Apakah Kamu Masih Mendengarkan Radio?

Tulisanku ini tercipta setelah baca tulisan DV yang ini. Lalu aku teringat akan foto yang pernah kuunggah di akun FB-ku. Foto radio lawas punya Mbah Kung. Radio itu kudapati tergeletak di salah satu kamar rumah Mbah, lalu kufoto. Situasi saat itu, siang hari. Di ruang tamu dan ruang tengah para tamu masih banyak yang datang melayat Mbah Kung.

radio punya Mbah Kakung
radio punya Mbah Kakung

Oke, jadi ceritanya suatu kali aku pulang ke Jogja. Karena selama tinggal di Jakarta aku (dulu) cukup sering menyetel radio, aku pun iseng-iseng pengin dengar seperti apa sih siaran radio di Jogja? Sebelum menyalakan radio, ingatanku mau tak mau terbang ke masa-masa kuliah dulu. Dulu, saat tinggal di asrama Syantikara, salah satu “kekayaan” yang kumiliki adalah radio. Sementara beberapa teman lain punya walkman (duh, itu barang mewah waktu itu), aku sudah cukup puas punya radio. Jangan bayangkan radio kecil imut dan cantik ya. Radioku ukurannya hampir sama dengan radio punya Mbah itu, hanya saja lebih modern sedikit sentuhannya. Lalu kekayaan keduaku adalah earphone. Kenapa? Karena kalau mendengarkan radio di asrama tidak boleh disetel dengan suara keras, bisa mengganggu teman seunit yang sedang belajar. (Satu unit itu terdiri dari dua ruang belajar, masing-masing dipakai oleh empat anak. Jadi, kami belajar bersama.) Padahal sih tanpa radio pun kadang kehadiranku cukup mengganggu teman yang lain karena suka mengobrol dengan Mbak Tutik. Hahaha. *Dijewer Sr. Ben deh.*  Stasiun radio yang sering kudengarkan saat itu: Rakosa, GCD (yang khasnya: “radio Bukit Patuk Gunung Kidul… ting tung ting tung… radio yang sebaiknya Anda tahu.), Yasika, Swaragama (waktu itu radio ini masih baru, jadi sering muter lagu-lagu saja), trus yang terakhir Geronimo (tapi Geronimo itu paling jarang kudengarkan).

Eh, aku melamunnya terlalu lama sepertinya.

Iya, jadi akhirnya aku menyetel radio dan sampai di sebuah stasiun radio. Lagi-lagi aku tidak ingat stasiun radio apa itu… 😀 😀 Tapi yang kuingat betul aku seperti tak bisa membedakan aku sedang mendengarkan radio di mana. Aku yang sehari-hari tinggal di Jakarta dan cukup akrab mendengar gaya bicara penyiar dengan logat dan gaya bahasa orang Jakarta (bukan Betawi, sih menurutku, tapi Jakarta yang lu gue, gitu deh), jadi berkata dalam hati, “Aku ki ning Jogja, je… kok penyiare le ngomong nggo boso Jakarta ki piye jaaal?” (Aku sedang di Jogja, tapi kok penyiarnya bicara dengan logat Jakarta?) Aku tidak terlalu lama menyetel radio itu. Kecewa? Ah, itu istilah yang terlalu berlebihan barangkali. Tapi begini maksudku, yang kuinginkan adalah radio dengan nuansa lokal, tapi ternyata kok…? Mungkin bahasa Jakarta itu sangat menarik bagi sebagian (besar?) orang, sehingga mereka merasa perlu mengadopsinya dan memakainya dalam segala hal. Salah seorang temanku pernah mengatakan bahwa dia lebih nyaman bicara dengan bahasa ala anak Jakarta, padahal dia besar di Jogja. Ealah…! Padahal dari tadi aku ngecipris pakai bahasa Jawa dengannya. Tapi mungkin aku perlu move on. Maksudnya, ya barangkali selera pasar kebanyakan adalah bukan orang seperti aku. Seperti orang-orang Jakarta itulah. Bukan aku yang selera ndeso dan memang ndeso ini. 😀 😀 Harap maklum ya, Teman-teman. Dari dulu sampai sekarang aku sering disindir kalau aku medok saat berbicara dalam bahasa Indonesia. Memang lidah ndeso ini susah untuk diajak lebih berselera kota.

