Siapa Belajar, Siapa Mengajar?

Belakangan ini aku punya seorang murid kecil. Namanya Fani. Sebenarnya sebutan murid kurang tepat, karena bersama dia aku jadi belajar lagi.

Begini, Fani ini anak temanku. Dan sudah beberapa minggu belakangan ini dia les denganku untuk pelajaran bahasa Inggris dan kadang-kadang matematika. Uh, aku kurang suka dengan sebutan les. Karena yang aku inginkan adalah belajar bersama. Tapi apa ya sebutan lain yang lebih pas? Ya sudah, les saja lah.

Sebenarnya aku tak terlalu suka mengajar. Jadi, jika dia les denganku, aku juga ikut belajar. Aku belajar mengajar dan belajar tentang apa yang mesti dipelajari di awal belajar bahasa Inggris. Memang duluuu sekali aku pernah mengelesi seorang anak kakak beradik. Yang kakak SMA, yang adik masih SD. Dan rasanya suliiit sekali. Bagiku, mengajar itu seperti belajar membungkuk; belajar untuk merendahkan diri sementara barangkali kita sudah mengetahui banyak hal. Ini susah buatku. Jadi, dulu ketika lulus kuliah dan masih menganggur, aku sebisa mungkin menghindari pekerjaan untuk mengajar. Dan berhasil! Aku cuma tahan mengelesi kakak beradik itu selama kira-kira sebulan, dan setelah itu aku belajar untuk menulis artikel dan iseng-iseng menerjemahkan. Aku tak tahan memberi les karena aku sepertinya tidak terlalu sabar dalam mengajar. Sabar terhadap diriku sendiri lo, bukan terhadap mereka. Tetapi untunglah tak lama kemudian aku mendapat pekerjaan tetap sebagai editor. Hmmm … leganya tidak harus mengajar.

Aku barangkali suatu anomali di keluargaku. Mengapa? Orangtuaku dan kakakku yang semata wayang itu semua adalah pengajar. Dan hey, suamiku juga pengajar loh! :p Cuma aku yang sama sekali tak mau mengajar. Jadi, ketika kakakku tahu aku mengelesi Fani, dia kaget, โ€œHe? Kamu sudah insyaf ya?โ€ Ha ha! Aku mengelesi Fani itu karena aku sudah kenal betul dengan dia. Dan ya cuma dia saja.

Aku ingat betul, di pertama kali dia akan ke rumahku untuk les bahasa Inggris, aku agak gugup. Aku cari-cari bahan di internet, kira-kira nanti belajar apa saja. Memang dia membawa buku pelajaran sekolahnya, tetapi kalau tidak punya cadangan bahan, bisa mati gaya lo! Dan aku tidak ingin dia tidak menyukai bahasa Inggris. Jadi, aku pun mencari-cari permainan di internet. Untunglah dia suka dengan permainan yang kuberikan itu. Legaaaa …

Dari pengalamanku yang baru beberapa minggu ini aku belajar beberapa hal. Yang jelas sih, belajar kesabaran. Sabar terhadap diriku sendiri supaya tidak cepat-cepat dan menganggap Fani sudah tahu banyak. Misalnya, ketika dia sudah belajar soal menulis angka dalam bahasa Inggris, maka kupikir dia sudah tahu soal urutan seperti kata-kata first, second, third, dan seterusnya. Ternyata hal itu belum diajarkan di sekolah. Dan yang sebenarnya yang membuatku agak terbengong-bengong adalah, dia belum belajar sama sekali soal tenses. Oiya, Fani ini kelas 4 SD. Nah, kalau di sekolah dia belum belajar tenses, lalu bagaimana dia bisa memahami suatu soal yang bentuknya kalimat? Entahlah. Tapi kalau kulihat dari soal-soal di buku sekolahnya, soal yang diberikan kepadanya biasanya berbentuk pilihan ganda, plus ada gambarnya. Ow … ow … anak kelas 4 rupanya masih belajar soal kosa kata saja. Padahal aku sudah tak sabar untuk memberinya cerita-cerita berbahasa Inggris. Lagi-lagi aku harus mengerem langkahku.

