimpan di bawah meja kerja sepatu sandalku yang khusus kupakai di kantor. Pikirku, kalau terlalu sering dipakai jalan, akan cepat rusak. Kalau hanya dipakai di seputar kantor, kan lebih awet. Rasanya sepatu sandalku memang cukup awet.

Ketika aku pindah ke Jakarta, aku sempat membawa sepatu sandal yang dulu kupakai di kantor. Tapi karena di sini aku lebih banyak jalan kaki, sepatu sandalku yang khas untuk wanita itu terasa kurang nyaman di kaki. Menurutku sepatu sandal khusus untuk wanita itu kurang cocok untuk berjalan-jalan dan naik turun kendaraan umum. Meskipun haknya cukup pendek–mungkin sekitar 3 sentimeter–aku merasa cepat capek kalau pakai sepatu sandal tersebut. Jadi, akhirnya aku hanya memakainya saat ke gereja. Selebihnya aku lebih nyaman pakai sandal jepit. đŸ˜€ Parah ya?

Suatu kali aku merasa sudah saatnya aku memiliki sepatu untuk jalan-jalan di Jakarta. Maksudku, aku perlu sepatu yang memang nyaman untuk jalan kaki dan naik kendaraan umum. Kalau bisa yang awet walaupun kena hujan dan panas. *Haiyah, kaya mau jalan keliling Jakarta tiap hari saja.* Saat itu, aku membeli sepatu kain. Enak sih dipakai. Masalah timbul saat hujan turun. Sepatu kain itu seketika menyerap air dan dia mendadak jadi kapal pesiar. Selain itu, belum terlalu lama kupakai, bagian bawah sepatu itu sudah aus.

Akhirnya, ketika pulang ke Jogja, aku kembali mencari sepatu sandal yang pas untukku. Bayangkan, untuk cari sepatu sandal saja aku sampai menunggu pulang ke Jogja. Hebat bener kan? Hehe. Kaya di Jakarta kurang toko sepatu saja. Dan setelah putar-putar, aku menemukan sebuah sepatu sandal. Aku sendiri agak kurang yakin, sandal itu bisa disebut sepatu sandal atau tidak, ya? Orang bilang ini sandal gunung. Tapi aku tidak memakainya untuk jalan-jalan di gunung, tapi di kota. Sesekali saja kuajak dia ke Gunung Agung, Gunung Sahari, atau Gunung Ketur. *Ngelantur.*

IMG_2796
sepatu sandalku selama di Jakarta

Sepatu sandal ini sudah menemaniku kira-kira 3-4 tahun. Lupa persisnya. Memang dari penampilan sepatu sandal ini tidak terlihat cantik. Tapi aku paling suka dengannya. Rasanya nyaman di kaki. Pas. Yang agak masalah hanya saat kena hujan, talinya lama keringnya. Karena itu, saat hari hujan, aku menyimpannya di dalam rumah. Dan kalau terpaksa keluar, aku ganti dengan sepatu sandal lain dari karet yang lebih tahan dengan air. Tapi bagaimanapun, aku paling cocok dengan sepatu sandal itu. Mungkin jika sepatu sandal ini rusak, aku akan mencari yang serupa dengannya. đŸ˜€

Karenina dan Berbagai Pertanyaan

Awal Desember lalu, aku mendapat keponakan baru. Adik suamiku, Desy, melahirkan. Dan itu adalah pengalamanku yang pertama menunggui seorang perempuan yang melahirkan. Sebetulnya tidak terlalu menunggui banget sih, karena aku datang saat detik-detik terakhir. Oke, jadi begini ceritanya. Kamis tanggal 6 Desember lalu, suamiku ditelepon adiknya yang mengabarkan dia sedang ke RS. Carolus. “Sudah mau melahirkan, ya?” tanyaku. Katanya sih sudah flek-flek, tapi belum mules. Hari itu suamiku libur, jadi begitu mendapat kabar itu, dia langsung ke Carolus.

Aku mendadak agak mules juga, soalnya “singa matiku” sudah hampir menggeliat bangun untuk menerkamku. (Singa mati = plesetan dari kata “deadline” alias tenggat waktu. Ingat, ya bukan dateline. Dateline adalah garis tanggal internasional; an imaginary line that goes from the north pole to the south pole, to the east of which the date is one day later than it is to thewest–Longman Dictionary.) Walaupun tinggal membaca ulang hasil terjemahanku, tetap butuh waktu juga.

Ternyata Desy tidak harus opname dan kata dokter masih seminggu lagi. Aku ikut bernapas lega. Tapi besok paginya (Jumat 7 Desember), Desy menelepon dan mengatakan sudah mulai mules. Hiyaaa … kayaknya mesti gotong-gotong laptop ke rumah sakit, nih pikirku. Untung aku kemarin sudah minta tambahan waktu kepada editorku. Tapi aku membayangkan mungkin aku akan beberapa kali ke RS juga.

Paginya, aku mengantarkan sarung yang hendak dipinjam Desy untuk dibawa ke RS. Untung tempat tinggalnya dekat. Jadi, cukup jalan kaki. Dia sudah bersiap ke Carolus dengan suaminya. Aku pamitan bahwa aku barangkali akan ke RS agak sorean. Seharian itu aku merasa waktu seperti berlari. Pekerjaanku belum selesai dan aku harus beres-beres rumah supaya kalau kami agak lama di RS, kondisi rumah tidak terlalu seperti kapal pecah.