Ngomong-ngomong apakah sampai sekarang aku masih sering mendengarkan radio? Kadang-kadang dan bisa dikatakan jarang. Pun ketika kembali ke Jakarta dan hiburanku kebanyakan adalah lewat radio serta internet, aku sekarang jarang mendengarkan radio. Pertama, karena radioku sempat soak. Jadi males kan kalau dengar radio yang bunyinya kaya tas kresek? Kedua, lama-lama bosan juga dengar radio. Kenapa bosan? Ini sebetulnya mirip dengan alasan kekecewaan ketika menyetel radio di Jogja tadi. Ketika itu aku berpikir, kalau ada orang asing yang datang ke Indonesia lalu mendengarkan radio, kira-kira apa ya pendapat mereka? Banyak kan radio di sini yang memutar lagu-lagu barat? Jangan-jangan mereka akan berkata, “Lha aku ki ning endi to? Ning Indonesia opo ning Amerikah?” (Aku berada di mana ya? Di Indonesia atau di Amerika?) Eh, tentunya dia tidak “mbatin” dalam bahasa Jawa ya–kecuali dia orang Suriname, mungkin? 😀 Ya, terserah saja sih kalau radio-radio itu memutar lagu barat. Nanti kita kuper deh kalau tidak tahu lagu atau kabar dari dunia luar. Tapi sejujurnya, aku kangen mendengarkan lagu-lagu daerah, cerita-cerita lokal dari berbagai penjuru Indonesia, atau apa pun lah yang berbau Indonesia disiarkan lewat radio. Tiap radio memang punya kekhasan masing-masing, sih. Itu terserah mereka. Barangkali aku saja yang ngoyoworo atau terlalu muluk-muluk ingin ada rasa Indonesia yang bisa memenuhi selera ndesoku ini di radio yang kudengar. (Sebetulnya rasa Indonesia itu yang seperti apa ya? Kok aku mendadak bingung?) Tapi aku yakin kok, masih ada radio yang menyiarkan “rasa Indonesia”. Setidaknya kapan hari aku kesasar ke RRI dan mendengar ulasan pernikahan adat suku Sasak. Di situ diputar juga lagu-lagu daerah. Rasanya mak nyes, gitu deh. Halah lebay! 😀

Nah, kamu apakah masih mendengarkan radio? Radio seperti apa yang kamu sukai?

Sebuah Keputusan

Beberapa hari lalu (atau beberapa minggu lalu ya?), ada seorang teman di FB yang mengeluhkan asap di kotanya. Aku lupa dia tinggal di mana. Seingatku dia di Kalimantan. (Lagi-lagi aku lupa…). Dia mengeluh bahwa asap itu akibat pembakaran hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan sawit. Aku yang tinggal di Jawa, tentu tidak pernah merasakan seperti apa sesaknya asap pembakaran tersebut. Tapi yang jelas itu pasti tidak enak ya? Lagi pula cerita soal tragedi asap semacam itu sudah sering kita dengar. Sampai-sampai negara kita dikenal sebagai pengekspor asap kan? Diiih… ekspor kok asap sih?

Omong-omong soal asap dan perkebunan kelapa sawit, aku jadi teringat akan keputusanku untuk tidak lagi memakai minyak goreng dari kelapa sawit. Keputusan ini setidaknya sudah kubuat setahun lalu. Ada cerita di balik keputusan itu. Jadi, ceritanya persis setahun lalu aku menginjakkan kakiku pertama kali di bumi Borneo, tepatnya di Pontianak, lalu aku melanjutkan perjalanan ke Nanga Pinoh. Sesampainya di sana, aku berkata kepada sang penjemputku, “Aku pengin lihat hutan dengan pohon yang besar-besar.” Jawabannya cukup mengejutkanku, “Di Kalimantan sudah habis hutan yang seperti itu, Dik.” Waaah… aku kecewa berat. Jawaban yang serupa aku terima dari beberapa orang yang kujumpai. Bahkan orang asli Kalimantan pun mengatakan hal yang sama. “Masih ada hutan (dengan pohon besar-besar), tapi jauh sekali. Jauh di pelosok dan memakan waktu seharian untuk sampai ke sana.” Selanjutnya aku mendapat cerita bahwa hutan-hutan itu habis digantikan kebun kelapa sawit. Banyak orang tergiur mengubah lahannya (bahkan kabarnya tanah adat) menjadi kebun kelapa sawit karena iming-iming uang. Sayang sekali ya.

