Catatan Seputar Lebaran (dan Puasa)

Aku tidak merayakan Lebaran. Jadi, ini hanya tulisan sambil lalu atau sekadar catatan pengamatanku saat masa puasa dan Lebaran kemarin.

Sejak aku tinggal di Jakarta, aku memang tidak pernah berniat untuk ikut mudik lebaran. Meskipun suamiku libur cukup lumayan (satu minggu), tapi rasanya sayang sekali mengeluarkan uang untuk beli tiket ke Jogja. Rasanya terlalu mahal buat kami. Dan suasana mudik pasti kan riuh plus desak-desakan. Males banget. Jadi, jauh-jauh hari aku dan suamiku sudah memutuskan tidak akan ke mana-mana saat libur Lebaran ini–termasuk memutuskan untuk tidak beranjangsana ke rumah saudara. Bukan apa-apa sih, capek macetnya itu lo. Saudara-saudaraku yang merayakan Idulfitri tinggalnya di Jakarta coret. Dari pengalaman yang sudah-sudah, jalan menuju ke sana padat juga. Dan boleh kan aku sekali-sekali menikmati libur Lebaran dengan santai di rumah tanpa mengikuti keriuhannya? Cukuplah menikmati ramainya Lebaran dengan mendengar suara petasan yang tidak pernah berhenti itu.

Sejak masa puasa sebulan yang lalu, aku mesti berhati-hati saat akan bepergian. Aku mesti tahu betul kapan jalanan macet karena orang-orang buru-buru pulang hendak buka puasa. Dan ini karena itu juga aku jadi agak jarang makan di luar hehe. Muales banget jika sampai terjebak kemacetan. Dan biasanya saat jam buka puasa, berbagai tempat makan jadi penuh dan ramaiii sekali. Suatu kali aku dan suamiku pergi belanja lalu pulangnya mampir cari makan. Kami sengaja menunda makan malam sampai pukul 8 malam. Biar lebih sepi. Dan memang tempat makan yang kami tuju sudah tidak terlalu ramai. Waktu kami duduk dan pesan makan, kulihat para pelayan di restoran itu sibuk menyapu dan mengepel. Tahu kenapa? Lantainya penuh dengan tisu! Padahal jika hari biasa, restoran itu bersih. Jadi aku heran saja kenapa begitu kotor sekarang. Waktu kutanya pelayannya, dia bilang memang itu “wajar” jika saat jam buka puasa. 😦 Aku heran deh. Apa susahnya sih mengumpulkan tisu bekas pakai itu di atas piring kotor?

Itu tadi pengamatan pertama. Pengamatan kedua adalah … saat buka puasa, banyak keluarga makan bersama. Nah, selesai makan, biasanya mereka masih duduk-duduk sambil menikmati minuman. Itu masih oke, tapi kulihat beberapa orang bapak tampak merokok, sementara anggota keluarga yang lain ada di dekatnya. Itu termasuk anak-anaknya lo. Sedih deh melihatnya. Mengapa sepertinya sulit sekali menahan diri untuk tidak merokok di dekat anggota keluarga yang lain sih? Apalagi ada anak kecil. Ini bisa dibilang meracuni anak-anak nggak ya? Mbok ya ditahan sebentar keinginan merokoknya. Racuni dirimu sendiri, jangan racuni juga keluargamu.

Terus terang dua hal itu mengusik pikiranku. Sepertinya kok menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan dan tidak merokok itu sulit sekali ya?

Ini pengamatan berikutnya saat hari Lebaran. Lebaran ini memang bisa dibilang aku dan suamiku tidak “ke mana-mana”. Tapi kami menyempatkan diri mengunjungi teman kami di Cilebut (satu stasiun sebelum Bogor). Hanya itu. Pertimbangannya adalah karena untuk ke sana cukup mudah aksesnya dan tidak perlu menginap. Toh kereta ke Bogor cepat dan banyak. Jadilah pada Lebaran hari pertama kami pergi. Saat di perjalanan, aku mengamati Jakarta tidak sepenuhnya kosong. Jalan-jalan di sekitar makam biasanya padat karena banyak orang berkunjung ke makam. Dan jalanan di pinggiran Jakarta lumayan padat. Pemandangan itu kulihat dari kereta. Jadi memang jalanan utama Jakarta lengang, tapi daerah pinggiran tetap macet. Untung deh aku naik kereta jadi tidak kena macet. Dan lagi, kereta tidak terlalu padat. Kami masih dapat tempat duduk.

Para penumpang kereta itu tampaknya hendak berlebaran ke rumah sanak saudara/teman. Kalau dilihat-lihat, sepertinya baju-bajunya masih baru. Kan kelihatan tuh kalau baru–bagian pinggir jahitannya masih agak menggembung, tanda belum sering disetrika; warnanya juga masih ngejreng, dan baju itu belum pas betul di badan si pemakai. Selain baju baru, alas kakinya pun rata-rata masih baru. Label harga dan ukurannya ada yang belum dilepas, warnanya masih kinclong. Anak-anak perempuan banyak yang memakai sepatu/sepatu sandal warna merah muda plus hiasan berkilauan di alas kakinya itu. Warna dan modelnya hampir seragam. Ibu-ibu mengenakan sepatu/sandal berhak agak tinggi. Hal itu agak merepotkan saat hendak masuk atau turun dari kereta–karena kereta tidak berhenti pas di peron yang tinggi. Namun kulihat, orang rata-rata tampak sumringah. Senang dan gembira.

Pengamatan yang terakhir, dan ini kurasa perlu diapresiasi, adalah soal kendaraan umum TransJakarta dan KRL. Dua angkutan umum masih beroperasi saat hari Lebaran dan ini kurasa sangat menolong masyarakat kecil untuk bersilaturahmi. Tarifnya juga tidak dinaikkan. Aku acungi jempol untuk hal ini.