Sampai sore, belum ada kabar dari Desy jika dia sudah sudah melahirkan. Aku pun berangkat ke Carolus selepas magrib. Sampai di RS, aku bertemu suamiku, Jerry (suami Desy), dan Desy yang sedang mules-mules, bukaan tiga. Sampai pukul 20.00 bukaanya belum bertambah. Hmmm … jangan-jangan tengah malam baru lahir? Dan aku sudah kelaparan, sodara-sodara. Begitu pula dengan suamiku. Akhirnya kami berdua keluar RS untuk cari makan. Di luar, kulihat jalanan masih supermacet. Memang jalan depan Carolus itu kalau sore-malam macetnya mengerikan. Apalagi itu hari Jumat.

Suamiku mengajakku cari makan ke arah RS Thamrin. Oke saja deh. Untuk mencapai tempat makan yang kami pilih, kami melewati Seven Eleven (Sevel). Banyak anak muda duduk-duduk. Kulihat banyak sampah bertebaran. Wealah, ternyata sama saja. Jelas anak-anak muda yang nongkrong di Sevel itu bukan orang miskin, dan pasti cukup berpendidikan. Tapi kalau urusan sampah, sama saja! Mungkin mereka berpikir, toh nanti akan disapu sama petugas. Atau, toh aku sudah bayar (?). Parah ya? Aku rasa selama untuk urusan sesepele sampah saja belum beres, masyarakat kita tidak bisa maju.

Selesai makan, kami kembali lagi ke Carolus dan … jalanan masih macet! Padahal itu sudah sekitar pukul 21.00. Wuedan tenan Jakarta! Sesampainya di ruang bersalin, Imanuel, aku berpikir … betapa absurdnya hidup ini ya. Di depan sana, jalanan begitu padat. Orang saling menyerobot, saling berebut jalan, bahkan bisa dibilang separuh menggadaikan nyawa. Sementara itu, di salah satu bangsal belakang RS ini, suasana cukup sepi, seorang wanita berjuang menahan lara untuk mengantarkan bayinya ke dunia yang ruwet ini.

Tak lama kemudian, Desy sudah bukaan 9. Para medis sudah mengerubunginya untuk membantu melahirkan. Aku masih menghadapi ribuan huruf di depan komputer. Walaupun tidak bisa berkonsentrasi penuh, tapi aku berusaha tetap bekerja. Lha daripada bengong atau hanya menonton televisi? Mending bekerja, kan?

Allegra Karenina Godeliva Manuel umur 2 hari
Allegra Karenina Godeliva Manuel umur 2 hari

Di ruang sebelah kudengar suster memberi aba-aba supaya Desy mengejan. Lalu dalam hitungan menit, kudengar tangis bayi. Allegra Karenina Godeliva Manuel–yang dipanggil Nina–sudah lahir (aku sih memanggilnya Pipi, karena pipinya gembil hihihi. Maksa ya!). Dengan terkantuk-kantuk aku kemudian masuk ke kamar bersalin untuk menengok. Kulihat si bayi yang baru berumur beberapa menit itu sedang melakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Pipinya gembil, kulitnya masih merah, matanya masih agak terpejam. Aku bersyukur kelahirannya lancar.

Peristiwa kelahiran itu kini membuatku sering berpikir, kenapa ya bayi itu kedatangannya dirayakan? Mungkin kita–orang-orang yang sudah dewasa ini–banyak menyimpan harapan kepadanya. Berharap bayi mungil itu akan berubah menjadi anak yang manis, tidak nakal, membanggakan keluarga, pintar, dan segala macamnya. Tapi, bukankah para koruptur itu dulu juga selucu dan seimut keponakanku yang baru lahir itu? Kenapa mereka kini sama sekali tidak lucu? Kenapa mereka kini begitu tamak dan rakus? Dan aku pun teringat kemacetan yang berlangsung persis di depan Carolus tadi. Manusia yang dulunya seorang bayi yang mungkin cantik dan ganteng, seolah berubah tak punya hati dan tak bisa berpikir. Mereka sudah tidak lagi bisa berpikir bahwa peraturan yang semestinya bisa membuat mereka nyaman, justru dilanggar sendiri. Rusak sudah tatanan. Bukankah mereka dulu juga tak berdaya dalam pelukan ibu? Bukankah mereka adalah tumpuan harapan orang tuanya? Kenapa semua harapan itu seolah lenyap? Lalu, apakah sebenarnya manusia ini?

Berbagai pertanyaan itu masih bergelayut di benakku. Mungkin sampai napasku habis, aku belum bisa menjawabnya.

Obrolan Soal “Langit dan Bumi”

Apa yang pertama kali kamu bayangkan ketika mendengar kata Jakarta? Yang jelas, bayanganku sebelum dan sesudah tinggal di Jakarta berbeda sekali. Misalnya, dulu ketika kerabatku yang tinggal Jakarta datang untuk mengunjungi kami (waktu itu aku masih tinggal di Madiun), oleh-oleh yang dibawa adalah makanan yang kerap kulihat di televisi: Dunkin Donuts, Pizza Hut, dll. Waktu itu, makanan seperti itu termasuk makanan mahal dan langka. Jadi, kesanku Jakarta adalah kota yang gemerlap. Semua orang berduit tumplek blek di sana. Singkatnya: tak ada orang miskin di kota itu. Naif banget ya? Namanya juga masih bocah. Hehehe.

