Hari Kamis minggu lalu, aku bersama suami dan seorang kawan dari Jepang keliling Jakarta. Sebetulnya bukan keliling, sih karena kami hanya ke seputar Menteng, ke Museum Nasional, lalu ke Plaza Indonesia. Tulisan ini bukan bermaksud membahas perjalanan kami itu, tapi aku ingin bercerita soal perjalanan pulang kami. Soal acara jalan-jalan itu mungkin–kalau aku sempat dan niat–akan kutulis di lain waktu.
Ceritanya, setelah dari Museum Nasional, kami sebetulnya ingin makan di rumah makan Manado, Tude, dekat halte Tosari. Kami naik bus TransJakarta dari depan museum. Tapi waktu itu hujan cukup deras, jadi kami memutuskan untuk mencari makan di Plaza Indonesia saja. Alasannya sederhana, kalau turun di halte depan Plaza Indonesia kami tidak perlu berjalan kaki cukup jauh.
Hujan masih mengguyur setelah kami selesai makan dan belanja sedikit. Niatnya kami memang akan pulang naik taksi. Kami lalu antri di pelataran Plaza Indonesia, menunggu taksi datang. Tapi ternyata meski sudah menunggu cukup lama–sampai kakiku pegal dan panas–tak ada taksi yang datang. Padahal antrian semakin panjang. Suamiku sempat berjalan ke trotoar mencari taksi. Tapi dia bilang, “Nggak ada taksi. Kalaupun ada, mereka nggak mau ngangkut kayaknya.” Ha? Sungguh aku terkejut. Dulu aku memang pernah mendengar bahwa jika hari hujan, sulit sekali mencari taksi di Jakarta. Aku pikir, ah memang sesulit apa sih? Dasarnya aku tidak pernah keluar rumah pas hari hujan, aku menyepelekan kenyataan itu. Dari kejauhan kulihat bus TransJakarta juga sangat penuh. Tidak ada pilihan lain selain menunggu taksi. Apalagi kami bersama teman yang warga negara asing. Rasanya tidak tega mengajaknya naik kendaraan umum yang berjejal.
Akhirnya, setelah sekian lama, datang sebuah taksi BB. Kami segera naik. Tujuan pertama kami adalah ke Sunter, tempat teman kami menginap. Setelah itu baru dari sana kami melanjutkan perjalanan pulang ke Rawamangun. Begitu naik, suamiku menyebutkan tujuan. Dan jawabannya: “Mas, saya kurang tahu daerah sana. Nanti dipandu saja ya.” Dieer! Dalam hati aku ketar-ketir. Tapi untung suamiku cukup cepat responsnya. Dia meminjam smart phone kawan kami itu untuk membuka GPS. Dan selamatlah kami…. Untung deh waktu itu ada suamiku. Kalau tidak, bisa repot karena aku tidak tahu jalan ke daerah Sunter. Beginilah kalau jarang keluar rumah. Aku tahunya jalan-jalan yang biasa kulewati saja. Sisanya aku mengandalkan suami. Hihi. Dan kami tidak bisa meminta kawan kami itu untuk memandu. Dia baru sehari di Jakarta. Jelas tidak tahu jalan pulang kan?
Saat kami di taksi, aku sempat mengobrol dengan mas sopir. Ternyata dia poolnya di daerah Tangerang. Pantas saja dia tidak tahu daerah Sunter. Beberapa kali aku melihat dia beringsut di kursinya. Kurasa dia sudah capek duduk terus. Apalagi saat itu hari hujan, pasti dia melewati banyak daerah macet. Aku tanya, “Sudah narik dari jam berapa, Mas?” Ternyata dia sudah mulai bekerja sejak pukul 9 pagi. Wah! Saat itu sudah hampir pukul 9 malam. Jadi, sudah 12 jam mas sopir itu bekerja. Aku tidak kebayang jika harus duduk terus selama itu. Ya, mungkin dia sempat makan atau istirahat. Mungkin. (Aku tidak menanyakannya sih.)
Waktu lewat daerah macet, aku berkomentar, “Jadi sopir taksi itu mesti sabar ya Mas? Apalagi saat melewati daerah macet seperti ini.”
“Iya. Saat tes masuk, orang yang tekanan darahnya tinggi, tidak akan diterima, Mbak.”
Dan sungguh aku salut dengan para pengemudi taksi. Sebagai konsumen, paling aku hanya kena macet beberapa jam saja. Tapi kalau pengemudi taksi? Bisa-bisa mereka sepanjang hari menghadapi kemacetan. Dia menambahkan, “Kalau pas macet begini, kaki kiri jadi mudah nyeri, karena harus sering menekan kopling.” (Eh, bener kopling nggak ya? Aku lupa-lupa ingat jawabannya. Dan lagi aku tidak bisa menyetir. Mana aku tahu kaki kiri tugasnya apa.)
Menurutku, di Jakarta ini pekerjaan yang paling menantang adalah sopir. Sopir apa saja. Mulai dari sopir metromini sampai sopir taksi. Kurasa mereka harus ekstra sabar menghadapi jalanan Jakarta yang semrawut. Walaupun para sopir kendaraan umum itu kulihat banyak yang berangasan, kurasa tingkat kesabaran mereka lebih tinggi dari aku.