Awal-awal, aku pernah memberinya cerita berbahasa Inggris. Tentunya cerita itu kudapat dari internet dong. Cerita itu mudah sekali menurutku. Cerita itu memuat gambar yang cukup besar, sedangkan teksnya paling-paling berisi 3 kalimat. Tetapi memang di kalimat itu, ada yang sudah menggunakan past tense. Ah, itu gampang lah, bisa sekalian diajari nanti, pikirku. Tetapi rupanya aku salah. Dia tidak mudeng cerita itu sama sekali! Lha bagaimana dia mengerti kalau dia belum dikenalkan dengan susunan kalimat sederhana alias present tense yang sangat sederhana itu? Oh … lagi-lagi aku harus melangkah mundur lagi.

Kupikir-pikir menjadi guru itu sulit dan itu adalah pekerjaan yang menantang. Mengajar satu anak saja tidak mudah, apalagi kalau harus mengajar anak satu kelas? Belum lagi kalau daya tangkap mereka berbeda-beda atau ada yang suka membuat onar. Kupikir-pikir … sepertinya tidak salah aku memilih bekerja dengan mengotak-atik naskah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

24 thoughts on “Siapa Belajar, Siapa Mengajar?

  1. ha ha ha, kebalikan sama aku, kris…dulu aku malah nge”les”i 50 sampe 70 anak dalam waktu seminggu, wah…capek deh…tapi aku suka, enjoy, nikmat sekali rasanya jika ngajar anak yang gak tahu apa2 sampai bisa, bangga…dan itu nilainya besar lho, nilainya itu “kenangan”, dikenang sepanjang masa, bahkan sampai saat ini, aku masih sering ditanya…masih ngelesi nggak?…Nice posting.

  2. wah, kebalikan sama aku, Nik…
    I love teaching….rasanya senang bisa mentransfer ilmu ke murid, dan ada tantangannya untuk “membahasakannya” agar mudah dimengerti…

    untuk les privat, ada tantangan tersendiri juga tuh, dulu aku ngelesin ke rumah murid les. susahnya kan dia merasa di rumahnya sendiri, jadi kadang “semau gue”.

    1. aku dari dulu agak kurang suka mengajar. jadi, salah satu alasanku untuk masuk sastra, bukannya PBI, waktu kuliah dulu adalah karena aku nggak pengin mengajar hehehe. tapi memang ini tantangan yg sebenarnya mengasyikkan ya Na, untuk bisa membahasakan materi dg sederhana sehingga murid jadi mudeng. aku mesti banyak latihan nih, Na!

  3. HHmmm …
    Mengajar … memberi les … memfasilitasi …
    itu memang tidak mudah …

    dan kamu betul sekali … sebetulnya yang belajar bukan si anak didik … tetapi kita juga ikut belajar …

    dan mengajar anak kecil … remaja … maupun orang dewasa … itu sama susahnya …
    Tetapi sama pula “fun” nya …

    hehehe

  4. mengajar itu sama dengan belajar…
    itu aku setuju banget.
    karena biasanya dengan pertanyaan murid, aku mencari jawaban dan belajar lagi

    Yang pasti aku tidak tahan mengajar anak kecil
    ngga sabar hihihi
    untung muridku mahasiswa dan orang dewasa

    EM

  5. mengajar adalah persoalan bakat Kris… jadi, tidak bisa sembarang orang bisa mengajar, meski ilmunya bejibun. maka, aku selalu sebel dengan kenyataan orang yang memilih menjadi guru karena tidak ada pekerjaan lain. akibatnya, dia mengajar asal-asalan, dan itu membuat muridnya tidak belajar apa-apa…

    1. iya kali, uda. saya sering nggak PD kalau diminta mengajar. kurang mahir kalau diminta membuat murid bisa mudeng …

  6. Hehehehe, mengenalmu sekian tahun terkadang aku masih nggak nyangka bahwa kamu adalah anak “Inggris”…. Kamu lebih tampak seperti anak “Sastra” atau “Komunikasi”, Kris :))

    Tapi aku sepakat denganmu, mengajar adalah hal yang paling susah layaknya seperti kita membungkuk.. bikin capek dan harus merendah.. selalu rendah ๐Ÿ˜‰

    1. emang kalau anak Inggris kaya apa to Don?
      nah akhirnya ada yg mengomentari analogiku soal mengajar ini. hehe. ๐Ÿ™‚

  7. Betul bgt Mbak…teaching is quite hard for me, sangat menantang. Dulu pun aku mengajar privat anak SD. Membuat anak itu mampu menangkap materi yg ak ajarkan, ga mudah…

  8. Hahaha….lingkunganku pengajar semua. Ayah, ibu, pakde/bude…bahkan kedua adikku. Sejak awal saya merasa tak bisa mengajar, jadinya masuk perbankan.