Kini setelah sekian tahun berlalu, aku tinggal di kota itu. Terus terang, memang Jakarta itu agak mengagetkan bagiku yang besar di kota kecil. Tak usah kuceritakan panjang lebar keterkejutanku itu. Yang jelas, di Jakarta masih tampak jelas kemiskinan di sana-sini. Membuat miris. Jauh sekali dari pandanganku ketika masih kecil.

Suatu kali aku dan suamiku berjalan-jalan tak jauh dari Mal Grand Indonesia. Dia bilang, “Daerah belakang sini masih banyak yang kumuh lo.” Aku tak percaya. “Masak sih?” Wong depannya magrong-magrong dan gemerlap begini lo, masak belakangnya kumuh? Dan waktu itu, kami kemudian berjalan ke daerah di belakang sekitar Grand Indonesia (dan Plaza Indonesia). Ternyata betul. Di sana rumahnya berdempet-dempet. Kalau dibilang kumuh banget, yaaa … nggak banget-banget sih. Tapi tetep saja sih, kontras dengan mal di depannya yang mewah. Bedanya seperti langit dan bumi.

Kini, aku tidak terlalu terkejut dengan berbagai kekumuhan yang dapat ditemukan dengan mudah di Jakarta. Biasanya tempat-tempat seperti itu berdekatan dengan daerah yang tampak mewah. Kalau kamu melihat kompleks rumah gedong, bisa dipastikan tak jauh dari situ ada sederetan rumah-rumah yang rapat, kecil, dan biasanya berventilasi buruk. Lengkap dengan gang cukup dilalui oleh satu sepeda motor. Tikus got yang hitam dan gemuk pun menjadi penghuni tetapnya.

Kadang aku berpikir, apakah rumah-rumah yang rapat dan terkesan kumuh itu menyangga kehidupan mewah di sebelahnya? Bukannya tidak mungkin jika para penghuni kompleks rumah mewah itu memakai jasa dari orang-orang yang tinggal di daerah yang kurang beruntung itu. Mungkin ada yang menjadi tukang cuci, satpam, tukang kebun, dan lain-lain.

Aku tak tahu ini jenis hubungan macam apa. Apakah ini bisa disebut simbiosis mutualisme? Apakah karena itulah kemiskinan langgeng senantiasa? Jika tidak ada orang miskin, barangkali tidak akan ada lagi pekerja kasar?

Kupikir-pikir, orang tetap miskin karena tidak mendapatkan akses. Akses untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, akses informasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, akses untuk mengembangkan diri.

Ah, embuh. Wis bengi. Ngantuk … Yang kaya gini memang cuma “nikmat” untuk diomongin eh … ditulis di blog, maksudku.

Dilema Ibu Bekerja

Ini bukan curhatku. Tapi aku hanya mau sekadar cerita tentang yang kulihat dan kuamati belakangan ini.

Mungkin kira-kira setahun lalu, seorang temanku datang sore-sore dan menanyakan apakah ada orang yang bisa ia pekerjakan untuk mengasuh anak balitanya. Kurasa temanku ini sudah habis akal sampai menanyakan hal seperti itu kepadaku. Jelas aku pendatang di kota ini dan tidak banyak yang kukenal di sekitar sini, mestinya dia sebagai orang yang lahir dan besar di kota ini lebih tahu ke mana mencari pengasuh. Pengasuh yang dia cari itu sebisa mungkin tidak menginap. Dia tinggal di kontrakan yang hanya cukup untuk menampung dia dan suaminya serta satu anak balita. Dia mengatakan sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak dapat juga. Padahal dia tidak bisa keluar dari pekerjaannya dan total mengabdikan diri untuk anaknya. Tak mungkin hanya mengandalkan gaji dari suaminya. Untuk beli susu anaknya saja pasti sudah cekak. Mau tak mau aku pun ikut kebingungan. Setelah menempuh sekian hari yang sangat merepotkan, akhirnya temanku itu mendapatkan pengasuh untuk anaknya.

Namun, aku masih ingat betul ketika dia menceritakan hari-harinya yang berat itu. “Aku tidak bisa tidur dan cuma menangis kalau malam.” Ya, bisa kubayangkan kerepotan dan kebingungannya.

Belum lama ini seorang teman juga bercerita bahwa cutinya melahirkan sudah habis. Sudah waktunya kembali ke kantor. “Tapi aku bingung nih. Sampai sekarang belum dapat orang yang bisa momong anakku.” Untung saja kantornya cukup berbaik hati. Dia boleh membawa anaknya ke kantor. Kebetulan di kantornya tersedia ruangan (semacam rumah di lantai paling atas), di mana dia bisa menidurkan anaknya di sana. “Tapi kan tidak enak kalau tidak ada yang mengawasi anakku.” Memang sih, lantai teratas itu kosong. Jadi, kubayangkan dia pasti harus bolak-balik naik turun tangga untuk menengok anaknya. “Kalau sampai sebulan ini aku tidak mendapatkan pengasuh untuk anakku, aku terpaksa keluar. Mau bagaimana lagi?”