Mendengar cerita semacam itu aku merasa perlu berbuat sesuatu. Tapi apa? Memang, aku sangat jarang menggoreng lauk atau kue. Aku lebih suka mengukus atau merebus. Minyak goreng kupakai untuk menumis saja. Karena pemakaian minyak gorengku sangat sedikit, aku memilih memakai minyak goreng yang asalnya dari kulit ari beras, jagung, kedelai, atau canola. Tapi memang kadang-kadang aku butuh minyak goreng agak banyak menggoreng sih. Menggoreng lele, misalnya. Nah, saat perlu minyak goreng yang cukup banyak, dulu seringnya aku membeli minyak goreng yang lebih bersahabat di kantong. Minyak goreng yang lebih murah kebanyakan dari kelapa sawit kan? Nah, tapi sejak aku melihat sendiri bahwa hutan-hutan di Kalimatan itu makin lama makin habis, aku beralih memakai minyak goreng dari kelapa. Dari segi harga, minyak goreng dari kelapa tidak semahal minyak jagung atau canola. Awalnya saat berbelanja aku mesti mencermati satu per satu tulisan di kemasan minyak goreng sehingga tahu bahan bakunya. Sebagian besar minyak goreng yang ada di pasaran berbahan baku minyak sawit. Tapi karena sudah memutuskan tidak akan memakai minyak sawit, aku tidak beli dong. Perlu niat memang dan kadang perlu pindah-pindah toko untuk mencari minyak goreng yang berbahan baku kelapa.

Ah, ya… tak terasa sudah setahun berlalu aku membuat keputusan itu. Dan aku masih ingin kapan-kapan bisa berkunjung ke Kalimantan lagi (kalau ada waktu, kalau ada sangu, kalau….). Mari mereka-reka rencana jika ada kesempatan…. 😉

Apa Artinya Menjadi (Bagian dari) Indonesia?

Itu adalah pertanyaan yang beberapa hari belakangan ini muncul di kepalaku. Pertanyaan sepele, tapi terus mengganggu. Rasanya tidak ada jawaban yang betul-betul pas. Atau aku saja yang kurang cerdas merangkai jawaban? Lalu, apakah pertanyaan ini perlu dijawab? Kalau ini dianggap sebagai ujian kewiraan atau PMP, mesti dijawab dong. (Eh iya, zaman aku sekolah nama mata pelajarannya PMP, bukan PPKn. Haha… ketahuan jadulnya.) Selintas aku teringat salah seorang guruku. Konon kabarnya si bapak guru itu akan memberi nilai bagus jika kita memberi jawaban yang panjang. Atau mungkin kalau sekarang, maksudnya bertele-tele ya?

Oke, balik ke pertanyaan tadi. Apa artinya menjadi Indonesia? Huh, sulit sekali jawabannya.

Pertanyaan ini membuatku teringat akan beberapa hal, salah satunya adalah ketika aku sempat pergi ke luar Jawa. Tidak, aku bukan orang yang sering bepergian. Hanya saja kebetulan suamiku orang luar Jawa, jadi wajar kan kalau aku setidaknya setahun sekali aku pergi ke luar Jawa? Baru tiga pulau yang pernah kukunjungi: Bali, Belitung, dan Kalimantan. Aku tidak perlu membahas secara detail perjalananku ke pulau-pulau tersebut. Tapi yang jelas, saat aku keluar Jawa, aku betul-betul tersadar bahwa Indonesia itu luas sekali. Ini tidak seperti membuka peta saat pelajaran Geografi lalu menunjuk kota-kota tertentu. Rasanya lain. Seperti terbangun dari mimpi. Ya, inilah Indonesia. Indonesia yang begitu aneka ragam. Indonesia yang kaya.

Pertanyaan tadi juga mengingatkanku akan asrama Syantikara karena di sana aku bertemu langsung dengan teman-teman yang berasal dari berbagai daerah. Kulit mereka mungkin berbeda denganku. Garis wajah mereka pun khas, tidak seperti aku yang orang Jawa. Dan itulah kekayaan kita–kekayaan Indonesia.