    Suatu ketika, bosku mengajak pergi, mendampingi beliau mengajar, bahan sih memang saya yang disuruh buat. Mendadak, pas sesi ketiga, beliau bilang di depan kelas…”Selanjutnya, yang mengajar ibu Enny”. Mati aku!! Panas dingin, tapi tak bisa menolak…..dan saya mengajar pakai gaya sendiri (lha nggak pernah), saya membayangkan betapa bodo nya saya saat pertama kali bergabung di Bank, dengan latar belakang pendidikan bukan ekonomi.

    Yang bikin surprise…hasil evaluasi bagus sekali….hehehe, sejak itu saya menjadi pengajar intern di perusahaan, tapi kerjaan pokok tetap di bidang bisnis. Dan ternyata hasil sampingan ini lumayan banget untuk menambal kebutuhan ekonomi keluarga muda, dengan banyak adik…..
    Dan, …setelah pensiun, saya diminta oleh Lembaga Pengembangan Perbankan yang dimiliki Yayasan DP BI untuk membantu mengajar. Jadilah saya kemana-mana mengajar, yang terakhir kemarin ke Papua.

    1. Wah, jadi sebenarnya Bu Enny ini menjadi pengajar by accident ya? Salut deh. Saya sampai sekarang masih belum bisa mengatasi grogi saat berdiri di muka umum. Dan menyenangkan ya Bu bisa tetap berkarya meski sudah pensiun… ๐Ÿ™‚

  9. Waduh, tulisan dan komentar sama-sama menarik…

    Mengajar memang memerlukan belajar lagi. Omong-omong kelas 4 sih biasanya sudah masuk Past Tense (kalau di sekolah swasta) tapi memang metoda pemberian tidak model zaman dulu kita harus menghafal satu-satu. Di UI ada tuh tempat belajar untuk ngajar “Young Learners” (lihat http://khazanahpikir.blogspot.com/2008/06/teaching-teachers-is-important.html)

    Lebih enak ada beberapa anak daripada satu anak lho…tapi kalau kebanyakan juga puyeng…beda lulusan sastra dengan FKIP biasanya di manajemen kelas. Ilmu pedagogi dan manajemen kelas ini yang kadang bikin orang non FKIP kebingungan…(atau orang FKIP juga sama? Hehehe…latihan membuat lebih sempurna…)

    Ngomong-ngomong…kalimat ngelesin itu memberi kesan “ngeles (Jawa)” buat aku…enakan memberi les, mengajar les…boleh saja pakai istilah belajar bersama, tapi itu kalau tidak terima uang…Kalau secara profesional, yang terima uang yang memberi les, yang membayar yang menjadi murid les (hehehe….enak ya, belajar tapi dibayar…)

      1. Hihihi maaf Kris, aku nggak tahu kalau kamu bales komentarku. Les itu ternyata dari bahasa Belanda…artinya pelajaran hehehe….jadi ngasih les berarti ngasih pelajaran…tapi kalau di sekolah kita nggak pakai kata les ya…

  10. Nah lho… kenapa mengajar satu dianggap sulit ya? Tapi it’s okey lah karena memang mungkin mbak Kris ini cocoknya kerja di editor bukan di pengajara ๐Ÿ™‚
    Setuju juga sich kalau dibilang mengajar itu susah karena kalau kita salah mengajarkan (apalagi anak SD) itu bisa tertanam di memori otak hingga dia dewasa. So be a profesional ya sahabat blogger yang juga menjadi guru ๐Ÿ™‚

    Salam kenal mbak dari newbie di dunia blogging

Leave a reply to edratna Cancel reply