Temanku itu sudah cukup lama bekerja di kantor tersebut. Mungkin dia termasuk salah satu karyawan “andalan”. Kalau dia keluar, mungkin perusahaannya itu yang agak kerepotan mencari pekerja baru. Tapi keluarga/anak lebih penting dari pekerjaan, katanya.

Beberapa bulan yang lalu aku bertemu seorang calon ibu muda. Usia kehamilannya baru sekitar lima bulan. Aku bertanya, “Besok kalau anakmu sudah lahir, rencananya siapa yang mengurus?” Jawabannya agak membuatku kaget: “Tidak tahu.” Tapi dia kemudian mengatakan bahwa kemungkinan dia akan mempekerjakan baby sitter atau menitipkan anaknya ke daycare. Bagaimanapun aku masih kaget dengan jawaban “tidak tahu”-nya itu.

Dulu, ketika aku masih bekerja kantoran, ada seorang temanku yang punya dua anak balita. Ada kalanya dia “terpaksa” cuti karena asisten rumah tangga (ART) atau pengasuh anaknya mendadak minta pulang atau kabur. Kejadian semacam itu cukup sering seingatku. Kadang ART-nya baru kerja sebulan bekerja, lalu minta pulang. Itu berarti dia harus mencari ART yang baru dalam waktu dekat. Kalau agak lama tidak dapat-dapat, dia meminta orang tua atau mertuanya datang untuk mengawasi anaknya.

Rasa-rasanya seperti itulah kerepotan seorang ibu yang bekerja: kesulitan mendapatkan pengasuh atau ART, sementara dia sendiri belum tentu bisa meninggalkan pekerjaannya. Agak beruntung jika gaji dari suaminya bisa diandalkan. Kalau tidak? Mau tidak mau, sebagai istri dia harus bekerja juga. Belum tentu juga dia “ikhlas” dan legowo meninggalkan pekerjaannya. Pernah juga kudengar seorang ibu sebetulnya masih ingin bekerja, tapi karena anak-anak di rumah tidak ada yang mengurus, mau bagaimana lagi? Kurasa tidak semua perempuan ingin betul-betul sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah dan membaktikan hidupnya membesarkan anak. Oke, banyak yang bilang itu adalah tugas mulia. Tapi belum tentu semua perempuan menginginkan itu. Ada juga perempuan yang senang bekerja kantoran, beraktivitas dengan teman-teman, mengejar karier, dan semacamnya.

Selama ini kerepotan seperti itu tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Kebanyakan orang agaknya masih mengandalkan bantuan dari keluarga besarnya untuk soal pengasuhan anak. Tapi, tidak semua orang bisa seperti itu, kan? Aku rasa, jika di setiap kantor ada penitipan anak, seorang ibu bisa bekerja dengan lebih tenang. Jika di tiap kantor susah diadakan penitipan anak, minimal di lingkungan sekitar kantornya ada. Dan kalau bisa sih, penitipan tersebut tidak berbasis agama atau membawa-bawa agama tertentu. Bagaimanapun, Indonesia ini agama orang tidak seragam, bukan? Kalau mau berbasis agama, silakan buat penitipan anak di rumah ibadat masing-masing. Ini cuma usul sih.

Se-Gadget Apakah Kamu?

Terus terang aku bukan orang yang gemar membeli gadget baru. Bahkan belakangan ini boleh dikatakan seleraku terhadap gadget menurun. Ponsel yang kupakai pun tergolong jadul. Sangat tidak menarik, kurasa. Sengaja aku memilih ponsel yang hanya bisa untuk bertelepon dan kirim sms, layarnya pun tidak berwarna. Kenapa? Selama di Jakarta aku masih naik kendaraan umum, ponsel semacam itulah yang tidak membuatku deg-degan saat aku harus memakainya di tempat umum. Di Jakarta aku sebetulnya cukup sering menyaksikan orang-orang memakai ponsel bagus saat sedang di jalan atau di tengah keramaian. Tapi nyaliku tidak sebesar itu. Di kepalaku masih tertanam kota ini kurang ramah. Jadi, aku mesti ekstra hati-hati supaya keselamatan diriku tidak terancam. Bayangkan, jika aku jadi sasaran jambret atau copet hanya karena punya ponsel bagus, apa untungnya bagiku?

Dulu, pandanganku terhadap ponsel tidak seperti itu. Pandangan yang kuanut waktu awal-awal aku punya ponsel adalah, semakin canggih ponselku, semakin kerenlah aku. Walaupun aku saat itu belum mampu beli ponsel bagus, diam-diam aku suka kagum saat melihat orang yang pakai ponsel bagus. Lalu aku mulai berpikir, kapan ya aku bisa beli ponsel baru yang keren? Setidaknya, yaaa … punya gadget atau ponsel yang kaya orang-orang itu lo. Tapi itu dulu. Sekarang malah sepertinya kebalikannya. Semakin banyak orang pakai gadget tertentu, aku malah jadi semakin malas untuk memiliki gadget serupa. Pandangan yang antik, kurasa.