Ah, ya Indonesia memang kaya. Tapi aku merasa, sepertinya tidak semua orang benar-benar menyadari kekayaan ini. Memang, mereka tahu bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai suku. Budayanya juga macam-macam. Tapi itu seperti hanya hapalan ketika akan menghadapi ujian PMP atau PSPB atau Sejarah. Betulkah mereka menyadari keragaman itu dan mensyukurinya? Sepertinya ada beberapa golongan yang merasa perlu menyeragamkan Indonesia. Trus, apa bagusnya kalau sudah seragam? Ah, mungkin mereka memang kurang piknik. Huh!

Sebetulnya aku ingin menulis lebih panjang lagi. Tapi sumpah, aku ngantuk sekali. Daripada tulisan ini malah ngalor ngidul tidak jelas, lebih baik kuakhiri saja. Dan maaf kalau aku belum bisa merangkai jawaban atas pertanyaan di atas. Ini bukan soal ujian PMP yang harus dijawab dalam 90 menit. Ini pertanyaan sepanjang hidupku–selama masih menjadi WNI.

Satu hal yang pasti, aku bersyukur hari ini kita sebagai bangsa Indonesia bisa merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-69 dengan aman. Semoga Indonesia tetap aman dan semakin baik ke depannya.

 

Setelah Sekian Lama

Kalau melihat catatan tanggal di blog ini, aku mulai mengisi blog ini sejak tanggal 22 Oktober 2009. Baru sekitar lima tahun. Belum terlalu lama, ya. Dan blog ini pun mengalami pasang surut. Tapi di antara blog-blogku yang lain, blog ini termasuk yang paling sering kutengok dan kuisi.

Dulu setiap kali ada orang yang tanya kepadaku, “Untuk apa ngeblog?”, jawabanku adalah: “Buat cari teman.” Ya, memang blog ini awalnya kubuat ketika aku awal di Jakarta. Pas aku suka galau gitu, deh. (Kaya sekarang enggak galau aja? Hehehe.) Dulu sih, aku merasa ngeblog itu asyik. Eh, sampai sekarang juga asyik kok. Tapi begini, dulu aku memang lumayan sering blogwalking lalu tulis komentar di beberapa blog. Akibatnya, blogku juga balik dikunjungi dan diberi komentar. Rasanya senang. Kemudian aku menulis, salah satunya adalah dengan tujuan agar dibaca orang. Ya iyalah, toh ini bukan blog yang diseting privat kan. Semua orang bisa membacanya. Tapi itu dulu.

Sekarang aku merasa, tujuanku ngeblog lebih untuk diri sendiri. Egois? Hmmm… Entahlah. Tapi aku sekarang lebih ingin menulis terutama untuk diriku sendiri. Untuk pengingat. Untuk catatan bagi diriku sendiri. Dan lagi blog ini tetap bisa dibaca umum, jadi kalau apa yang kutulis ini bisa bermanfaat untuk orang lain, ya syukur. Kalau ada yang mau memberi komentar, silakan. Asal komentarnya masih nyambung dengan isi tulisanku dan bahasanya bisa dipahami (karena kadang ada yang tulisannya tidak jelas), ya oke saja.

Aku sudah jarang sekali blogwalking. Kalaupun aku main ke blog teman-teman yang lain, biasanya sekarang aku hanya jadi silent reader. Pembaca diam-diam. 😀 Jadi penikmat saja.

Satu hal yang menjadi catatanku, menulis blog itu baik. Dengan menulis blog, pertama-tama kita belajar mengungkapkan pikiran dan (kadang) perasaan. Blog bisa jadi media untuk urun pendapat. Kalau dulu opini biasanya kita baca di koran, sekarang kita bisa menuliskan opini di halaman kita sendiri. Kedua, lewat blog kita bisa berbagi bermacam-macam hal. Bisa berbagi resep, berbagi pengalaman, berbagi informasi. Kadang kalau aku sedang googling untuk mencari suatu informasi, aku menemukan informasi tersebut dari suatu blog.

Jadi, akhir kata… aku berharap aku masih bisa tetap ngeblog. Walaupun kadang malas sekali menulis; walaupun kadang merasa tidak punya waktu… setidaknya blog ini kutulis untuk diri sendiri.