Akhir kata, selamat merayakan Idulfitri untuk teman-teman yang merayakannya. πŸ™‚ Agak terlambat tidak apa-apa kan?

9 thoughts on “Catatan Seputar Lebaran (dan Puasa)

  1. wah betul sekali tuh, saya juga suka sebel melihat orang tua yang merokok di depan anaknya… apa coba yang ada dipikiran mereka… kasian anak anak sudah diracuni hal hal seperti itu ya…

    nah iya, betul. aku juga mikir, apa sih yg ada di kepala ortu yang merokok di dekat anak-anaknya? aku nggak bisa paham deh.

  2. kadang liburan gak ngapa2in emang justru menyenangkan. relaxing ya… πŸ™‚

    emang paling heran ama orang yang gak bisa menjaga kebersihan dan gak bisa untuk gak merokok! ampun dah!

    ini pertama kalinya dalam hidupku libur lebaran bisa santai. dulu biasanya mesti berkunjung ke sodara-sodara. capek. hehe. kayaknya males aja pergi. enakan di rumah.

  3. bis selain busway masih susah… pulang dan pergi kerja jadi lama,akhirnya naik bis apa aja, nyambung2 …jadi lebih mahal dan lebih capek …he..he…

    terima kasih ya ucapan lebarannya

    memang jalanan masih sepi. tapi untung akses ke rumahku masih mudah kendaraan umumnya. jadi selalu ada bus/angkot.

  4. baju baru, sepatu baru, senyum sumringah berkunjung ke sanak saudara.. ah, jadi ingat masa kecil dulu..

    iya, sepertinya lebaran identik dengan itu semua

  5. Terima kasih, Kris atas ucapannya..
    Semoga, semua kita merasakan kegembiraan di hari Lebaran ini ya.. πŸ™‚

    Kalau libur lebaran kayak gini, macetnya Jakarta pindah ke Jogja deh..
    Jogja yang biasanya dapat diakses dengan mudah kemana-mana, sekarang malah harus mempertebal kesabaran menghadapinya.. πŸ˜€

    sama-sama, uda. maaf lahir batin ya. nggak kebayang Jogja macetnya kaya apa. pas sebelum lebaran aja macetnya sudah lumayan, apalagi kalau lebaran ya. kebayang nggak orang Jakarta “sabar”nya kaya apa? tiap hari kena macet parah hehe.

  6. Aku sempat merasakan terjebak kemacetan di dua titik jalur Selatan waktu balik dari Jakarta…. Pas Lebaran aku juga nggak ke mana-mana, nge-game di rumah, setel musik agak keras biar gak kaget denger petasan yg jedar jeder terus hehehe…

    di tempatku petasan juga dar der dor bunyinya. sampai kesel kupingku.

  7. Lebaran di tengah kota emang sepi Mbak Kris..Naik mobil rasanya nyaman banget..Tapi beranjak ke luar dikit, hadaw..macet dan tidak bergerak..Heheh..semangat sekali orang bergembira setahun sekali ya Mbak..

    betul, Uni. waktu naik kereta ke arah Bogor, saya lihat jalanan di sekitar Lenteng Agung juga macet. di Jakarta sendiri, kalau di jalan kecil, kadang macet juga sih.

  8. hehehe soal jorok? Itu sudah kebudayaan, padahal katanya “Kebersihan sebagian dari Iman” Tapi entah imannya siapa. Aku selalu dimarahi saudaraku begitu mereka melihat aku menumpukkan piring kotor mengumpulkan tissue dan kotoran di atas piring. “Mel, kebiasaan di Jepang jangan dibawa ke sini”. Well, kenapa tidak? Kebiasaan bagus seharusnya ditularkan bukan?
    soal merokok, Gen merokok di luar restoran. Kalau memang tidak bisa ya dia tahan sampai keluar restoran.Tapi seringnya waktu Gen menuju daerah khusus perokok, anak-anak mau ikut. Dan saat itu aku marahi dia, jika membiarkan anak-anak ikut dia. Sama juga masuk sarang penyamun kan? Perokok itu kalau belum ada korban (ntah dia atau keluarganya) belum akan menyesal dan berhenti kok. Paru-paruku sebenarnya pernah terpantau kotor krn passive smoker, tapi… yah begitulah πŸ™‚

    Memang kalau tisu kotor, ditaruh di mana sih? Aku biasanya juga taruh tisu bekas pakai di atas piring kotor. Kadang kalau lagi “bener”, piring makan bekas kami makan kukumpulkan, kutumpuk jadi satu. Jadi petugas lebih mudah mengambilnya.

  9. Makasih Menik ucapannya…..
    Iya sih soal tisu kotor itu, padahal kan bisa dibuang di tempat sampah…..dan sebetulnya puasa adalah menjaga hawa nafsu, bukan sekedar nafsu lapar saja….nanti yang dapat hanya laparnya saja.

    Jakarta tetap rame saat Lebaran…karena biasanya kesempatan silaturahmi ke saudara terdekat, teman, di hari pertama dan kedua Lebaran. Baru kemudian silaturahim ke teman atau kerabat yang agak jauh (bagi yang tak mudik). Yang rame adalah daerah wisata, dan daerah pinggiran Jakarta….kesempatan menikmati Jakarta saat lengang…kemana-mana enak dan dekat. kendaraan umum yang ada hanya bis, angkot sesekali, taksi (lumayan banyak)…namun bajaj nyaris hilang dari peredaran.

Leave a reply to edratna Cancel reply