Tapi barangkali seleraku soal gadget itu memang rendah. Wong gaptek, je! Dan kenyataannya aku tidak pernah punya smartphone atau gadget nan keren-keren itu. Mungkin ini adalah gabungan antara selera gadget yang rendah dan pelit. Sangat sedikit uang yang kualokasikan untuk membeli gadget. Asal bisa memenuhi kebutuhan utamaku, cukuplah. Dan rasa-rasanya saat aku mengeluarkan ponselku yang unyu-unyu itu, dia tampak tenggelam di antara kecanggihan gadget yang dimiliki orang lain.

Sehari setelah aku dan suamiku ikut lokakarya di Erasmus tempo hari, suami berkata, “Kamu perhatikan tidak, bule-bule yang ikut lokakarya kemarin itu kebanyakan (atau malah semuanya?) tidak sibuk dengan gadget, ya?” Kuingat-ingat, memang iya sih. Mungkin kalaupun mereka punya ponsel atau gadget, tidak bisa dipakai di sini? Mungkin. Aku juga tidak sempat tanya ke mereka. đŸ˜€ Tapi seingatku, tidak kulihat ada yang mengeluarkan tablet dan uplek sibuk sendiri. Memang ada yang membuka laptop, tapi intensitas pemakaiannya kulihat tidak sebanyak orang Indonesia. Mereka kulihat tampil sederhana dan saat berbincang dengan orang lain tidak disambi dengan mengutak-atik gadget atau smartphone. Malah ada yang masih mencatat di agenda kecilnya. Begitu, seingatku.

Yah, pada akhirnya setiap orang bebas memilih. Mau selalu mengikuti gadget terbaru, silakan. Mau uplek dengan smartphone-nya, ya monggo kerso. Boleh-boleh saja. Tapi sampai sekarang aku masih memilih memakai ponsel bututku yang unyu itu. Tak apalah tampak jadul, yang penting ponselku selalu ada pulsanya. đŸ˜€ đŸ˜€ Entah sampai kapan aku memegang prinsip ini. Tapi rasa-rasanya aku kini cenderung kagum pada orang yang tidak selalu sibuk dengan gadgetnya. Atau, kalaupun dia punya gadget bagus, tidak pamer dan hanya memakai seperlunya. Nah, kalau kamu bagaimana?

Seminggu Jadi “Pekerja Jakarta”

Bulan ini blogku ini “berulang tahun”. Mestinya aku justru lebih banyak nulis di blog ya. Tapi aku  malah jarang menampilkan tulisan baru. Sebenarnya ini bermula karena koneksi internetku sedang tidak bersahabat. Beberapa kali aku bahkan tidak bisa membuka blogku sendiri. Aku sempat terpikir untuk ganti provider. (Kasih info dong provider mana yang kenceng koneksinya dan tarifnya lumayan bersahabat. :)) Sebetulnya kalau niat, bisa saja aku ke kafe yang tidak terlalu jauh dari rumah dan numpang pakai wifi. Tapi aku sedang tidak niat dan tidak sempat. Uh, benar-benar pemalas ya! Tapi, tidak sempatku itu juga ada alasannya. Minggu lalu selama satu minggu (mulai tanggal 8-13 Oktober) aku icip-icip jadi “pekerja Jakarta”. Tidak, aku tidak jadi pekerja kantoran kok. Tepatnya aku ikut lokakarya penerjemahan sastra di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta.

Karena ikut lokakarya itu, aku jadi bisa merasakan seperti apa rasanya berangkat pagi dan sampai rumah ketika matahari sudah habis masa tayangnya. Ternyata lumayan capek, ya! Sebetulnya, jarak dari rumah ke tempat lokakarya itu tidak terlalu jauh. Itu untuk ukuran Jakarta. Tapi separuh perjalanan ke sana mesti melewati beberapa titik macet. Sebelumnya juga mesti ikut mengejar bus. Hari pertama aku tidak dapat tempat duduk. Dan rasanya berdiri di dalam bus yang jalannya merayap itu aduhai banget. Maka hari berikutnya aku mesti bangun lebih pagi jadi bisa bersiap-siap lebih awal. Di saat seperti itu aku bersyukur banget bisa bekerja dari rumah saja. đŸ™‚

Pengalamanku berangkat pagi-pulang sore seminggu kemarin memelekkan mataku tentang cerita biadabnya lalu lintas Jakarta di pagi dan sore hari. Kemacetan itu memang rasanya tidak masuk akal. Kendaraan merayap, paling hanya jalan 10-20 km/jam. Kuamati kemacetan itu penyebabnya sepele: kendaraan yang parkir di bahu jalan, angkot ngetem, galian di jalan. Selain itu kendaraan pribadi begitu banyak sehingga rasanya tak tertampung di jalanan yang luas dan panjangnya segitu-gitu saja. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kendaraan umum kondisinya memprihatinkan, plus jumlahnya yang tidak sebanding dengan penumpang yang membludak.

