Belakangan kupikir Agustus adalah bulan kita. Iya, Agustus. Bukan Juli, ketika kita mengawali perjalanan hati. Beberapa hari ini memori di media sosialku berisi tentang perjumpaan-perjumpaan kita. Hei, kita menyusuri jalanan Borneo bulan Agustus kan dulu? Dua puluh Agustus, sepuluh tahun silam.
“Dik, maaf aku tidak mampir ke kotamu. Waktuku pendek sekali.”
Sebersit kekecewaan mengapung di udara. Aku sudah mengosongkan hari-hari setelah ulang tahun ibumu. Aku teringat kehadiranmu setahun yang lalu. Namun, sudah kuantisipasi kekecewaan itu.
“Oh, ya. Tak apa. Aku pun sedang banyak pekerjaan,” tukasku setengah berbohong. Ya, ada pekerjaan memang, tapi semua bisa kugeser jika kau datang. “Jam berapa besok pesawatmu, Mas?”
“Pagi. Setengah delapan sudah take off.”
“Hati-hati selama di perjalanan ya, Mas. I love you.”
“I love you, too, Dik.”
End call.
Aku merasa Agustus ini membiru.