Yah, meskipun perjalanan pulang pergi ke tempat lokakarya membuatku cukup capek, aku senang bisa ikut kegiatan itu. Yang jelas, di situ selain menambah teman, aku bisa menambah ilmu dalam menerjemahkan. Di situ kami bersama-sama menerjemahkan teks nukilan novel Dover karya Gustaaf Peek. Aku masuk dalam kelas penerjemahan relay bahasa Belanda-Inggris-Indonesia. Maksudnya, teks aslinya adalah bahasa Belanda, selanjutnya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dan dari situ diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kelasku berisi 11 orang dengan 1 orang mentor, Mas Anton Kurnia. Kami mendiskusikan makna kalimat dalam teks bahasa Inggrisnya dan tiap pilihan kata bahasa Indonesia yang hendak kami pakai dalam terjemahan. Yang “nikmat” adalah selama proses itu kami “dikurung” bersama Mas Gustaaf Peek yang ganteng dan penerjemah Belanda-Inggris, David Colmer. Kehadiran David dan Gustaaf membuat kami bisa bertanya apa saja tentang teks yang ada di hadapan kami. Kami bahkan membahas tanda baca dan pemakaian huruf kapital. Bagi orang yang tidak banyak berurusan dengan huruf dan kata, mungkin hal semacam itu tidak ada gunanya. Tapi menurutku, diskusinya seru banget. Pada hari terakhir lokakarya itu kami mementaskan sepenggal adegan novel yang telah kami terjemahkan.

sempet poto bareng mas ganteng di ujung acara. ini hasil jepretan suami loh đŸ˜€

Rasanya tidak rugi aku menyicipi pengalaman menjadi “pekerja Jakarta” yang harus melewati titik-titik kemacetan dan berdesak-desakan dalam kendaraan umum. Pengalaman itu justru membuatku mantap untuk bekerja di rumah. đŸ˜€ Sesekali aku memang harus keluar rumah untuk mencari teman dan pengalaman baru. Jadi, kuanggap saja lokakarya minggu lalu itu sebagai “liburan”. đŸ˜‰

Ngomong-ngomong apa pengalaman barumu akhir-akhir ini?

Harga Jakarta

Ini sebetulnya cerita lama. Dulu, ketika aku masih tinggal di Jogja, aku tidak terbiasa mengambil uang di ATM dalam jumlah banyak. Aku paling sering mengambil uang dari ATM yang mengeluarkan uang Rp 20.000-an. Setting ceritanya sudah mulai kelihatan kan? Tahun berapa itu ya ATM 20 ribuan masih bisa membuat hatiku ayem? Mungkin sekitar tahun ’90-an akhir menjelang awal tahun 2000-an. Waktu itu, aku memang baru mulai mengenal apa itu bekerja dan orang tuaku tidak lagi memberi uang saku bulanan.

Waktu itu aku bekerja di Jogja. Gaji ya … cukuplah untuk seorang lajang. Setidaknya dulu aku bisa beli 1-2 buku baru setiap bulan. Masih sering makan di luar karena masih agak jarang masak sendiri. Lagi pula di Jogja banyak warung makan dengan harga mahasiswa. Dan itu aku masih bisa menabung.

Saat aku mulai bekerja di Jogja, beberapa temanku mulai mengepakkan sayap meninggalkan Jogja. Kebanyakan bekerja di Jakarta. Tentu gaji mereka lebih banyak dari aku dong. Iyalah, standar Jakarta gitu lo. Aku waktu itu belum mengerti betul seperti apa sih kehidupan di Jakarta? Berapa ongkos yang harus mereka keluarkan setiap hari untuk makan dan transport? Aku sendiri hampir tidak pernah mengisi dompetku sampai angka 100.000 untuk biaya hidup seminggu. Itu untuk ongkos transport dan makan ya. Kalau untuk tempat tinggal aku masih sempat tinggal di rumah Simbah (dan akhirnya pindah ke rumah di Jogja sebelah utara). Tapi waktu itu uang seratus ribu itu terasa banyak sekali. Wong, makan bakso ayam di depan Gramedia (Jl. Sudirman) saja masih Rp 3000 semangkok. Itu sudah kenyang banget! (Entah sekarang bakso ayam itu masih ada atau enggak ya?) Dan kalau mau makan di warung makan mahasiswa, masih sekitar Rp 2000. (Zaman kakakku kuliah, tahun 1992, soto di seputaran UGM masih Rp 300.)

Suatu kali aku bertemu seorang temanku yang sudah bekerja di Jakarta. Dia cerita begini: “Boros deh hidup di Jakarta. Tiap malam minggu aku pergi makan sama teman-teman. Sekali jalan bisa habis 100 ribu sendiri.”

Wah? Sebanyak itu? Tapi kurasa itu jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan gajinya saat itu. (Ini pemikiranku sekarang sih.)

Kini aku tinggal di Jakarta. Di sini harga makanan mungkin lebih mahal dibandingkan di daerah. Walaupun kalian pasti banyak yang bilang, “Makan di mana dulu? Di Jakarta masih ada kok warung makan yang kisaran harganya 5000-7000 sekali makan.” Iya kan? Iya kan? Itu komentar orang yang luar biasa pelit hemat. Pasti ada sih warung makan yang murah. Tapi kalau makan di restoran macam KFC, kurasa sekarang kisarannya minimal Rp 25.000-an barangkali ya? Atau lebih? Tapi kurasa, sekarang untuk makan berdua di sebuah restoran dengan kategori sedang, rata-rata mesti siap uang Rp 50.000.

Beberapa waktu yang lalu, aku pernah pasang foto jajanan yang dijual di pinggiran jalan Solo, Jogja. Namanya lekker kalau tidak salah. Semacam crepes kalau di pusat-pusat perbelanjaan. Harganya waktu itu sekitar 500-700 rupiah. (Ini harga kira-kira 3 tahun yang lalu.) Waktu foto itu kupasang di jejaring sosial, temanku yang tinggal di Jogja berkomentar, “Jajanan larang kui.” (Jajanan mahal, tuh!) Padahal menurutku, itu murah. Yah, rupanya otakku sudah beradaptasi dengan harga Jakarta.

Ketika aku pulang ke Jogja dua bulan yang lalu, aku makan di sebuah kedai yang menyediakan chinese food. Aku lumayan kaget waktu kutahu harga semangkok cap cay Rp 7.000. Memang kedai itu letaknya di dekat kampus. Tapi yah, aku tetap saja kaget. Biasanya di Jakarta, makan cap cay paling murah 15-17 ribu. Kalau di restoran yang lebih bersih, harganya bisa 20 ribuan ke atas. Dan, cap cay Rp 7.000 itu mengenyangkan juga kok. Ditambah lagi waktu itu aku sedang lapar-laparnya. Rasanya juga nggak parah. Masih cukup enak. Walaupun tidak bisa kubilang rasanya luezaat… Tapi cap cay harga segitu = cap cay seharga Rp 15.000 di Jakarta. Waktu aku bilang ke kakakku bahwa harga cap cay itu murah sekali, kakakku bilang begini, “Harga segitu itu ya biasa. Malah bisa dibilang untuk anak mahasiswa agak mewah. (Tergantung jenis mahasiswa yang mana sih. Kalau yang kaya, ya murah kali.) Jadi, mikirnya, kalau di Jakarta harga cap cay bisa dua kali harga cap cay di sini, berarti minimal standar gaji di Jakarta dua kali gaji di sini.” Kalau kubilang sih, standar gaji di Jakarta bisa tiga atau lima kali gaji di Jogja.

Memang sepertinya tidak terlalu salah kalau orang mengatakan bahwa di Jakarta apa-apa mahal. Selain itu, pendapatan di Jakarta jauh lebih tinggi. Jadi, jika orang berbondong-bondong menyerbu Jakarta, itu biasanya untuk cari uang. Setahuku ada beberapa orang yang meninggalkan keluarganya di daerah, sementara ia sendiri bekerja di ibu kota. Jadi, tiap akhir pekan mereka pulang untuk bertemu keluarga. Banyak yang menjalani kehidupan seperti itu sampai bertahun-tahun. Banyak alasan yang membuat mereka tidak memboyong keluarganya di Jakarta. Salah satunya soal perumahan. Lalu apakah kondisi kehidupan di Jakarta lebih baik daripada di daerah (misalnya untuk kondisi lingkungan atau pelayanan publik)? Lebih baik tanya saja kepada orang-orang yang sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta. Bagi yang sudah terbiasa sih ya … oke-oke saja barangkali. Aku sih no comment saja lah.

Hiburan Sebatang Rumput

Aku kumat aras-arasen lagi. Hehe. Kurang lebih sudah seminggu ya aku tidak posting tulisan di blog. Bingung mau mulai nulis dari mana dan cerita apa. Mungkin singkat saja deh.

Peristiwa ini sudah cukup lama. Tapi aku tidak pernah melupakannya. Lagi pula belum pernah kutulis, walaupun untuk konsumsi pribadi.

Suatu kali aku sedang dalam perjalanan naik kereta dari Jogja ke Jakarta. Kalau tidak salah ini kira-kira dua tahun yang lalu, saat aku mudah sekali merasa aras-arasen dan mendadak bete saat kereta yang kutumpangi mulai berjalan. Jalannya roda kereta di atas rel itu menandai keluarnya diriku dari zona nyaman. Nggak perlu dibahas lagi kan ya kalau aku merasa energiku kurang begitu cocok dengan ibu kota ini. Walaupun di Jakarta ada suami, tapi kalau lingkungan di sekelilingku rasanya membuatku remuk redam kan ya gimana gitu deh ah. Please dong ah! *apaan sih?* Wis ah, nggak perlu dibahas panjang-panjang. Jadi singkat cerita, aku bete. Titik.

Biasanya aku menghilangkan kebetean itu dengan tidur. Kadang bisa tidur cukup lama saat di kereta. Kadang aku membaca buku. Kalau capek membaca, biasanya aku melihat pemandangan di luar jendela. Entah kenapa ya pemandangan di luar jendela itu sepertinya menarik. Aku paling suka ketika keretaku sampai di daerah persawahan, hutan kecil, atau daerah pedesaan. Suasana tampak ayem, tentrem, membuat hatiku damai. Tapi menjelang Jakarta, pemandangan itu biasanya berganti dengan rumah-rumah yang padat berimpitan dan kumuh. Sama sekali bukan pemandangan yang enak untuk dilihat. Saat itu, rasa bete mulai muncul kembali. Hati dan pikiranku mulai berceloteh ngalor ngidul. Kalau kuturuti dan kuikuti celotehan itu, aku bisa capek sendiri. Jadi cara terbaik adalah membiarkannya berceloteh tanpa mengikutinya.

Akhirnya, kereta berhenti di sebuah stasiun kecil. Aku tidak ingat itu daerah mana, tapi sudah cukup dekat dengan Jakarta. Mendadak mataku tertumbuk pada sebuah rumput gajah. Warnanya hijau cerah. Rumput itu tumbuh di sela-sela reruntuhan beton dan batu-batu. Pemandangan di sekitarnya sama sekali tidak cantik. Tapi dasarnya aku suka warna hijau cerah, aku jadi berlama-lama memandang rumput itu. Mendadak aku melihat rumput itu cantik sekali. Daunnya melambai-lambai tertiup angin, seolah-olah dia memberikan senyuman yang paling manis kepadaku. Aku merasa terhibur oleh lambaiannya itu. Lalu aku berpikir, “Rumput itu cantik karena tampil apa adanya, meskipun dia begitu sederhana.” Ya, sepertinya kalau kita tampil apa adanya meskipun kita tidak tampak wah, kita bisa tetap cantik ya. Meskipun kata orang cantik atau tidak itu tergantung siapa yang melihat. Tapi toh aku bisa melihat kecantikan rumput itu. Dan sebagai pemilik mata, barangkali aku perlu melatih melihat hal-hal biasa di sekelilingku. Hal biasa dan sederhana biasanya menyimpan kedalaman tersendiri–dan bisa memberikan hiburan dan kelegaan bagi yang menikmatinya.

 

Teka-Teki di Balik Pengamen

Hari ini dua kali aku naik metromini. Pertama, naik 46, dan kedua naik 49. Dua metromini itu melewati jalan Utan Kayu. Biasanya setiap kali melewati jalan itu, ada pengamen yang naik. Tadi juga begitu. Biasanya aku agak enggan menyisihkan uang receh untuk para pengamen soalnya suara mereka biasanya ya … biasa saja lah. Tapi hari ini tidak.

Dua pengamen yang kutemui suaranya lumayan. Pengamen yang pertama menyanyikan lagu bergaya Melayu. Cengkoknya yang membuatku mau membuka dompet dan mencari receh dengan nilai yang paling besar–lima ratus rupiah. Jumlah yang sedikit barangkali ya? Pengamen kedua menyanyikan lagu keroncong. Entah bagaimana suara, pilihan lagu, dan penampilannya mengingatkanku pada bapak-bapak yang hendak berangkat ke sawah, yang kadang kutemui ketika pulang kampung. Padahal jelas bapak-bapak yang mau berangkat ke sawah itu tidak sambil mendendangkan lagu keroncong. Tapi begitulah pikiranku. Pikiran itu muncul begitu saja. Aneh memang ya. Mungkin karena keduanya memancarkan suatu semangat.

Menurutku, suara kedua pengamen itu bagus dibandingkan para pengamen lain yang suaranya cenderung pas-pasan. Aku bersedia memberi angka delapan untuk suara mereka. Kalau mereka punya kelompok musik, mungkin bisa tampil di kafe-kafe. Mungkin sih ya.

Ketika menuliskan pengalaman bertemu mereka tadi, aku jadi merenungkan, sebetulnya apa yang membuatku mau memberi mereka uang? Padahal aku termasuk pelit lo untuk memberi uang kecil kepada pengamen atau pengemis. Kalau pengemis sih, aku sudah hampir tidak pernah memberi. Kalau pengamen, masih pilih-pilih. Kalau suaranya bagus, ya aku kasih. Tapi, sebetulnya pemberian itu terdiri dari komponen apa saja? Setelah kupikir-pikir, pemberian itu terdiri dari rasa kagum dan kasihan. Ya, kasihan. Mungkin rasa kasihan itu sampai 60%. Loh, jadi lebih banyak rasa kasihan? Sepertinya begitu. Kasihannya itu karena mereka sebetulnya punya kemampuan lumayan, tapi kehidupan hanya mengantarkan mereka di atas panggung bernama metromini (atau bus-bus lain). Kalau dibandingkan dengan para penyanyi yang sering tampil dalam acara-acara musik di televisi zaman sekarang, suara mereka tidak kalah. Barangkali mereka kurang beruntung. Mereka belum menemukan koin keberuntungan seperti Paman Gober. Meskipun sekarang banyak kontes-kontes yang dapat mengantarkan ke panggung nasional, seperti misalnya, Indonesian Idol, tapi barangkali energi mereka untuk ke sana masih belum cukup. Entahlah.

Barangkali ketika aku merogoh dompet koinku, aku seperti melihat perjalanan hidup manusia pada umumnya. Aku yakin mereka punya punya cita-cita setinggi bintang atau mungkin cita-cita sederhana seperti orang pada umumnya–menikah, punya keluarga, dapat menghidupi keluarga dengan baik. Tapi kehidupan kadang-kadang memangkas cita-cita kita. Apakah sebagai manusia kita kurang berusaha? Mungkin iya, mungkin tidak. Atau barangkali dalam cita-cita yang terpangkas itu terpendam suatu teka-teki yang menuntut untuk diselesaikan, barulah setelah itu kita dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi? Entahlah. Hidup ini sendiri kadang-kadang juga bagaikan teka-teki. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah berjuang sekuat tenaga dan saling mendukung satu sama lain.

Wong awalnya hanya menyaksikan pengamen, kok ujung-ujungnya serius begini ya?